Masa SMA-ku pun akhirnya mulai menyenangkan setelah aku duduk di kelas 3, karena kami adalah senior tertinggi. Aku memilih jurusan IPS, karena aku tidak dapat bersahabat dengan rumus-rumus fisika dan kimia.
Keputusanku untuk memilih jurusan IPS mendapatkan pertentangan dari ayahku, yang sangat menginginkan aku berada di kelas IPA, seperti dirinya dahulu. Untuk itu, perang dingin pun terjadi di antara kami berdua, di akhir masa SMA-ku, hingga akhirnya aku lulus dengan nilai rata-rata delapan dan diterima berkuliah di jurusan desain interior.
Masa perkuliahanku dapat kuselesaikan dalam waktu 4,5 tahun dengan IPK yang cukup tinggi, bahkan tertinggi di antara saudara-saudaraku, yaitu 3,08. Tetapi, walaupun dengan IPK tinggi, aku tidak serta merta mudah mendapatkan pekerjaan, hingga aku ditarik oleh mas Verdi, yang mendirikan perusahaan konsultan arsitektur dan desain interior.
Aku pun mulai bekerja bersama mas Verdi dan kedua teman kampusnya dari jurusan arsitektur.
Sementara itu, di hari-hari libur, aku kembali bersosialisasi dengan teman SMA-ku dulu dan di saat itulah aku kembali dipertemukan oleh Tyo, seorang mantan ketua Rohis di angkatanku.
Selama SMA, kami tidak pernah saling berbicara ataupun menyapa, cukup saling tahu walaupun kami berada di kelas yang sama sewaktu kelas 1. Hingga 5 tahun setelah lulus dari SMA, Rohis angkatanku mengadakan acara rutin pengajian 3 bulanan, untuk saling bertukar informasi tentang lapangan pekerjaan dan mempererat ukhuwah.
Hingga tiba saatnya, giliran aku yang mendapat jatah sebagai tuan rumah. Ahad pagi, sekitar pukul 8 satu-persatu kawan SMA-ku mulai berdatangan. Ruang keluarga telah kutata dengan karpet untuk kami dapat duduk lesehan.
Pertemuan kali ini cukup ramai, ketimbang pertemuan sebelumnya, yaitu sekitar hampir 30 orang. Acara temu kangen, hingga tausyiah dan dilanjutkan dengan berbagi cerita dan informasi lainnya, mengundang perhatian ibu. Hingga kemudian di saat makan siang, ibuku menghampiri.
"Lin, itu siapa yang pakai kemeja krem kotak-kotak?" tanya ibu.
"Ooo, itu Tyo. Dokter UI, tuh Bu," jawabku yang membuat ibu tersenyum.
"Sudah punya calon belum?" tanya ibu lagi.
"Yaa mana aku tahu, Bu. Orangnya diem banget, aku nggak pernah ngobrol sama dia," jawabku.
Aku pun curiga akan apa yang ibu pikirkan, tetapi aku menepis semua pikiranku.
Malam harinya, ibu kembali bertanya tentang Tyo.
"Lin, coba kamu tanya Ayu, minta Ayu tanyain ke Adra tentang Tyo."
"Tanya apa, sih Bu?"
"Ya yang tadi itu, sudah punya calon atau belum. Kalau belum, ya sama kamu aja, gimana?" usul ibu.
"Hah, sama aku? Emang dia mau, aku kan Rohis coret, Bu," jawabku.
"Ya kan nggak tahu kalau nggak ditanya. Sini deh, kamu telpon Ayu, nanti ibu yang bicara," lanjut ibu lagi.
Aku pun segera menghubungi Ayu, sesuai permintaan ibu. Pada saat itu, Ayu telah menikah dengan Adra, teman sekelasnya di kelas 3 SMA. Adra dan Tyo berteman cukup baik, keduanya juga sama-sama aktif di Rohis SMA kami.
"Yu, ibu mau ngomong nih!" seruku.
"Eh, ada apa? Kunaon ini, kok ibu mau ngomong sama gue?" tanya Ayu.
"Tauk. Nih ibu ya," ucapku sambil menyerahkan telepon ke ibu.
"Assalamu'alaikum, Yu."
"Wa'alaikumsalam, Bu. Ada apa ya? Aku kok deg-degan," jawab Ayu.
"Tenang Yu. Eh ibu mau mau minta tolong, cariin info tentang Tyo, bisa nggak?"
"Info apaan, Bu?" tanya Ayu.
"Tyo sudah punya calon atau belum," jawab ibu straight to the point.
"Heh, Tyo? Memangnya kenapa, Bu?" tanya Ayu lagi.
"Nggak papa sih, cuma ibu lihat kok sepertinya dia baik, mau ibu jodohin sama Lina."
Saat itu aku hanya mendengarkan percakapan antara ibu dan Ayu, tanpa ada perasaan apapun akan Tyo.
To be honest, fisically dia bukanlah sosok my ideal man, bahkan jauh dari itu. Menurutku dia adalah pria mungil, karena selain kurus ia juga tidak tinggi, mungkin tingginya hanya sekitar 165 cm. Wajahnya pun sangat Indonesia dengan perawakan standar pria Indonesia.
Saat itu, seleraku lebih kepada pria blasteran atau bule, sehingga Tyo tidak pernah masuk dalam daftar pria idealku, seperti Gary Barlow atau Ronan Keating. Tetapi aku diam saja, karena aku yakin akan penilaian ibu. Lagipula, aku berfikir bahwa fisik bisa dipermak.
Ayu segera melancarkan aksi bersama dengan Adra, suaminya. Lalu, keesokan harinya, Ayu menghubungiku.
"Lin, semalam Adra sudah nelpon Tyo," ucap Ayu.
"Trus?"
"Masih single sih. Trus gue pancing, gue bilang kalau gue mimpiin Elo berdua jadian," lanjut Ayu.
"Ngaco Lo, pakai bohong segala," protesku.
"Ssst, kan demi...."
"Iyee, demikianlah sodara-sodara!" sahutku kesal.
"Yowes, mau dengerin lanjutannya nggak?"
"Sok, lanjut."
"Nah, Tyo ketawa tuh, katanya mimpi gue aneh. Trus gue bilang aja, eh siapa tahu ini sinyal buat Lo!"
"Haish, sinyal yaa, emangnya pasang antena dimana?" sahutku lagi.
"Ssst, intinya nih, dia masih single, masih available. Yowes Lin, gas keun saja!" ucap Ayu untuk menyemangatiku.
Tak lama kemudian, aku mengakhiri percakapanku dengan Ayu dan aku mulai berfikir, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hatiku antara menolak dan menerima perjodohan ini, alasan aku menolak karena aku tidak memilik perasaan apa pun untuknya. Tetapi aku tidak menghentikan proses ini dan tetap membiarkannya berjalan.
Hingga suatu waktu aku sedang berada di rumah Lia, teman sebangkuku saat di kelas 1 SMA dulu dan kami berencana untuk makan siang bersama.
"Lin, nggak enak kalau cuma kita berdua. Ajak yang lain dong," pinta Lia.
Aku pun menghubungi Ayu.
"Yu, makan siang bareng yuk," ajakku.
"Sekarang? Lo mendadak amat, sih?!" protesnya.
"Yaa, baru kepikiran, ini gue lagi di rumah Lia. Dah yuk, ikut aja," bujukku.
"Nggak bisa, Lin. Gue mau nemenin nyokap ke RS, biasa kontrol," tolak Ayu.
Aku dan Lia pun mencoba menghubungi teman-temanku yang lain, tetapi tidak ada satupun yang bisa.
Akhirnya Lia mengusulkan satu nama, "Lin, Lo coba telpon Tyo, siapa tahu dia lagi nggak praktek."
"Lo aja yang telpon, gue nunggu aja," jawabku malas.
Lia pun menghubungi Tyo yang kala itu baru saja menyelesaikan prakteknya di klinik terminal Pulogadung.
"Yo, gue sama Lina mau makan siang bareng nih, Lo mau ikutan nggak?" tanya Lia.
"Eh gue baru selesai praktek nih, tapi dari kemarin gue belum pulang, masih bau," jawab Tyo.
"Nggak papa Yo, cuek ajalah. Mau nggak, kalau mau ntar kita jemput," ucap Lia.
"Hmmm boleh deh, tapi nggak usah ke terminal, aku nunggu di halte Mediros aja, jadi nggak muter-muter," jawab Tyo.
Setelah percakapan berakhir, aku dan Lia segera menuju tempat yang disebut Tyo. Hanya sekitar 10 menit, kami telah sampai di depan RS Mediros dan tak sulit untuk kami mencari Tyo, yang berdiri sendiri dengan kemeja coklat dan tas ransel hitam yang cukup besar.
Melihatnya dengan penampilan yang kusut, membuatku berfikir, apa benar dia jodohku?
Ia pun menghampiri mobilku setelah Lia memanggilnya dengan membuka jendela.
"Tyo, masuk."
"Assalamu'alaikum," sapanya sebelum masuk ke dalam mobil.
"Wa'alaikumsalam," jawabku dan Lia.
Sesaat kemudian aku pun melajukan mobilku menuju Kelapa Gading.
"Mau makan dimana?" tanyaku, karena aku dan Lia memang belum menentukan tempatnya.
"Di Saung Abah, Komplek Walikota aja, Lin," jawab Lia.
"Oke," jawabku sambil mengarahkan mobilku menuju komplek Walikota.
Sesampainya di Saung Abah Resto, kami segera memesan makan siang kami.
Lia pun memulai percakapan, "Yo, Lo praktek di terminal?"
"Nggak, aku habis jaga di rumah sakit, trus diminta temen untuk bantuin dia jaga klinik di terminal, cuma 2 jam aja sih," jawab Tyo.
"Itu tas gede banget, isi apaan aja?" tanya Lia lagi.
"Baju ganti, aku belum pulang dari kemarin. Kemarin jaga UGD dari siang sampai malam, trus diminta gantiin dokter jaga ruang jadi nginep di rumah sakit sampai tadi selesai jam 8 pagi. Tapi trus istirahat sebentar di musholla, malah bablas tidur sampai jam 11," jawabnya dengan wajah kusut dan kantung mata tebal dibalik kacamatanya.
Aku kembali memperhatikan penampilannya, aku pun teringat pembicaraan teman-temanku tentang Tyo, yang mengatakan dirinya ganteng, manis lah, alim dan sebagainya, bahkan ada sebagian dari mereka menyebutkan bahwa Tyo mirip dengan Andre Taulani. Kalau yang terakhir mungkin ada sedikit kemiripannya, tetapi keduanya juga bukan tipe pria idealku.
Menurutku, Tyo terkesan jadul dan kaku dan aku benar-benar tidak tertarik dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dewa Rana
kok aneh, untuk makan siang harus ngajak kawan2?
2023-04-19
0