Aku memasuki SMA yang sama dengan mbak Hana, tetapi karena perbedaan usia kami yang berjarak 4 tahun membuat kami tidak bertemu, karena ketika aku masuk, ia telah menyelesaikan studinya dan melanjutkan di universitas yang sama dengan mas Verdi, bahkan di fakultas yang sama juga. Mereka berdua sama-sama kuliah di universitas swasta terkemuka di Jakarta, di Fakultas Ekonomi, tetapi berbeda jurusan. Mas Verdi mengambil jurusan Akuntansi, sedangkan mbak Hana mengambil jurusan Manajemen.
Di masa SMA inilah, aku menemukan teman-teman terbaikku. Aku memasuki SMA yang di luar rayon atau wilayah asal SMPku di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yaitu SMAN berada di wilayah Pulomas, Jakarta Timur.
Dari 10 orang kawan SMP-ku yang mendaftar di SMA ini, hanya akulah yang diterima. Jadilah aku seorang diri tanpa teman, memasuki SMA yang angkanya sama dengan serial TV tentang polisi menyamar, 21 Jump Street. Ya, nama SMA-ku adalah SMAN 21 dan aku dimasukkan ke dalam kelas 1-2.
Aku pun mulai berkenalan dengan teman-teman baruku ketika berkumpul di lapangan, sebelum dimulainya penyambutan siswa-siswi baru.
"Hei, nama Lo siapa, dari SMP mana?" tanya seorang gadis putih mungil.
"Gue, Halina dari SMPN 123, Kelapa Gading," jawabku.
"Gue Lia, dari SMPN 74 Rawamangun."
"Eh Lin, kita baris disini aja, yaa," ucapnya lagi dan aku pun menjawabnya dengan anggukan kepala dan senyuman. Aku lega, di hari pertama ini, aku sudah memiliki seorang teman.
Aku melihat ke sekelilingku, semua saling menyapa dan mengobrol dengan akrab, kurasa mereka pasti berasal dari sekolah yang sama.
Hari-hari berikutnya tidak banyak yang terjadi, semuanya berjalan seperti biasa. Hingga tiba-tiba di saat pelajaran belum dimulai, pintu kelasku di ketuk oleh 2 orang laki-laki, mereka berdua adalah kakak kelasku dari SMP, Heri dan Rawit, iya nama panggilannya memang unik, Rawit. Aku tidak tahu nama aslinya, yang kutahu hanya nama panggilannya.
Rawit dengan cueknya mengarahkan jarinya ke arahku dan kemudian memanggil namaku. Aksinya pun membuat beberapa temanku kasak-kusuk, tetapi aku memilih untuk tidak memperdulikannya dan berjalan untuk menemui keduanya, sambil membawa kertas soal-soal ujian yang Heri pinjamkan padaku sebelum ia lulus.
"Makasih," ucapku sambil menyerahkan kertas soal ujiannya.
"Sama-sama," jawab Heri.
Lalu ia bersama Rawit pun segera kembali ke kelasnya.
Setelah itu, aku pun diinterogasi oleh teman-temanku.
"Siapa, Lin?"
"Eh cowok Lo ya, yang mana?"
"Bukan, mereka berdua kakak kelas dari SMP. Yang manggil tadi, itu namanya Rawit, dari SMP memang gitu kelakuannya, cuek aja kalau manggil aku di kelas. Nah, kalau yang satunya lagi, namanya Heri, sebelum lulus dia minjemin gue soal latihan untuk ujian," jelasku kepada mereka.
Sebenarnya aku sedikit kesal dengan kedatangan Heri ke kelasku. Sewaktu SMP, hanya karena ada beberapa orang yang menjodohkan aku dengannya, aku pun mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kakak kelasku yang merupakan fans garis keras Heri.
"Heh, kamu yang namanya Halina, ya?" labrak salah seorang kakak kelasku di dalam toilet.
Aku yang baru selesai mencuci tanganku pun terkejut dan berusaha menjawabnya dengan tenang.
"Iya, Mbak. Maaf, ada apa ya?" tanyaku.
Aku pun mulai menghitung jumlah kakak kelasku yang berada di dalam toilet, semuanya berjumlah 5 orang. Saat itu aku mulai kesal, karena toilet tiba-tiba kosong, semua temanku yang bersamaku tadi entah kemana.
"Eh, jangan sok kecakepan deh, sok alim padahal centil!!" ucap yang lain dengan nada emosi.
Aku pun tidak mengerti akan maksud mereka.
"Maaf Mbak, ada apa, ya?" tanyaku.
"Eh kalau sudah pakai jilbab, jangan kecentilan, pakai sok gaya tiap hari dikirimin salam sama Heri!!"
"Laaa kan dia yang kirim salam, aku kan enggak. Balas juga nggak, trus kecentilannya dimana?" tanyaku.
"Aaah, pokoknya kamu kecentilan, sok cakep!!"
"Saya nggak pernah sok cakep, Mbak. Saya emang cakep. Lagian kalau Heri yang bolak-balik kirim salam buat saya, bukannya berarti dia yang suka sama saya? Trus salah gitu?" jawabku santai padahal jantungku berdegup sangat kencang dan serasa uji adrenalin yang tak kunjung usai.
"Eh berani banget Lo ngejawab!! Wah, nggak bisa dibiarin nih anak!!"
Aku sebenarnya sangat ketakutan, tanganku pun bergetar. Tetapi tiba-tiba, guru BP datang dan memanggil kami semua.
"Ini ngapain kumpul-kumpul di toilet ? Kalian lagi, masih saja bikin masalah ke adik kelas. Segera ke kantor, sekarang!" ucap Bu Asih penuh emosi karena telah menduga apa yang terjadi.
Kami ber-enam pun berjalan mengikuti Bu Asih menuju ruang kerjanya yang terletak di lantai 2.
Sesampainya di sana, Bu Asih duduk sambil memandangi kami ber-enam dengan pandangan penuh selidik.
"Lin, kamu diapain sama mereka ber-lima?" tanya Bu Asih.
"Nggak diapa-apain, kok Bu. Tadi itu cuma salah paham aja, kok," jawabku.
"Jujur, Lin, jangan bohong!"
"Iya, Bu. Beneran kok, tadi cuma salah paham. Mbak-mbak ini, mengira saya dekat sama Heri, tapi kan saya kenal juga nggak, jadi dekat dari mana? Cuma itu kok, Bu," jawabku.
"Yakin hanya itu masalahnya?" tanya Bu Asih kembali.
"Iya, Bu," jawabku.
"Ibu terima jawabanmu, walaupun ibu nggak percaya. Untuk kalian ber-lima, ini adalah peringatan terakhir, jika sekali lagi ibu mendengar atau melihat kalian mem-bully, kalian semua akan terkena sanksi!"
Itu adalah pengalamanku di SMP yang hanya karena mendapat salam dari kakak kelas, sehingga membuahkan kesalahpahaman yang luar biasa.
Kali ini di SMA, aku pun akhirnya mendapatkan rumor yang sama dan lokasi yang sama untuk konfirmasi, yaitu di toilet sekolah. Sebetulnya, ada apa sih dengan toilet sekolah?! Mengapa tempat ini serasa uji nyali bagiku.
Di saat sedang mengantri wudhu, salah seorang seniorku dengan sengaja berbicara dengan suara yang keras, untuk menyindirku.
"Katanya ada anak kelas 1, jilbaber, tapi pacaran lho," ucapnya lengkap dengan lirikan mata ke arahku.
"Not again!" ucapku dalam hati.
"Emang bener beritanya?" tanya salah satu temannya.
"Yaa nggak tahu juga sih, tapi kalau sampai disamperin di kelas, kan nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa," jawabnya.
"Aku denger-denger, katanya sudah dari SMP, kan mereka dari SMP yang sama," tambahnya lagi yang membuatku ingin menutup mulutnya dengan bakiak yang kupakai.
Seketika itu, teman-temanku pun menyadari siapa yang dimaksud. Aku pun harus menjelaskan kepada mereka, apa yang sebenarnya terjadi. Artis bukan, tukang gossip juga bukan, tetapi entah mengapa rumor yang menimpaku seakan tak berujung. Dia lagi dan dia lagi. Maka dari itu, aku pun mulai tidak menyukainya dengan alasan, "gara-gara Lo yang kirim salam, gue yang harus terima gosip nggak enak selama 2 tahun!"
Setelah peristiwa toilet, teman-temanku pun meminta konfirmasi di saat pulang sekolah.
"Ada apa sih, Lin? Kok kayaknya, mbak Lisa ngomongin Elo?" tanya Ayu, yang berbeda kelas denganku.
"Hmmm, ini gara-gara aku disamperin Heri sama Rawit di kelas. Aku mau ngembaliin soal-soal ujian yang dipinjemin Heri," jawabku.
"Ooo Elu satu sekolah sama mereka berdua?" tanya Nur.
"Iya," jawabku.
"Rawit itu tetangga kita, di Penggilingan," ucap Ayu.
"Ooo sempitnya dunia," sahutku.
"Trus memangnya kenapa sama Heri?" tanya Ayu lagi.
Aku pun menceritakan masalah rumorku dengannya sedari SMP, yang ternyata berlanjut di SMA. Mereka pun tertawa setelah mendengar ceritaku.
"Heran ya, cuma sekali disamperin di kelas, eee si embak-embak itu kok sewot banget. Bukan urusannya juga, kok repot amat hidupnya?" reaksi spontan Ayu setelah mendengar ceritaku.
"Biarin aja, Yu. Nanti juga bakalan diam sendiri," ucapku.
Tetapi perkiraanku pun meleset, rumor akan kedekatan antara aku dan Heri, kembali merebak di kelas 2, hingga senior dari Rohis menggelar sidang untuk mengkonfirmasi masalah rumor tersebut.
Kami berdua, menjalani sidang masing-masing, di waktu yang berbeda. Heri dengan anggota ikhwan, sedangkan aku dengan anggota akhwat.
"Apa benar kalian berdua berpacaran?" tanya salah satu senior Rohis.
"Nggak, Mbak. Saya juga awal kenal Heri karena ada rumor seperti itu. Padahal saya tidak pernah berbicara berdua dengan Heri. Awal rumor itu pun karena Heri yang berulang kali mengirimkan salam untuk saya melalui temannya. Jadi sebenarnya saya tidak mengenal Heri, jika ia tidak mengirimkan salam untuk saya," jawabku.
"Jadi kamu baru kenal setelah dia kirim salam ke kamu?"
"Iya teknisnya begitu," jawabku.
"Trus ngapain dia ke kelas kamu?"
"Dia minjemin soal-soal ujiannya ke saya, sebelum dia lulus. Setelah saya masuk sini, yaaa saya harus kembalikan dong," jawabku.
Dan masih banyak lagi pertanyaan seputar Heri yang aku sudah sangat malas untuk menjawabnya.
Semenjak itu, aku pun mulai kesal setiap melihat Heri dan kami berdua tidak pernah berkomunikasi baik di dalam maupun di luar sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Yuli Fitria
Rawit hihi seketika ingat si merah² yang bikin bibir dower kalau kebanyakan 😂
2023-01-12
0
leneva
Kita lihat aja nanti, si Lina bakalan cinta ga sama Tyo 😅
2022-09-28
1
Tufa Hans
Kesal jadi cinta nanti Lin ... 🤣
2022-09-28
1