Alhamdulillah, akhirnya aku kembali ke ruang perawatan biasa, setelah dirawat intensif selama 4 hari di ICU.
Walaupun sudah tidak merasakan mual, tetapi aku merasa seperti terombang-ambing di atas kapal, badanku serasa oleng dan bergoyang.
"Yang kamu rasakan itu dinamakan vertigo, itu normal, biasanya setelah 3 atau 4 bulan akan menghilang, paling lama 6 bulan. Untuk mengurangi keluhannya, kamu harus mengkonsumsi mertigo 3x sehari. Lalu dolo neurobion untuk perawatan sarafnya," jelas dr. Lucas yang kembali memeriksaku keesokan harinya.
Aku lalu mendengar dr. Lucas berbicara kepada ayahku, sebelum ia meninggalkan kamar perawatanku.
"Besok Halina kita CT-scan kembali, untuk melihat lokasi VP shunt-nya, jika tidak ada masalah atau keluhan, Lina sudah diperbolehkan untuk rawat jalan."
Mendengar hal itu, aku pun merasa lega, akhirnya dua hari lagi, aku diperbolehkan pulang ke rumah.
"Lin, kamu dengar, kan? Katanya 2 hari lagi kalau semua pemeriksaan normal, kamu bisa pulang. Sekarang pastikan kondisi badanmu harus stabil, harus kuat," ucap ibu.
"Bu, kapan aku boleh jalan?" tanyaku lagi.
"Kalau dr. Lucas tadi bilang, besok kamu sudah boleh latihan jalan, semoga nggak pusing," jawab ibu.
"Kamu minum madu dan sari kurma, untuk membantu pemulihan juga untuk tenaga. Ibu sudah tanyakan ke dr. Lucas, katanya boleh kok," lanjut ibu lagi.
Aku pun merasa bersemangat setelah mendengar kalau lusa aku sudah diperbolehkan pulang.
Keesokannya, aku mulai latihan berjalan, ternyata tidak semudah yang kukira. Aku benar-benar merasa seperti berada di atas kapal dan kapalnya oleng, kapten!
"Duduk dulu, tunggu sampai stabil baru coba berdiri," ucap perawat yang membantuku.
Setelah beberapa saat, aku pun mencoba berdiri, sepertinya mode 'Titanic' ini akan ku jalani dalam beberapa pekan ke depan.
Perlahan-lahan aku pun mencoba melangkah dengan dibantu oleh mbak Nina, perawat yang memegangi tanganku. Selangkah demi selangkah, akhirnya aku berhasil berjalan sampai pintu kamar dan kembali ke tempat tidur.
"Yeeei, adikku sudah bisa berjalan sendiri," canda Mbak Hana untuk menyemangatiku.
"Yeii, aku berjalan di Titanic! Kapalnya oleng, kapten!! Mbak, cobain deh, seru nih berasa naik kapal padahal nggak," candaku.
"Ogah, kepala di odal-odel gitu, nonton kamu juga sudah hiburan," balas mbak Hana.
"Hiburan gratis, ya," tambahku.
Mbak Hana adalah my biggest supporter, dalam segala keadaan dan situasi apapun. Ia selalu mempunyai cara sendiri dalam membantuku. Walaupun usia kami berdua selisih 4 tahun, tetapi kami lahir di bulan yang sama, sehingga kami banyak memiliki kemiripan termasuk suara, kecuali wajah. Ya, mbak Hana adalah kakak perempuanku satu-satunya tetapi wajah kami berdua tidak mirip, penampilan fisik kami juga berbeda. Mbak Hana adalah penganut slim shady, sedangkan aku mempunyai cadangan lemak yang lebih banyak darinya. Ada satu kemiripan yang kami miliki, bahkan orang tua kami sulit membedakannya, yaitu suara. Suara kami sangat mirip, bahkan jika di telepon, orang tua kami pasti bertanya, "Ini siapa, Hana atau Halina?"
Perlahan tapi pasti aku mulai latihan berjalan walau dengan keseimbangan yang sedikit tidak karuan, ditambah rasa nyeri pada kepalaku membuatku banyak terdiam sesaat.
"Pelan-pelan aja, Lin. Jangan dipaksain, kalau pusing berhenti dulu," ucap mbak Hana.
"Pusingnya belum hilang dari selesai operasi, entah sampai kapan aku akan berada di atas kapal oleng ini," sahutku.
"Oiya, sampai kapan kamu bakalan di atas kapal oleng?" tanya mbak Hana.
"Nggak tahu. Eh, sampai kapan, Mbak? Tahu, nggak?" tanyaku kepada mbak Nina.
"Biasanya sih, sekitar 6 bulan sudah kembali normal," jawabnya.
"Hmm, akhir tahun dong," sahutku.
Aku harus bersabar menjalani pemulihan pasca operasi ini, yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Siangnya, aku telah dijadwalkan untuk mengambil CT-scan pasca operasi, aku berharap hasilnya normal, sehingga aku bisa segera pulang.
Lalu, sku dimasukkan ke dalam mesin CT-scan. Suara mesin dan posisiku yang berbaring sejajar, membuatku kembali pusing dan nyeri pada bagian jahitan di kepalaku. Aku pun harus bertahan hingga prosesnya berakhir.
Setelah beberapa saat, akhirnya selesai sudah pengambilan CT-scan kepalaku. Dengan perlahan, aku dikeluarkan dari mesin CT-scan, kapal pun kembali oleng, Kapten!
Fix, jika kalian ingin merasakan wahana kapal yang terombang-ambing, menjadi aku saat itu rasanya sudah cukup.
Aku pun duduk cukup lama, untuk menstabilkan vertigoku sampai akhirnya aku dapat berdiri.
"Pusing?" tanya ibu yang menemani.
"Iya, Bu," jawabku.
Mbak Nina kemudian mengambil kursi roda dan membantuku untuk duduk di atasnya.
"Langsung ke kamar sekarang aja, Mbak," pintaku.
Mbak Nina pun mendorong kursi roda menuju kamar perawatanku, diikuti oleh ibu yang berjalan di belakangku.
Sesampainya di kamar, aku merasa sangat pusing, sehingga aku hanya duduk bersandar pada tempat tidur sambil memejamkan mata, hingga aku pun tertidur.
Sore harinya, dr. Sandy datang sambil membawa hasil CT-scanku siang tadi.
"Semuanya normal, cairannya sudah teralirkan dengan baik, tinggal pemulihan pascaoperasi saja. Nanti malam, dr. Lucas akan memeriksa Lina sekali lagi, sebelum kamu diperbolehkan pulang. Nanti untuk kontrolnya, langsung ke dr. Lucas di RS tempat beliau praktek, nanti akan diberikan surat pengantarnya," dr. Sandy menjelaskan.
"Jadi nggak kontrol ke dr. Sandy?" tanyaku.
"Iya, kontrolnya nanti hanya ke dr. Lucas saja," jawabnya.
dr. Sandy, meninggalkan ruang perawatanku, setelah ibu selesai berkonsultasi dengan beliau.
"Alhamdulillah, hasilnya bagus. Nih lihat, cairannya sudah mulai kembali normal. Kita tunggu dr. Lucas nanti malam," ucap ibuku dengan wajah berseri-seri.
Malamnya, perawat ruangan memberi kabar, jika dr. Lucas akan datang lewat pukul 11, karena mendadak terjadi kecelakaan yang membutuhkan penanganan bedah saraf.
"Yowes Lin, kamu tidur aja. Nanti kalau dr. Lucas datang, ibu bangunin," ucap ibu.
Benar saja, sekitar pukul 00.30, dr. Lucas datang untuk memeriksa kondisiku. Ketika ibu ingin membangunkan aku, dr. Lucas melarangnya.
"Jangan dibangunkan, biarkan Lina tidur. Saya bisa memeriksa Lina, tanpa harus membangunkannya," cegah dr. Lucas.
Aku sebenarnya setengah terjaga, tetapi mataku terasa sangat berat, sehingga membuatku tetap menutup mataku.
"Besok, Lina sudah bisa rawat jalan," ucap dr. Lucas setelah selesai memeriksaku.
"Kapan lepas jahitannya, Dok?" tanya ibu.
"Besok pagi sebelum pulang sudah bisa lepas jahitan. Pekan depan, kontrol pertama di RS St. CRL," jawab dr. Lucas.
Saat itu, aku mulai membayangkan bagaimana rasanya dilepaskan jahitan yang berada di kepalaku. Ketika benang jahitan di kepalaku digunting kemudian ditarik, satu-persatu, hingga habis, kemudian berlanjut dengan jahitan yang ada di perutku.
"Ouch, rasanya sakit dan ngilu nggak sih?" tanyaku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments