Setelah makan siang bersama, Tyo mulai mendekatiku dengan beberapa kali mengirimkan pesan singkat yang isinya sangat standar bagi seseorang yang sedang dalam proses PDKT.
Entah mengapa aku tetap meresponnya dengan baik walaupun tidak ada getaran apapun yang kurasakan.
Hingga saat yang kukhawatirkan pun tiba, yaitu saat ia mengungkapkan perasaannya padaku. Aarrgh, memang dia pria jadul yang sok romantis! Ingin aku menolaknya, tetapi entah kenapa aku malah menerimanya.
Dia mengajakku makan siang di Mall dekat rumahku. Sungguh aku ingin menertawakan diriku sendiri yang sangat bodoh kala itu. Tyo, dia belum lancar mengendarai mobil, yang artinya dia belum memiliki SIM A. Sedangkan aku telah mengantongi SIM A semenjak aku lulus kuliah, setelah ayahku membelikanku sebuah city car keluaran Amerika yang katanya cocok digunakan olehku.
Untuk itu, terkadang sepulang kerja aku mengantarkan dia pulang ke rumah dari klinik tempat ia berpraktik. Halo, ini judulnya apa sih? Aku rasa apa yang kulakukan tidak ada di dalam kamus PDKT mana pun. Entah apa yang merasuki diriku saat itu.
Singkat cerita, suatu saat kami pun makan siang di salah satu resto di Mall Kelapa Gading.
Di tengah-tengah makan siang itu, tiba-tiba mimik wajahnya berubah menjadi serius. Aku pun khawatir akan apa yang ingin ia utarakan.
"Lin, boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Tyo dengan suara pelan.
"Tanya apa?" tanyaku balik dan berharap-harap cemas.
"Hmm gini, hmm maukah kamu menjadi bunga untukku?"
Astaghfirullah, Tyoooo!! Kamu itu laki-laki dari jaman apa sih?! Acara nembak kok, bahasanya ajaib seperti itu?!! Kenapa bukan seperti ini, Lin aku suka sama kamu, mau jadian nggak? Kalau dia bertanya seperti itu, aku akan menjawab, tentu tidak, hahaha. Aarrghhh, tetapi entah mengapa aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya lalu refleksku mengangguk. Oh kepala! Kamu memang mencari masalah denganku. Kenapa kamu tidak mengkoordinasikan terlebih dahulu dengan hatimu, yang jelas-jelas menolak dengan keras!
Sementara itu, setelah melihat reaksiku, senyum kelegaan pun terlihat di wajahnya dan aku pun ikut tersenyum! Waaah, I'm in trouble!
Aku tidak ingin bercerita lebih lanjut tentang peristiwa penembakan yang sejatinya membuatku ill feel. Tetapi setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan SMS hanya sekedar menanyakan aktivitasku hari itu ataupun menelfonku hingga larut malam, seperti layaknya orang yang sedang kasmaran. Bagaimana denganku? Well, SMS dan telfon itu terkadang cukup menggangguku, aku tidak selalu menikmati perhatian yang ia berikan, tetapi aku berpura-pura teruja dengan perhatiannya.
Suatu saat ketika hujan deras, seperti biasa sepulang kerja, aku menjemputnya dari klinik tempat ia berpraktik dan mengantarkannya sampai ke rumah. Lebih tepatnya sampai ke depan gang menuju rumahnya. Aku sendiri tidak tahu rumahnya yang mana.
"Lin, mampir ke rumah dulu, kan masih hujan, lagipula sebentar lagi maghrib," ajaknya.
Dalam hatiku pun menjawab, "Hujan juga nggak bakalan basah, kan di mobil, udah sih buruan keluar, nggak usah pakai acara suruh mampir, trus nanti kenalan sama orang tuanya, aarrghhh tidaaaak!!"
"Lin, ayo mampir dulu, nggak baik juga waktu maghrib masih di jalan," tanyanya lagi, karena aku tidak merespon ajakannya.
Tetapi entah mengapa, aku berakhir dengan menerima ajakannya. Kemudian, aku berjalan dengan berbagi payung dengannya. Romantis? Mungkin menurutnya, tetapi tidak denganku yang merasa sedikit risih berjalan disampingnya.
Ternyata jalan menuju rumahnya cukup jauh dari tempat aku memarkirkan mobilku. Kami melewati jalan dengan perumahan padat penduduk yang hanya dapat dilewati oleh motor atau bajaj.
Kemudian ia mulai berbelok ke gang yang lebih sempit, mungkin hanya selebar sekitar 1,5 m. Aku cukup terkejut, aku tidak menyangka jika tempat tinggalnya jauh dari apa yang kubayangkan. Status sosial kedua orang tua kami ternyata sangat jauh berbeda.
Ayahku adalah seorang Direktur BUMN, dengan latar pendidikan S2, yang saat itu telah memiliki beberapa tempat tinggal di 3 provinsi. Yang pertama adalah di Jogja, rumah ayahku yang pertama ini, dihuni oleh tanteku beserta keluarganya dan kakak-kakak sepupuku yang sedang menuntut ilmu di Jogja. Termasuk mas Verdi dan Mbak Hana yang sempat mengenyam pendidikan tingkat SMP, sedangkan mas Verdi hingga lulus SMA di Jogja, sebelum ia menyusul kami ke Jakarta untuk kuliah. Kemudian rumah yang kedua terletak di Jakarta yang kami sekeluarga tempati saat ini. Ayahku membelinya ketika Kelapa Gading masih dalam tahap pembangunan, yang masih berupa tanah merah. Kala itu, ayahku membeli rumah yang kami tempati seharga sekitar 75 juta rupiah.
Hanya setahun kami tinggal di Jakarta, karena ayahku kemudian dipindahkan kembali ke cabang Surabaya. Di sanalah ayahku membangun rumah ke-tiganya yang kemudian disewakan, setelah ayahku dipindahkan tugas kembali ke Jakarta.
Mengingat itu semua, aku menjadi sedikit sungkan, karena aku benar-benar tidak menyangka akan perbedaan status sosial kami yang sangat mencolok. Tetapi bukan masalah dimana aku tinggi hati ataupun sombong, melainkan aku malu dan bingung untuk menjelaskan statusku nantinya pada keluarganya, karena aku yakin Tyo juga tidak mengetahui kedudukan ayahku.
Tyo pun mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana.
"Assalamu'alaikum," sapaku.
"Wa'alaikumsalam," jawab seorang pria tua yang kurasa itu adalah ayahnya.
Tyo pun segera menuju ke ruang tengah yang hanya disekat dengan lemari. Tampak ayah Tyo yang keheranan dengan kehadiranku.
Lalu tak lama, Tyo kembali menemuiku di ruang tamu sambil membawakan teh panas. Ia pun memperkenalkan diriku kepada kedua orang tuanya.
"Kenalin, Pak, Bu. Ini Halina atau biasa dipanggil Lina, temen SMA dulu," ucapnya.
Aku pun menundukkan kepalaku sambil tersenyum dan menyalami ibunya.
"Tinggal dimana?" tanya ayahnya.
"Di Kelapa Gading."
Ramah-tamah standar pun terjadi.
"Kok bisa kesini?" tanya ayahnya lagi.
"Lina bawa mobil, tadi nganterin aku ke sini, tapi karena hujan, aku minta dia mampir, lagi pula sudah hampir maghrib," jawab Tyo.
Jawaban Tyo membuat ekspresi kedua orang tuanya berubah, entah karena lokasi tempat tinggalku, kendaraan yang kumiliki atau hubungan apa yang aku miliki dengan putranya.
Tiba-tiba pintu rumah diketuk, seorang pria yang mirip dengan Tyo pun masuk. Ia lalu melihat ke arahku sebelum ia menyalami orangtua Tyo. Aku menduga, pria ini adalah kakak dari Tyo.
"Siapa, Yo?" tanya pria itu setengah berbisik.
"Kenalin, Mas. Ini Lina, teman SMA. Lin, ini Mas Nomo, kakakku yang ke-dua," jawabnya.
Tak lama kemudian, adzan maghrib pun berkumandang, kami semua bersiap untuk melaksanakan shalat berjama'ah di rumah, karena hujan tak kunjung reda.
Dalam shalat, aku berharap hujan segera reda, sehingga aku dapat segera pulang. Alhamdulillah, Allah mengabulkan do'aku. Setelah selesai sholat, aku pun segera berpamitan dengan alasan sudah malam.
"Hafal jalan keluarnya, nggak?" tanya ayah Tyo.
Aku menjawabnya hanya dengan tersenyum, karena aku tidak ingat sama sekali arah jalan keluar menuju parkiran.
"Yo, anterin Lina dulu tuh, nanti nyasar," ucap ayahnya.
"Iya, Pak."
"Kalau begitu, saya permisi pulang dulu. Maaf Pak, Bu, jadi ngerepotin," ucapku basa-basi.
"Nggak ada tamu yang merepotkan," jawab ayah Tyo.
"Maturnuwun, Pak, Bu. Assalamu'alaikum," pamitku kepada kedua orang tua Tyo.
Lalu aku berjalan mengikuti Tyo dari belakang.
"Kok di belakang?" tanyanya sambil memintaku untuk berjalan di sampingnya dengan gerakan tangannya.
Aku sebenarnya enggan memenuhi permintaannya, hal itu membuat Tyo menghentikan langkahnya.
"Jangan jalan di belakang, sini di samping," pintanya.
Dengan malas, akhirnya kuikuti kemauannya untuk berjalan disampingnya.
Memang benar, jika Tyo tidak mengantarkan aku ke parkiran mobil, aku sudah pasti tersesat dengan banyaknya gang bercabang yang kami lewati.
Sesampainya di parkiran, aku segera masuk ke dalam mobil.
"Makasih, Yo. Aku pulang, assalamu'alaikum," pamitku dan segera kulajukan kendaraanku menuju rumah tanpa melihat kembali ke belakang apakah Tyo masih berdiri hingga aku menghilang di balik tikungan atau segera kembali berjalan pulang menuju rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments