Episode 7 Love Shot

Setelah makan siang bersama, Tyo mulai mendekatiku dengan beberapa kali mengirimkan pesan singkat yang isinya sangat standar bagi seseorang yang sedang dalam proses PDKT.

Entah mengapa aku tetap meresponnya dengan baik walaupun tidak ada getaran apapun yang kurasakan.

Hingga saat yang kukhawatirkan pun tiba, yaitu saat ia mengungkapkan perasaannya padaku. Aarrgh, memang dia pria jadul yang sok romantis! Ingin aku menolaknya, tetapi entah kenapa aku malah menerimanya.

Dia mengajakku makan siang di Mall dekat rumahku. Sungguh aku ingin menertawakan diriku sendiri yang sangat bodoh kala itu. Tyo, dia belum lancar mengendarai mobil, yang artinya dia belum memiliki SIM A. Sedangkan aku telah mengantongi SIM A semenjak aku lulus kuliah, setelah ayahku membelikanku sebuah city car keluaran Amerika yang katanya cocok digunakan olehku.

Untuk itu, terkadang sepulang kerja aku mengantarkan dia pulang ke rumah dari klinik tempat ia berpraktik. Halo, ini judulnya apa sih? Aku rasa apa yang kulakukan tidak ada di dalam kamus PDKT mana pun. Entah apa yang merasuki diriku saat itu.

Singkat cerita, suatu saat kami pun makan siang di salah satu resto di Mall Kelapa Gading.

Di tengah-tengah makan siang itu, tiba-tiba mimik wajahnya berubah menjadi serius. Aku pun khawatir akan apa yang ingin ia utarakan.

"Lin, boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Tyo dengan suara pelan.

"Tanya apa?" tanyaku balik dan berharap-harap cemas.

"Hmm gini, hmm maukah kamu menjadi bunga untukku?"

Astaghfirullah, Tyoooo!! Kamu itu laki-laki dari jaman apa sih?! Acara nembak kok, bahasanya ajaib seperti itu?!! Kenapa bukan seperti ini, Lin aku suka sama kamu, mau jadian nggak? Kalau dia bertanya seperti itu, aku akan menjawab, tentu tidak, hahaha. Aarrghhh, tetapi entah mengapa aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya lalu refleksku mengangguk. Oh kepala! Kamu memang mencari masalah denganku. Kenapa kamu tidak mengkoordinasikan terlebih dahulu dengan hatimu, yang jelas-jelas menolak dengan keras!

Sementara itu, setelah melihat reaksiku, senyum kelegaan pun terlihat di wajahnya dan aku pun ikut tersenyum! Waaah, I'm in trouble!

Aku tidak ingin bercerita lebih lanjut tentang peristiwa penembakan yang sejatinya membuatku ill feel. Tetapi setelah itu, ia mulai rajin mengirimkan SMS hanya sekedar menanyakan aktivitasku hari itu ataupun menelfonku hingga larut malam, seperti layaknya orang yang sedang kasmaran. Bagaimana denganku? Well, SMS dan telfon itu terkadang cukup menggangguku, aku tidak selalu menikmati perhatian yang ia berikan, tetapi aku berpura-pura teruja dengan perhatiannya.

Suatu saat ketika hujan deras, seperti biasa sepulang kerja, aku menjemputnya dari klinik tempat ia berpraktik dan mengantarkannya sampai ke rumah. Lebih tepatnya sampai ke depan gang menuju rumahnya. Aku sendiri tidak tahu rumahnya yang mana.

"Lin, mampir ke rumah dulu, kan masih hujan, lagipula sebentar lagi maghrib," ajaknya.

Dalam hatiku pun menjawab, "Hujan juga nggak bakalan basah, kan di mobil, udah sih buruan keluar, nggak usah pakai acara suruh mampir, trus nanti kenalan sama orang tuanya, aarrghhh tidaaaak!!"

"Lin, ayo mampir dulu, nggak baik juga waktu maghrib masih di jalan," tanyanya lagi, karena aku tidak merespon ajakannya.

Tetapi entah mengapa, aku berakhir dengan menerima ajakannya. Kemudian, aku berjalan dengan berbagi payung dengannya. Romantis? Mungkin menurutnya, tetapi tidak denganku yang merasa sedikit risih berjalan disampingnya.

Ternyata jalan menuju rumahnya cukup jauh dari tempat aku memarkirkan mobilku. Kami melewati jalan dengan perumahan padat penduduk yang hanya dapat dilewati oleh motor atau bajaj.

Kemudian ia mulai berbelok ke gang yang lebih sempit, mungkin hanya selebar sekitar 1,5 m. Aku cukup terkejut, aku tidak menyangka jika tempat tinggalnya jauh dari apa yang kubayangkan. Status sosial kedua orang tua kami ternyata sangat jauh berbeda.

Ayahku adalah seorang Direktur BUMN, dengan latar pendidikan S2, yang saat itu telah memiliki beberapa tempat tinggal di 3 provinsi. Yang pertama adalah di Jogja, rumah ayahku yang pertama ini, dihuni oleh tanteku beserta keluarganya dan kakak-kakak sepupuku yang sedang menuntut ilmu di Jogja. Termasuk mas Verdi dan Mbak Hana yang sempat mengenyam pendidikan tingkat SMP, sedangkan mas Verdi hingga lulus SMA di Jogja, sebelum ia menyusul kami ke Jakarta untuk kuliah. Kemudian rumah yang kedua terletak di Jakarta yang kami sekeluarga tempati saat ini. Ayahku membelinya ketika Kelapa Gading masih dalam tahap pembangunan, yang masih berupa tanah merah. Kala itu, ayahku membeli rumah yang kami tempati seharga sekitar 75 juta rupiah.

Hanya setahun kami tinggal di Jakarta, karena ayahku kemudian dipindahkan kembali ke cabang Surabaya. Di sanalah ayahku membangun rumah ke-tiganya yang kemudian disewakan, setelah ayahku dipindahkan tugas kembali ke Jakarta.

Mengingat itu semua, aku menjadi sedikit sungkan, karena aku benar-benar tidak menyangka akan perbedaan status sosial kami yang sangat mencolok. Tetapi bukan masalah dimana aku tinggi hati ataupun sombong, melainkan aku malu dan bingung untuk menjelaskan statusku nantinya pada keluarganya, karena aku yakin Tyo juga tidak mengetahui kedudukan ayahku.

Tyo pun mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana.

"Assalamu'alaikum," sapaku.

"Wa'alaikumsalam," jawab seorang pria tua yang kurasa itu adalah ayahnya.

Tyo pun segera menuju ke ruang tengah yang hanya disekat dengan lemari. Tampak ayah Tyo yang keheranan dengan kehadiranku.

Lalu tak lama, Tyo kembali menemuiku di ruang tamu sambil membawakan teh panas. Ia pun memperkenalkan diriku kepada kedua orang tuanya.

"Kenalin, Pak, Bu. Ini Halina atau biasa dipanggil Lina, temen SMA dulu," ucapnya.

Aku pun menundukkan kepalaku sambil tersenyum dan menyalami ibunya.

"Tinggal dimana?" tanya ayahnya.

"Di Kelapa Gading."

Ramah-tamah standar pun terjadi.

"Kok bisa kesini?" tanya ayahnya lagi.

"Lina bawa mobil, tadi nganterin aku ke sini, tapi karena hujan, aku minta dia mampir, lagi pula sudah hampir maghrib," jawab Tyo.

Jawaban Tyo membuat ekspresi kedua orang tuanya berubah, entah karena lokasi tempat tinggalku, kendaraan yang kumiliki atau hubungan apa yang aku miliki dengan putranya.

Tiba-tiba pintu rumah diketuk, seorang pria yang mirip dengan Tyo pun masuk. Ia lalu melihat ke arahku sebelum ia menyalami orangtua Tyo. Aku menduga, pria ini adalah kakak dari Tyo.

"Siapa, Yo?" tanya pria itu setengah berbisik.

"Kenalin, Mas. Ini Lina, teman SMA. Lin, ini Mas Nomo, kakakku yang ke-dua," jawabnya.

Tak lama kemudian, adzan maghrib pun berkumandang, kami semua bersiap untuk melaksanakan shalat berjama'ah di rumah, karena hujan tak kunjung reda.

Dalam shalat, aku berharap hujan segera reda, sehingga aku dapat segera pulang. Alhamdulillah, Allah mengabulkan do'aku. Setelah selesai sholat, aku pun segera berpamitan dengan alasan sudah malam.

"Hafal jalan keluarnya, nggak?" tanya ayah Tyo.

Aku menjawabnya hanya dengan tersenyum, karena aku tidak ingat sama sekali arah jalan keluar menuju parkiran.

"Yo, anterin Lina dulu tuh, nanti nyasar," ucap ayahnya.

"Iya, Pak."

"Kalau begitu, saya permisi pulang dulu. Maaf Pak, Bu, jadi ngerepotin," ucapku basa-basi.

"Nggak ada tamu yang merepotkan," jawab ayah Tyo.

"Maturnuwun, Pak, Bu. Assalamu'alaikum," pamitku kepada kedua orang tua Tyo.

Lalu aku berjalan mengikuti Tyo dari belakang.

"Kok di belakang?" tanyanya sambil memintaku untuk berjalan di sampingnya dengan gerakan tangannya.

Aku sebenarnya enggan memenuhi permintaannya, hal itu membuat Tyo menghentikan langkahnya.

"Jangan jalan di belakang, sini di samping," pintanya.

Dengan malas, akhirnya kuikuti kemauannya untuk berjalan disampingnya.

Memang benar, jika Tyo tidak mengantarkan aku ke parkiran mobil, aku sudah pasti tersesat dengan banyaknya gang bercabang yang kami lewati.

Sesampainya di parkiran, aku segera masuk ke dalam mobil.

"Makasih, Yo. Aku pulang, assalamu'alaikum," pamitku dan segera kulajukan kendaraanku menuju rumah tanpa melihat kembali ke belakang apakah Tyo masih berdiri hingga aku menghilang di balik tikungan atau segera kembali berjalan pulang menuju rumahnya.

Episodes
1 Episode 1 Nefrotik Syndrome
2 Episode 2 Aku, Halina Ramadhani
3 Episode 3 Moon face
4 Episode 4 Sembuh
5 Episode 5 Rumor
6 Episode 6 Makan Siang
7 Episode 7 Love Shot
8 Episode 8 Kunjungan
9 Episode 9 Khitbah
10 Episode 10 Pemeriksaan Pertama
11 Episode 11 Persiapan Operasi
12 Episode 12 Operasi dan Pasca Operasi
13 Episode 13 ICU
14 Episode 14 Kapalnya Oleng, Kapten!
15 Episode 15 My Complicated Life
16 Episode 16 Perpisahan Pertama
17 Episode 17 Tunggul Prasetyo
18 Episode 18 Kesempatan Dalam Kesempitan
19 Episode 19 Akad
20 Episode 20 Tanda Tangan Keriting
21 Episode 21 The King and The Queen of The Day
22 Episode 22 Pulang ke Rumah
23 Episode 23 Bagaikan Langit dan Bumi
24 Episode 24 Di Rumah Mertua
25 Episode 25 Medan, I'm Coming!
26 Episode 26 Touchdown in Medan
27 Episode 27 In The Middle of No Where
28 Episode 28 Perkenalan
29 Episode 29 Insiden Jemuran
30 Episode 30 2 Garis Merah
31 Episode 31 First Pregnancy
32 Episode 32 Lost in Translation
33 Episode 33 Kembali Ke Jakarta
34 Episode 34 H2C
35 Episode 35 Impian Hanya Sekedar Impian
36 Episode 36 Di luar Ekspektasi
37 Episode 36 Di luar Ekspektasi
38 Episode 37 Kembali ke Kebun
39 Episode 38 Kembali ke Jakarta
40 Episode 39 Welcome to Batam
41 Episode 40 Second Daughter
42 Episode 41 Life of A Doctor
43 Episode 42 LDR
44 Episode 43 Honeymoon yang Tertunda
45 Episode 44 1st Day in Hongkong
46 Episode 45 Disneyland dan Macau
47 Episode 46 The Venetian
48 Episode 47 Back to Jakarta
49 Episode 48 Back to Reality
50 Episode 49 Ada Apa denganku?
51 Episode 50 Ingatan yang Hilang
52 Episode 51 Berlibur
53 Episode 52 Operasi Ke-lima?
54 Episode 53 Healing but Hurting
55 Episode 54 Pemeriksaan Autoimun
56 Episode 55 Back to Everyday Life
57 Episode 56 Pindah
58 Episode 57 New Drama
59 Episode 58 Mediasi Sidang Pertama
60 Episode 59 Menjadi Author
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Episode 1 Nefrotik Syndrome
2
Episode 2 Aku, Halina Ramadhani
3
Episode 3 Moon face
4
Episode 4 Sembuh
5
Episode 5 Rumor
6
Episode 6 Makan Siang
7
Episode 7 Love Shot
8
Episode 8 Kunjungan
9
Episode 9 Khitbah
10
Episode 10 Pemeriksaan Pertama
11
Episode 11 Persiapan Operasi
12
Episode 12 Operasi dan Pasca Operasi
13
Episode 13 ICU
14
Episode 14 Kapalnya Oleng, Kapten!
15
Episode 15 My Complicated Life
16
Episode 16 Perpisahan Pertama
17
Episode 17 Tunggul Prasetyo
18
Episode 18 Kesempatan Dalam Kesempitan
19
Episode 19 Akad
20
Episode 20 Tanda Tangan Keriting
21
Episode 21 The King and The Queen of The Day
22
Episode 22 Pulang ke Rumah
23
Episode 23 Bagaikan Langit dan Bumi
24
Episode 24 Di Rumah Mertua
25
Episode 25 Medan, I'm Coming!
26
Episode 26 Touchdown in Medan
27
Episode 27 In The Middle of No Where
28
Episode 28 Perkenalan
29
Episode 29 Insiden Jemuran
30
Episode 30 2 Garis Merah
31
Episode 31 First Pregnancy
32
Episode 32 Lost in Translation
33
Episode 33 Kembali Ke Jakarta
34
Episode 34 H2C
35
Episode 35 Impian Hanya Sekedar Impian
36
Episode 36 Di luar Ekspektasi
37
Episode 36 Di luar Ekspektasi
38
Episode 37 Kembali ke Kebun
39
Episode 38 Kembali ke Jakarta
40
Episode 39 Welcome to Batam
41
Episode 40 Second Daughter
42
Episode 41 Life of A Doctor
43
Episode 42 LDR
44
Episode 43 Honeymoon yang Tertunda
45
Episode 44 1st Day in Hongkong
46
Episode 45 Disneyland dan Macau
47
Episode 46 The Venetian
48
Episode 47 Back to Jakarta
49
Episode 48 Back to Reality
50
Episode 49 Ada Apa denganku?
51
Episode 50 Ingatan yang Hilang
52
Episode 51 Berlibur
53
Episode 52 Operasi Ke-lima?
54
Episode 53 Healing but Hurting
55
Episode 54 Pemeriksaan Autoimun
56
Episode 55 Back to Everyday Life
57
Episode 56 Pindah
58
Episode 57 New Drama
59
Episode 58 Mediasi Sidang Pertama
60
Episode 59 Menjadi Author

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!