Kedua orang tuaku pun mulai bertindak cepat, dengan memintaku untuk mengantarkan mereka ke rumah orang tua Tyo, dengan alasan untuk berkenalan dengan kedua orang tuanya.
"Bu, tapi nanti jangan kaget yaa. Rumahnya itu di gang sempit, hanya cukup untuk dilewati motor, pokoknya lumayan deh jalan dari parkiran sampai ke rumahnya," jelasku sambil berusaha mengingat-ingat arah jalan menuju rumahnya.
Alhamdulillah, sesampainya di parkiran, Tyo telah menunggu kedatanganku di gang yang tidak jauh dari parkiran. Tyo segera menghampiri dan menyalami ayahku, lalu ia mulai menunjukkan jalan ke arah rumahnya.
"Mari Pak, Bu. Maaf, jalannya kecil, jadi harus jalan kaki dulu," ucap Tyo.
Ayahku pun menjawabnya dengan jawaban yang sudah dapat kutebak, "Nggak papa, hitung-hitung olahraga."
Kali ini, aku harus berusaha untuk mengingat jalan menuju rumahnya, karena akan sangat memalukan jika aku sampai tersasar.
Ibu pun sempat memandangku dalam, seolah berkata, "Ini beneran, jalan ke rumahnya?"
Aku pun tersenyum sembari menganggukkan kepalaku. Ibuku pun cukup terkejut, sama seperti saat pertama kali aku ke rumahnya.
Sesampainya di depan gang, terlihat ayah dan ibu Tyo yang sedang menunggu kedatangan kami di teras rumahnya.
"Assalamu'alaikum," sapa kami bertiga.
"Wa'alaikumsalam, ee nak Lina, ayo masuk. Silahkan, Pak, Bu," ajak ayah Tyo masuk ke dalam rumahnya sambil menjabat erat tangan ayahku.
Aku melihat ekspresi tidak percaya dari ibuku, yang berusaha tidak diperlihatkannya.
"Silahkan duduk, maaf tempatnya sempit," ucap ibu Tyo basa-basi.
"Nggak, Bu," jawab ibuku.
"Nunsewu, saya ibu dan ini bapaknya Lina," ucap ibuku memperkenalkan diri.
"Saya ibunya Tyo dan ini bapaknya," ucap Ibu Tyo membalas perkenalan ibuku.
"Bapak dan ibu, masih muda, yaa?" tanya ayah Tyo.
Kami bertiga pun tertawa kecil, bukan pertama kalinya kami mendengar pujian itu, memang kami sekeluarga mempunyai gen awet muda. Aku yang sudah berusia nyaris seperempat abad saja, masih banyak yang mengira aku baru lulus SMA.
Sedangkan kedua orang tuaku sering dikira masih berusia awal 40-an, padahal mereka berdua telah berusia 54 tahun. Yaa, ayah dan ibuku memang lahir di tahun yang sama, yaitu 5 tahun setelah negara kita tercinta ini merdeka.
"Kami berdua sudah berusia 54 tahun" jawab ibuku.
"Ibunya Tyo, 55 tahun," sahut ayah Tyo, yang membuatku sedikit mendelik, karena aku mengira ia jauh lebih tua dari itu. Kukira ibu Tyo berusia sekitar akhir 60 tahun.
Perkenalan dan basa-basi pun berlanjut, dengan saling memperkenalkan nama-nama anggota keluarga masing-masing, hingga tiba saat ayahku mengutarakan maksud kedatangannya.
"Maaf, jika kedatangan kami sedikit mendadak. Maksud kedatangan ini adalah untuk membicarakan masalah kelangsungan hubungan Lina dengan Tyo, yang saya rasa sebaiknya segera diresmikan."
Aku pun terkejut dengan perkataan ayahku, karena ayah atau ibu tidak pernah mengatakan sebelumnya, jikalau mereka berdua menginginkan kami menikah secepatnya. Tetapi, aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak memperlihatkan keterkejutanku.
"Kebetulan, bulan depan, kakak pertama Lina akan menikah. Jadi maksud saya, bagaimana jika lamaran Tyo dan Lina dilaksanakan secepatnya sebelum kakaknya Lina menikah, lagipula perintah agama untuk menyegerakan lamaran dan pernikahan, untuk menghindari fitnah," ucap ibuku menambahkan.
"Saya mengerti maksud ibu, tetapi Tyo baru saja bekerja, dia baru saja mulai menabung. Dia belum mempunyai tabungan yang cukup untuk membina keluarga," tolak ayah Tyo.
"Pak, menikah adalah ibadah, Allah juga telah menjamin rezeki tiap-tiap hamba-Nya, bukankah dengan menikah akan memperlancar rezeki," ucap ayahku.
"Sebuah itikad yang baik ini, in syaa Allah semua urusannya akan dimudahkan," lanjut ayah.
"Nanti akan kami diskusikan terlebih dahulu dengan kakak-kakak Tyo," ucap ayah Tyo.
"Oiya, memangnya Tyo berapa bersaudara ya?" tanya ibu.
"Tyo adalah bungsu dari 5 bersaudara. Alhamdulillah, keempat kakak-kakaknya telah menikah semua, hanya Tyo saja yang belum, ya karena dia juga baru saja tamat kuliah," jawab ayah Tyo.
Aku memandangi sebuah foto keluarga yang tergantung di dinding, tampak Tyo bersama dengan keempat kakaknya berfoto bersama. Mereka berlima berdiri sejajar, menghadap lurus ke depan, tanpa senyum, membuatnya terlihat sebagai foto yang kaku dan terkesan sangat jadul. Lalu, pandanganku terhenti pada ke satu-satunya kakak perempuan Tyo. Ia memiliki wajah yang ayu dan mata yang sayu, sepertinya ia memiliki karakter yang sangat lembut. Paling tidak, ada 1 saudara perempuannya yang kelak dapat menjadi temanku.
Tak lama setelah itu pun, aku dan kedua orang tuaku berpamitan pulang. Tyo kembali mengantarkan kami ke parkiran mobil.
Sebelum kami berpisah, ibu memberikan sebuah pesan untuk Tyo.
"Yo, coba kamu pikirkan tawaran ibu. Ibu nggak minta apa-apa, kok. Cukup dengan kesediaan kamu, sisanya biarkan ibu dan bapak yang mengurusnya."
Tyo terdiam sesaat, lalu ia menjawab, "Baik Bu, in syaa Allah nanti malam akan saya diskusikan dengan kakak-kakak, sebelum saya memutuskan."
"Ibu tunggu jawabanmu."
"Baik Bu, in syaa Allah," jawab Tyo.
Setelah itu, ayahku pun mulai melajukan kendaraannya kembali menuju rumah. Selama perjalanan pulang, aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa, karena aku sungguh tidak siap dengan proses yang secepat ini.
Hanya sekitar 2 bulan sejak acara pertemuan di rumah, lalu 3 pekan kemudian ia menyatakan perasaannya padaku dan sekarang orang tuaku memintanya untuk segera melamar.
Bagaimana denganku, aku belum mempunyai perasaan apa pun untuknya. Bayanganku akan sebuah perasaan cinta terhadap seseorang, belum juga kurasakan. Tidak sekali pun terbersit bayangan pernikahanku dengan Tyo, bahkan hidup menjalani rumah tangga bersama, hingga maut memisahkan, sama sekali tidak ada bayangan apa pun yang muncul dibenakku. Tetapi sekali lagi, aku hanya diam, tidak mempertanyakan keputusan orang tuaku.
Beberapa hari kemudian, Tyo menghubungiku dan mengatakan bahwa ia akan melamarku, untuk itu ia dan kedua orang tuanya, serta 2 orang kakaknya sebagai perwakilan akan berkunjung ke rumah untuk membahas tentang proses lamaranku.
Di Ahad pagi, kedua orang tua Tyo, kakak pertama dan ke-tiga beserta istrinya masing-masing datang ke rumah orang tuaku di salah satu komplek di Kelapa Gading.
Aku menyambutnya di depan pagar rumah orang tuaku dan kemudian segera mempersilahkan masuk ke ruang tamu.
Seperti biasa, semua diawali dengan basa-basi dan percakapan ringan. Tetapi, setelah kuperhatikan ada yang berbeda dengan ekspresi ibu Tyo, wajahnya seperti tertekan atau sungkan yang berlebihan, entahlah aku tidak tahu.
Hingga akhirnya, ibu Tyo berbicara, "Maaf sebelumnya, tetapi Tyo kok kamu berani-beraninya ndeketin nak Lina, lihat kita siapa? Nak Lina siapa? Nggak pantas, Yo!" ucap ibu Tyo dengan sedikit bergetar dan kuperhatikan beliau sempat meneteskan air mata.
Apa yang dikatakan ibu Tyo memang benar, secara latar belakang, keluarga kami berdua sangatlah berbeda.
"Bu, bagaimana dengan kisah Rasulullah dengan Siti Khadijah?" jawab ibuku.
Ibu Tyo pun terdiam, kemudian Mas Mukti yang kurasa dia adalah kakak pertama dari Tyo, angkat bicara.
"Maaf Bu, tetapi saat ini proses sudah berjalan, baik Tyo maupun Lina juga sudah mempunyai komitmen untuk bersama, jadi menurut saya itu bukan suatu masalah yang mendasar dan benar apa kata ibu Lina, ada Rasulullah dan Khadijah yang berbeda dari segi kekayaannya tetapi cinta mereka tidak pernah padam bahkan hingga maut memisahkan."
Ayahku pun ikut menimpali, "In syaa Allah, pernikahan adalah salah satu ibadah yang membuka pintu rezeki, mungkin saat ini Tyo belum punya apa-apa, karena baru lulus kuliah, tetapi Allah telah menentukan rezeki masing-masing hamba-Nya. Siapa tahu setelah ini, tiba-tiba Tyo mendapatkan tawaran pekerjaan yang menjanjikan. Cukup dengan bismillah, kami tidak menuntut apa pun dari Tyo."
Ibu Tyo masih menunduk, sepertinya ia masih terkejut dengan perbedaan kelas sosial kami. Wajahnya menyiratkan ketidaknyamanannya dan kesiapan akan perbedaan status sosial kami berdua, tetapi diskusi akan proses lamaran nanti tetap berjalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments