Delapan Belas

Entah Monica memiliki masalah pada mentalnya atau tidak, gadis itu seperti memiliki lebih dari satu pendapat di dalam jiwanya. Dia selalu memikirkan hal yang bertentangan, seperti ada dua atau tiga kepala yang berpikir dalam dirinya.

Serena sengaja membuka sedikit daun pintu ruangan suaminya, dia terus membalas ucapan Lukas. Dapat dia lihat kalau Monica kembali dan tak jadi masuk ke ruangan suaminya. Gadis itu berdiri lama dan mendengarkan apa yang mereka katakan. Setelahnya, Monica pergi dan tak jadi masuk.

Serena mungkin istri yang penurut yang tahunya hanya mengurus masalah rumahnya. Tetapi dia bukan wanita bodoh yang akan diam saja saat ada ular yang berusaha menjerat suaminya. Selama suaminya tak tertangkap, dia masih bisa menyelamatkan Lukas. Tapi saat Lukas terperangkap dalam jerat ular itu, Serena akan dengan senang hati melepas pria yang tak bisa menepati janjinya itu.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Gak ke kantin, Mon?" tanya Lusi menepuk pundak Monica yang sejak tadi melamun.

"Duluan aja, masih ada yang harus aku kerjakan," kata gadis itu tersenyum singkat.

"Makan dulu, habis rehat baru kerjain lagi," timpal Lusi memberi masukan.

"Iya, Mon. Bos kita bukan Hitler, gak galak walau pun sedikit dingin, sih," tambah Rahma menyela.

"Duluan aja, lagian tinggal dikit lagi. Aku juga belum lapar, kok," balas Monica menolak ajakan kedua rekan kerjanya itu.

Setelah keduanya pergi, senyum di bibir Monica langsung lenyap tak berbekas. Gadis itu menatap datar komputer yang ada di depannya. Dia memang jujur saat mengatakan kalau dirinya tak merasa lapar. Bagaimana mau merasa lapar, kalau hatinya terlalu kesal karena apa yang dia dengar tadi.

"Kenapa mereka tidak bertengkar saja?" gumam Monica berdecak kesal.

Tak lama gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, tidak. Aku bukan orang yang tak tahu diri seperti itu. Ini hanya kekaguman, bukan keinginan untuk memiliki!" kata Monica meyakinkan dirinya.

Beberapa saat kemudian, senyum sinis tersungging di bibir Monica. "Mau sampai kapan kamu menyembunyikan semua di balik nama kekaguman! Akui saja kalau hanya dia pria yang membuatmu aman dan merasa nyaman!" kekehan kecil terdengar dari belah bibir gadis itu.

"Itu tak benar!" timpal Monica sedikit berteriak. Untung saja semua pegawai sedang makan siang, kalau tidak pasti gadis itu sudah menjadi sasaran perhatian.

"Apanya yang tak benar?" monolognya sendiri. "Siapa yang ingin kamu bohongi?" tanyanya lagi. "Aku tahu semuanya, bahkan yang tak kamu sadari!" kilat jahat terlihat memercik di mata gadis itu.

Rian yang berdiri cukup jauh dari Monica membekap mulutnya tak percaya. Gadis yang beberapa waktu lalu terlihat sangat lemah dan baik ternyata memiliki gangguan kejiwaan. Apa yang akan terjadi pada perusahaan dan pekerjaan yang ditangani gadis itu kalau pikiran gadis yang menjadi sekretaris bosnya itu tak cukup waras.

"Inikah sebabnya nyonya menyuruh aku mengamati dia diam-diam?" gumam Rian tak percaya.

"Tuan pengacara? Sedang apa?" tanya Monica memasang senyum manis. Senyum yang membuat Rian bergidik ngeri melihatnya.

"Ah, saya ke sini untuk melihat-lihat. Baru saja saya ingin menghampiri anda dan mengajak anda untuk makan siang bersama," kata Rian mengatur ekspresi wajahnya agar tak terlihat terkejut.

"Tapi pekerjaan saya masih ada, tuan pengacara," tolak halus Monica.

"Sayang sekali. Padahal tak akan ada masalah jika anda mengerjakan nanti setelah makan siang berakhir," timpal Rian mencoba meyakinkan Monica kalau dia memang datang untuk berkeliling dan mengajak gadis itu makan siang, karena hanya Monica yang ada di ruangan ini.

Monica menyelipkan anak rambutnya seraya tersenyum kecil. "Baiklah," katanya mengangguk pelan. "Akan tak sopan kalau saya terus menolak," lanjut gadis itu setuju untuk makan siang bersama Rian.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

"Mau makan apa?" tanya Rian begitu mereka sampai di kantin.

"Samain aja, tuan pengacara," kata Monica sopan.

"Kalau lagi rehat gini, panggil aja Rian. Gak usah pak pengacara terus, saya berasa tua dengernya," canda Rian yang memang orangnya sedikit lebih supel.

"Maaf, saya tak bisa. Terdengar tak sopan kalau saya memanggil langsung nama anda," tolak Monica cepat.

"Ha-ha-ha, maksud saya, panggil saja Pak Rian, gak usah tuan pengacara lagi," kata Rian menimpali sambil tertawa kecil. "Saya pesan dulu, ya," lanjut pria itu melangkah pergi.

"Harusnya saya saja yang memesan, pak," kata Monica berdiri dari duduknya.

"Gak usah, perempuan itu tinggal duduk manis nunggu. Bagian pesan-memesan itu tugasnya cowok!" balas Rian menoleh singkat. Mana bisa Rian yang membiarkan orang yang memiliki gangguan jiwa memesankan makanan untuknya. Siapa yang tahu apa yang akan dicampurkan ke makanannya nanti.

Usai makan siang bersama, Monica kembali ke mejanya. Dia dilirik beberapa karyawan. Namun, gadis itu cuek tak menggubris. Monica tetap fokus mengurus pekerjaannya.

Monica menghela napas panjang, menatap kedua rekan kerjanya yang paling dekat dengannya. "Ada apa?" tanya Monica pada kedua temannya itu. "Ada yang ingin kalian tanyakan?" lanjut gadis itu mengira alasan Lusi dan Rahma menatap dirinya terus adalah karena ingin bertanya sesuatu padanya.

Lusi dan Rahma mengangguk serempak. "Beneran kami boleh nanya?" tanya Lusi pelan.

"Tanya ya tinggal nanya aja. Ngomong-ngomong, tadi itu termasuk pertanyaan, loh!" timpal Monica tersenyum kecil.

"Lupakan soal itu. Ada hubungan apa kamu sama Pak Rian, pengacara andalan di kantor kita?!" tanya Rahma tak sabaran.

"Gak ada!" balas Monica tegas.

"Tapi tadi kamu makan siang bareng Pak Rian setelah menolak ajakan kami berdua!" tambah Rahma menyudutkan.

"Kebetulan saja Pak Rian datang untuk melihat-lihat, aku juga sudah menolak. Tapi kalau aku terus-terusan menolak, akan terlihat tak sopan dan seperti tak menghormati Pak Rian. Belum lagi, Pak Rian pernah mengurus masalah hukum untuk aku," jelas Monica jabarkan dengan sabar.

"Yakin?" tanya Rahma pemasaran. "Kamu gak ada niat deketin Pak Rian?" lanjut gadis itu lagi.

"Rahma apaan, sih? Kenapa nanyanya nyudutin gitu?" bisik Lusi menyenggol lengan kawannya.

Monica menatap remeh Rahma, dia mendengus kecil melihat kecemburuan yang jelas ditujukan kepada dirinya. "Kalau kamu segitu takutnya pria itu direbut seseorang! Seharusnya kamu maju dan menyatakan perasaan dengan segera, Rahma ...," bisik Monica lirih tepat di telinga Rahma.

Lusi yang berada di dekat keduanya menutup mulut mendengar bisikan lirih Monica. Dia tak percaya kawan barunya itu akan berbicara seperti itu, padahal kalau dipikir-pikir Monica gadis yang cukup baik. Apa dia kesal karena disudutkan, makanya dia mengatakan hal seperti tadi.

Rahma membelalakkan matanya, dia ingin membantah. Sayangnya, tak ada kata yang bisa dia ucapkan. Lidahnya seolah kelu dan tak bisa mengatakan bantahan yang tepat pada Monica.

Lusi menatap keduanya dengan raut wajah khawatir, dia bingung harus melakukan apa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!