Monica terbangun dari tidurnya seperti biasa, yang berbeda dia terlihat lebih santai. Gadis itu tersenyum tipis menikmati keheningan pagi yang dia rasakan. Tak ada teriakan yang menyerukan namanya sekarang, tak ada yang meminta uang padanya dengan dalih pinjam tanpa pernah dikembalikan.
Uang yang dia miliki kini bisa dia gunakan untuk membeli roti dan susu, sungguh hari bahagia yang sangat dia nanti-nantikan dari dulu. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan, Monica masih tak percaya, tapi di sinilah dia berada. Sendirian, menggenggam kebebasan untuk dirinya sendiri.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
"Selamat pagi," sapa Monica dengan wajah ceria.
"Eh, pagi, Mon," balas salah satu rekan kerja Monica yang duduk di dekatnya. "Ada apa, nih? Wajah kamu terlihat sangat bahagia," lanjut wanita itu, sebut saja namanya Lucy, dia memang orangnya supel dan mudah berteman siapa saja karena sangat ramah.
"Iya, kalau ada kabar bahagia, cerita dong sama kita-kita. Gak dapet bahagianya, bisa ikut seneng pas dengernya aja udah untung," tukas Mila menimpali, kebetulan rekan kerja Monica itu lewat saat dia dan Lucy sedang berbicara. Mungkin Mila mendengar pertanyaan Lucy dan ikut nimbrung sebelum jam masuk kantor berlaku. Gosip sebelum bekerja merupakan hal wajib bagi sebagian wanita di sini.
"Tak ada, aku hanya senang bisa bekerja di sini dan mendapatkan asrama!" tukas Monica dengan wajah yang penuh kebahagiaan.
"Kamu minta asrama?" tanya Mila menaikkan sebelah alisnya. "Rumah kamu emangnya jauh dari kantor?" tanya gadis itu lagi.
Monica menggelengkan kepalanya. "Gak terlalu jauh, sih," tukasnya ragu. "Tapi ada alasan pribadi aja kenapa aku memutuskan untuk mandiri," kata gadis itu lagi sembari nyengir kecil.
"Apa pun itu, pokoknya selamat atas kepindahan kamu, Mon," tukas Lucy. "Ayo, kita mulai kerja!" katanya sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam delapan, hanya kurang beberapa menit lagi. Lebih baik mereka mulai bekerja sekarang daripada dikira hanya bisa bergosip saat jam kerja.
"Nanti kita lanjut ngobrol di kantin, ok?" ujar Mila sebelum dia pergi ke mejanya.
Monica mengangguk setuju, sedangkan Lucy mengacungkan kedua jempolnya ke arah Mila. Mereka pun mulai mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Hari itu dilewati Monica dengan perasaan yang bahagia, semua pekerjaannya juga berjalan dengan lancar. Apalagi bosnya tak banyak menuntut dan tak terlalu cerewet. Semua terasa mudah meski ini merupakan pengalaman pertama gadis itu dalam bekerja.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Hilman kembali ke rumah dengan botol minuman di tangannya, pria itu melihat betapa hancurnya rumah yang biasanya rapi. Dia pun berteriak memanggil nama anaknya. "Bunga! Bunga!!!" panggilnya dengan suara keras.
"Ada apa, sih, yah?" tanya Bunga yang rupanya sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Ayah gak teriak-teriak, Bunga juga masih bisa denger, kok!" lanjut gadis itu sambil mengorek telinganya yang terasa berdenging gara-gara mendengar teriakan ayahnya.
"Ini rumah apa kapal pecah, Bunga?" kata sang ayah memprotes.
"Kenapa? Ayah gak suka? Ya, bersihkan aja sendiri!" timpal Bunga dengan entengnya. "Bunga itu capek, yah. Tadi udah nyuci, masak, jadi sekarang Bunga mau rehat tanpa diganggu!" ketus gadis itu menggerutu karena banyak menggunakan tenaganya untuk pekerjaan yang tak penting baginya.
Mendengar anaknya masak, Hilman pun berjalan ke arah meja makan. Pria itu membuka tudung saji dan langsung membalik meja makan di depannya itu. "Katanya masak? Mana makanannya?!" teriak Hilman terlihat sangat marah.
"Aku tuh masak, ayah. Tapi cuma masak mie instan dan itu pun cuma untuk aku doang!" desah Bunga tak peduli rumah yang mereka tempati semakin terlihat hancur dan berantakan.
"Seandainya kamu bisa setengahnya saja seperti Monica, rumah ini pasti masih bisa terlihat rapi!" dengus Hilman seraya menenggak minuman haram dari botol yang tadi dia pegang.
Bunga memutar bola matanya malas. "Ya, kenapa gak sekalian ayah jadiin aja tuh si Mon-Mon anak. Biar dia gak lari kayak sekarang!" dengus si anak dengan kurang ajarnya. Dia selalu dimanja, makanya Bunga menjadi seperti itu, terlalu berani melawan ucapan orang tuanya sendiri.
Menurut Bunga, ayahnya itu sangat aneh. Kalau Monica ada, sang ayah pasti akan memalak dan menyuruh ini-itu. Tapi, saat gadis itu tak ada. Sang ayah malah berkata kalau dia harus berlaku seperti gadis itu walau sedikit. Sebenarnya ayahnya itu maunya apa sih.
"Kamu kira ayah tak pernah berpikir seperti itu?" dengus Hilman dengan wajah kesal. "Hanya saja, Monica kecil terlalu keras kepala dan terus menyembunyikan kartu keluarga miliknya. Kalau tidak, dia pasti sudah masuk ke dalam keluarga kita!" lanjut pria itu.
"Sudahlah, aku mengantuk. Aku tidur dulu, ayah!" kata Bunga tak mau ambil pusing.
"Woi, ayahmu lapar! Buatkan makanan," panggil Hilman tapi tak diindahkan oleh anaknya. Hilman mendengus, dia pun kembali menenggak minuman yang dia bawa. Setelahnya, dia juga masuk ke kamar dan memilih tidur.
"Semoga besok kamu kembali, keponakanku yang nakal," gumam Hilman sebelum jatuh tertidur. Dia tak tahu kalau harapannya itu tak akan pernah jadi kenyataan.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Hari ini hari gajian. Tak terasa Monica sudah bertahan satu bulan di kantor ini. Dia menerima amplop coklat bertuliskan namanya, itu berisi lembaran uang dari hasil pekerjaannya sebulan ini. "Terima kasih!" katanya sebelum pergi. Wajah gadis itu berseri, memikirkan beberapa banyak yang bisa dia belanjakan dan beberapa sisanya akan dia simpan untuk keperluan dadakan.
"Ah, aku harus mentraktir bapak-bapak yang sudah menolong aku mendapatkan kunci asrama dengan mudah," gumam Monica ingat akan janji yang dia buat secara sepihak saat dia mendapatkan kunci asrama dengan mudahnya. "Semoga cukup," kata gadis itu penuh harap meski tak yakin.
Singkat cerita, Monica pun mengajak mereka makan bersama. Untungnya mereka mengerti akan keadaan gadis itu, jadi mereka tak minta ditraktir di tempat mahal. Cukup makanan pinggir jalan yang sama mengenyangkannya dan harganya lebih terjangkau.
Hari-hari yang dilewati Monica semakin menyenangkan, berbanding terbalik dengan hari-hari pamannya dan juga sepupunya. Hidup keduanya semakin sudah, rumah mereka sudah mirip dengan kandang yang tak terurus. Belum lagi penagih hutang selalu datang dan menghancurkan barang-barang yang ada.
Bunga pun akhirnya dengan terpaksa menggunakan tenaganya untuk bekerja, tak ada lagi tempat yang bisa dia mintai uang seperti dulu.
Pamannya masih sama, masih mengandalkan perjudian untuk mendapatkan kekayaan secara instan. Sayangnya, bukan kekayaan yang datang. Hanya tumpukan hutang yang makin melambung yang dia hasilkan.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments