Hilman, Monica, Lukas, dan Rian, sedang melakukan pertemuan untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh Hilman sampai pria itu meminta izin untuk bertemu. Tentu saja tak hanya mereka yang berada di ruangan Lukas, dua orang keamanan di tempatkan tepat di belakang Hilman, mereka berdua juga lah yang mengawal Hilman sampai ke mari.
Saat semua jalan sudah buntu, dan Hilman merasa tak bisa lagi mengubah pikiran keponakannya. Pria itu dengan cepat memutar otaknya, dia sangat ingin mengeruk uang Monica seperti dulu lagi. Tapi kali ini harus lebih hati-hati dan tak terlalu kentara, mungkin dia bisa memakai alasan pencurian di rumahnya kalau gadis itu mau kembali nanti.
Monica terkejut dengan tindakan pamannya yang tiba-tiba jatuh berlutut di depannya. Tak pernah sekali pun sang paman meminta maaf, apa lagi berlutut seperti saat ini.
Lukas hanya diam, dia merasa tak bisa ikut campur sekarang. Semua terserah keputusan sekretarisnya itu, mau memaafkan atau tidak, itu bukan urusannya sama sekali.
"Bangunlah, paman. Tolong jangan berlutut di depanku seperti ini," tukas gadis itu dengan suara lirih. "Aku sudah memaafkan apa yang paman lakukan padaku selama ini," lanjutnya sambil menutup mata dengan erat. Monica merasa dia harus berdamai dengan masa lalu agar bisa menjalani hidup dengan nyaman dan bahagia untuk dirinya sendiri.
Hilman tersenyum senang, mengira kalau semua akan berjalan sesuai dengan keinginannya. "Kalau begitu kamu akan kembali, kan nak?" tanya pria itu dengan senyum yang tak bisa dia tahan. Keponakannya itu terkenal sangat irit, dia bahkan membayangkan berapa banyak uang yang bisa dia nikmati setelah ini. Berlutut sekali jelas merupakan hal yang mudah untuk memetik buah manis yang selalu bisa dia makan.
"Saya memaafkan paman, tapi saya tetap ingin mandiri!" tegas Monica tak ingin kembali ke rumah sialan yang seperti neraka buatnya itu.
Hilman mengepalkan tangannya dengan erat, dia sudah berlutut, dan yang dia dapatkan tetaplah sebuah penolakan. Tak bisa begini, dia tak akan mungkin berlutut hanya untuk mendapatkan kata maaf yang tak ada artinya buatnya. "Kalau ini masalah rumah, biar paman dan Bunga yang mengerjakannya, nak," bujuk Hilman berpikir kalau Monica tak ingin kembali hanya karena masalah pekerjaan
Monica menggeleng pelan. "Saya hanya telah mendapatkan tempat yang cocok untuk saya," kata gadis itu tersenyum tipis. "Saya juga telah memutuskan untuk bertemu dan berteman dengan banyak orang," lanjutnya pelan. "Hal sepele yang dulu sama sekali tak saya perhatikan. Saya tak tahu kalau rupanya itu bisa membuat saya bahagia," tambah Monica melirik singkat ke arah bosnya.
Hilman mengeraskan rahangnya, sungguh dia tak sanggup menahan emosi yang hampir meledak karena ucapan keponakannya barusan. Apa katanya, bahagia. Hilman sama sekali tak perduli dengan kebahagiaan yang tak ada kaitannya dengan dirinya. Dia hanya butuh uang yang dihasilkan oleh keponakannya itu.
"Sebaiknya anda atur ekspresi wajah yang anda sembunyikan saat ini dulu, baru anda bisa mencoba untuk membujuk kembali sekretaris saya!" sela Lukas menatap malas Hilman. Lukas sangat tahu kalau ekspresi wajah itu sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, yang ada hanya keserakahan dan pembalasan.
"Saya tak mengerti dengan apa yang anda katakan, tuan!" kata Hilman berpura-pura tak paham.
"Terus saja mengelak dan pupuk rasa kesal yang sedang anda rasakan, saya juga suka bagian dari seseorang yang mengatakan tak tahu, tapi malah menyakiti diri sendiri karena kekeraskepalaan mereka." Lukas mendengus pelan, sungguh tipe orang yang munafik yang kali ini dia hadapi dan temui.
"Saya tidak!" kekeh Hilman meninggikan suaranya.
Lukas menjentikkan jarinya dua kali, dua pengawal di belakang Hilman bergerak maju dan memegangi Paman Monica itu. "Saya anggap pembicaraan kita berakhir di sini! Nona Monica sudah mengambil keputusan untuk memaafkan anda, tapi beliau tak ingin kembali dan tinggal bersama anda. Sebaiknya anda pergi sejauh mungkin dan tak muncul untuk membuat keributan ke depannya!" kata Lukas mengisyaratkan kedua orang bawahannya yang sedang memegangi Hilman untuk membawa pergi pria tersebut.
"Anda tak bisa begini, saya belum selesai bicara!" teriak Hilman protes.
"Tak ada yang bisa kita bicarakan jika anda bersikeras memaksa sekretaris saya untuk kembali dengan anda!" balas Lukas tenang.
"Tapi saya pamannya! Saya yang telah merawat dia! Mengapa anda ikut campur urusan kami? Padahal anda hanya orang luar yang tak tahu apa-apa!" kata Hilman lagi, kali ini dia berbicara lebih keras dari sebelumnya.
"Tapi saya ingin mandiri, paman!" sela Monica tak suka bosnya mendengar ocehan pamannya yang kasar.
"Kurang ajar! Seharusnya kamu membayar kalau sudah dirawat!" maki Hilman dengan mata melotot tajam.
"Saya sudah membayar sebanyak yang saya bisa! Bukankah paman sudah sering mengambil uang yang saya hasilkan?" timpal Monica dengan tatapan menusuk. "Saya yakin kali ini paman juga melakukan semua hal aneh seperti berlutut tadi dengan bayangan berapa banyak yang bisa paman dapatkan dari saya jika saya ikut kembali bersama dengan paman!" lanjut gadis itu menebak dengan jelas apa yang dipikirkan oleh pamannya.
"Jadi ini hanya karena uang?" tukas lukas terkekeh geli. "Ya? Anda bisa bekerja! Anda tak cacat dan masih sangat sehat. Anda bahkan bisa terus berteriak dan membuat keributan seperti ini, jadi anda bisa dipastikan mampu bekerja kalau anda memang membutuhkan uang. Jangan mengambil uang yang dihasilkan oleh anak kecil yang butuh perlindungan, tuan!"
Wajah Hilman merah padam, dia kesal tapi dia tak bisa mengatakan apa-apa. Satu hal yang membuat dirinya semakin kesal, dia sudah berteriak sedemikian rupa, tetapi tak ada satu pun orang yang datang mengerubungi mereka. Ada apa dengan kantor ini. Jangan bilang hanya ada mereka berenam saja di sini.
"Kenapa? Apa ada yang membuat anda bingung?" suara dingin Lukas terdengar bak ejekan yang mengalun di telinga Hilman.
"Ngomong-ngomong, saya lupa memberi tahu anda. Anda bisa berteriak sepuas yang anda inginkan di sini, karena seluruh lantai ini adalah tempat saya bekerja. Artinya tak akan ada orang lain di sini kecuali yang saya izinkan masuk ke mari," jelas Lukas menyeringai sinis.
"Tak perlu merasa tersanjung, ini bukan saya lakukan untuk anda. Hanya saja saya suka suasana tenang saat bekerja, makanya seluruh lantai di sini saya buat menjadi ruangan saya semuanya!" jelas Lukas sedang mengolok-olok Hilman.
Melihat Hilman diam saja, Lukas pun kembali bersuara. "Semoga kita tak berpapasan lagi di kemudian hari, tuan!" kata pria itu mengisyaratkan agar menyeret pergi Hilman dari kantornya. Dia cukup muak melihat seseorang yang tak pantas disebut sebagai keluarga seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments