Disuatu malam pada hari ke tiga pernikahan mereka, Barra menyuruh Dita untuk duduk bersamanya. Wajah lelaki itu sangat serius dan Dita pun terbawa suasana ikut memasang wajah seriusnya.
" Kita sudah pernah membahas dan menyinggung masalah ini sebelumnya, karena pernikahan kita adalah perjodohan aku rasa diantara kita pun jangan ada kontak fisik."
Perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut Barra, seolah Dita mengharap Barra memperlakukannya layaknya seorang istri sungguhan.
" Aku juga sepakat agar kita tidak ada kontak fisik."
Tidak ingin kalah dari suaminya, Dita pun menjawab hal yang sama.
" Baiklah kita sudah sepakat berdua tidak akan ada yang merasa dirugikan satu sama lain. "
" Kenapa kamu tidak membuat perjanjian saja."
" Maksudku perjanjian di atas kertas untuk pernikahan kita."
Mata Barra memandang sinis wajah Dita lalu membuang tatapannya lurus kedepan.
" Maksudmu seperti perjanjian pernikahan atau pernikahan kontrak seperti itu?."
"Ya.."
Barra tersenyum kecut..
" Pernikahan bukan lelucon non!."
" Kalo bukan lelucon kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, astaga aku hampir lupa diri menghadapinya." Dita terus mengumpat dalam hati. Ia emosi mendengar jawaban Barra barusan.
" Aku tidak mau mempermainkan sesuka hati. Maka aku belum bisa menyentuhmu, INGAT BELUM BISA MENYENTUHMU!." Kini kata-kata Barra penuh dengan penekanan. Ia ingin menegaskan bahwa dirinya tidak akan menyentuh Dita tanpa adanya perasaan.
" Aku hanya butuh waktu, pasti kamu pun begitu. Aku ingin terbiasa dulu dengan kehadiranmu dalam hidupku. Aku tidak ingin tergesa-gesa. Apa kamu mau pernikahan kita seumur jagung?."
Dita menggelengkan kepalanya dengan cepat.
" Ya ampun kenapa aku seperti ini. Terlihat sekali aku ingin bertahan hidup dengannya."
" Maaf untuk saat ini, aku bersedia menjalankan wasiat kakek bukan karena semata-mata harta kakek. Tapi aku serius untuk saat ini dan entah sampai kapan aku baru bisa menjalankan kewajibanku sepenuhnya terhadapmu."
" Apa kamu paham?."
" Ya aku paham!."
" Entah kenapa rasanya gue gak bisa nyentuh dia, apa karena perasaan gue. Tidak! Perempuan yang udah pernah gue tidurin semuanya tanpa ada perasaan. Tapi kenapa yang satu ini gak bisa." Hati Barra serasa mau berteriak sekeras-kerasnya. Batinnya ingin berontak kenapa pernikahannya harus dengan perjodohan. Kenapa ia tidak bisa memilih wanita yang dicintainya.
" Aku rasa kamu juga bisa." Perkataan Barra membuat Dita sedikit terhenyak dari lamunannya barusan.
" Bisa apa?."
" Membuatku jatuh cinta padamu."
" Apa?!."
Seketika wajah Dita merah merona, kenapa tiba-tiba Barra berkata seperti itu padanya. Dita memang tahu kalau Barra tidak menyukainya sedikitpun. Tapi tidak harus diungkapkan juga Barr.. Cukup dalam hati saja!.
" Kenapa harus membuatmu jatuh cinta padaku. Barr.. Perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku tidak akan pernah memaksa kamu untuk menyukaiku, aku tau pernikahan kita tidak berlandaskan cinta. Tapi asalkan kamu tau, aku sekarang istrimu dan aku akan menjalankan kewajibanku sebagaimana mestinya. Terkecuali hal yang tadi kita sepakati bersama."
"Kalo udah gada lagi yang mau dibicarakan aku permisi ke kamar dulu."
Pernyataan Dita barusan sepertinya tepat dijantungnya Barra, Dita mengungkapkan apa yang seharusnya ia katakan dan rasakan. Tidak bisa ia harus selalu mengiyakan apa kata suaminya, sementara semua yang ia rasakan tertahan didalam jiwanya.
Dita menangkupkan wajahnya di atas bantal. Walaupun ia lega dengan perkataannya barusan tapi sungguh hatinya sangat terluka. Yang ia ciptakan dalam benaknya adalah sebuah pernikahan selayaknya pasangan normal lain. Tapi apa yang ia dapat membuatnya kecewa.
*****
Sudah hampir 3 hari ini Barra selalu telat pulang ke apartement. Mereka berdua memang masih dalam masa cuti, hanya satu minggu setelah menikah mulai beraktifitas kembali seperti biasa.
Barra memang izin pada Dita untuk mengurus rumahnya yang baru agar mereka bisa cepat pindah.. Untung perkiraan Barra tepat pada waktunya. Mereka sudah bisa pindah secepatnya hari itu juga.
Setelah kepindahan mereka ke rumah baru, ada suasana yang berbeda dirasakan Dita, bukan karena rumah itu telah lengkap dengan semua perabotannya tapi kini Barra dan Dita tidur dalam satu kamar yang sama.
" Loh.. Ko kita tidur barengan?."
Berbarengan dengan itu ada suara bel berbunyi.
" Tuh.. pasti Bi Iin."
Benar saja ada seorang wanita paruh baya didepan pintu rumah dengan menenteng tas besar seperti berisi pakaian.
" Masuk Bi!."
" Iya den.."
" Ini namanya Bi Iin, sekarang yang akan mengurusi rumah dan kebutuhan kita. Kamu kalo ada apa-apa jangan sungkan ya." Barra memperkenalkan assisten rumah tangganya pada Dita.
" Kalo gitu Bibi langsung beres-beres aja ya den. Keliatan masih agak harus dibersihkan rumah barunya."
" Iya Bi.. Santai aja Bibi bisa istirahat dulu."
Selepas Bi Iin pamit meninggalkan mereka berdua kebelakang, Dita menengok ke arah Barra mengharap penjelasannya.
" Bi Iin itu yang kerja di rumah ibu, makanya kita harus tidur satu kamar. Kalo gak pasti Bi Iin bilang sama ibu."
Kini Dita mengerti kenapa Barra berubah pikiran untuk tidur dengannya. Ternyata bukan karena Barra sudah sadar akan statusnya tapi lebih karena takut pada ibunya.
*****
Suasana malam dirumah besar itu cukup sunyi, masih ada beberapa ruangan yang masih dalam keadaan gelap. Dita memaksakan dirinya untuk segera tidur, karena esok hari ia harus mulai bekerja kembali. Barra tidak menyinggung tentang pekerjaannya artinya ia masih diperbolehkan tetap pergi ke kantor.
Sementara Barra sejam yang lalu sudah tidur terlebih dahulu di sofa panjang yang ada dikamar.
Pagi akhirnya tiba.. Sang surya mulai menampakan sinarnya dengan sedikit malu-malu. Hari itu tampak akan cerah. Dita sudah terlebih dahulu mandi sebelum suaminya sadar dari tidur panjangnya semalaman.
Posisi tidurnya masih sama saat Dita terakhir kali melihatnya tadi malam.
" Dia pingsan apa tidur?." Dita berbisik mengamati Barra yang masih meringkuk dengan selimut menutupi setengah badannya.
" Aku tidur bukan pingsan!."
Sontak Dita terkejut bukan main, Barra berhasil menangkapnya tengah memperhatikannya. Lantas Dita segera duduk dikursi meja rias. Sangat trampil ia menggambar wajahnya dengan make up. Make up minimalis seperti biasanya..
Dan Barra segera beranjak dari tempatnya tidur bergegas ke kamar mandi untuk bersiap pergi ke kantor.
Masih sama seperti saat belum menikah, memakai dasi sendiri. Bukan Dita tidak bisa tapi karena kesepakatan tidak akan ada kontak fisik.
" Kamu masih mau kerja?." Barra melihat penampilan Dita dari atas sampai bawah.
" Kenapa? Apa kamu keberatan?."
" Aku tidak mengatakan itu!."
" Kalo kamu mau bekerja berangkat denganku saja. Jangan mencari taksi!."
"Emangnya siapa yang mau cari taksi. Lagian mana mungkin aku berangkat sendiri sementara suamiku sendiri satu atap perusahaan denganku.. Dasar lelaki aneh!." Dita meruntuk kesal, tak habis pikir dengan jalan pemikiran suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments