Genesis: The Lucky Blacksmith
Riko membanting tas kuliahnya dengan kasar. Di dalam kamar kos sempit berukuran 3x3 meter persegi itu Riko membenamkan diri dalam kemarahan dan kekecewaannya. Ini sudah tahun ke tujuhnya menjadi mahasiswa. Tiga judul skripsi sudah dia ajukan. Namun baru saja sang dosen pembimbing kembali menolak judul skripsinya yang ketiga. Penolakan dosen saat itu rasanya jauh lebih sakit daripada penolakan cinta.
“Ta*!” rutuknya terus menyumpah dan berkata kasar.
Kalau saja dosen pembimbingnya sedikit lebih mudah ditemui, Riko bisa lebih sering berkonsultasi. Dengan begitu ia tidak perlu banyak membuang waktu untuk merevisi skripsinya. Ini adalah tahun terakhirnya bisa berkuliah. Surat cinta dari kampus sudah melayang padanya, mengabarkan bahwa ia akan terkena drop out bila tidak lulus tahun ajaran ini.
Orang tua Riko sudah angkat tangan. Anak sulung mereka itu sudah memakan biaya terlalu banyak untuk berkuliah dan merantau. Kini keduanya memilih fokus untuk membiayai adiknya yang masih duduk di kelas dua SMA swasta di Jakarta.
Riko merasa seperti ditinggal sendirian. Merantau di Yogyakarta dengan uang saku pas-pasan. Tidak punya pekerjaan dan hanya bisa meratap setiap kali ke kampus karena semua teman seangkatannya sudah lulus. Ia bahkan tidak bisa meminta tambahan uang bulanan pada ayahnya karena terlanjur malu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tapi ia masih pengangguran.
Riko pernah melakukan berbagai pekerjaan part time sebelum ini. Mulai dari menjadi waiter di cafe, menjadi penjaga distro, hingga penjaga warnet. Tapi semua kegiatan itu justru terlalu menyita waktu Riko. Ketidakmampuannya memanagemen waktu malah membuat kuliahnya semakin amburadul. Terutama karena ia selalu mendapat shift malam hanya karena dia seorang laki-laki.
Semenjak mendapat surat peringatan DO awal tahun ajaran ini, Riko bertekad untuk fokus kuliah dan meninggalkan semua jenis pekerjaan part timenya. Waktunya hanya setahun untuk bisa mendapat gelar sarjana. Ada kalanya ia ingin melepas mimpinya sebagai Sarjana Teknik. Namun rasanya sayang karena telah menghabiskan begitu banyak uang untuk belajar tanpa mendapat ijazah.
“Bodo amat lah. Mending ngegame aja,” gumamnya kesal.
Satu-satunya hal yang bisa mengalihkan pikiran Riko dari rasa frustasi adalah permainan game online yang baru dia mainkan setahun belakangan. Inilah kekurangan Riko yang terbesar: pecandu game. Ia sendiri mengakui kalau sudah bermain game di ponselnya, ia lupa waktu. Meski begitu, kegiatan tersebut memang bisa sedikit memperbaiki moodnya yang rusak karena masalah-masalah yang terus datang bertubi-tubi.
Riko akhirnya mengambil ponselnya dari dalam tas kuliahnya. Sambil merebah nyaman di kasur busa tipis yang sudah usang, Riko pun membuka aplikasi game MMORPG kesukaannya: Genesis. Baru beberapa menit memulai permainan, mendadak pintu kos Riko terbuka tanpa diketuk. Seorang perempuan cantik berambut panjang masuk begitu saja sambil membawa bungkusan plastic dari superparket.
“Yang, kok kamu nggak bales chatku? Katanya tadi ke kampus? Gimana dosen bilang?” sapa perempuan itu langsung mengajukan pertanyaan.
Riko segera bangkit terduduk dengan salah tingkah. “Sita. Kok kamu nggak ngabarin mau ke sini,” ucapnya sembari mencoba menyembunyikan ponselnya di
“Kan aku udah chat dari siang tadi. Kamu juga pegang hp bukannya buka chatku malah ngapain, sih?” sergah Sita lantas menyambar ponsel Riko.
Riko buru-buru menepis tangan Sita, tetapi gadis itu bergerak lebih cepat. Ponsel di genggaman Riko kini sudah berada di tangan Sita. Ekspresi gadis itu segera berubah marah. Ia menatap Riko dengan begitu kesal lantas menghela napas lelah.
“Kamu masih sempet-sempetnya main game kayak gini? Kamu nggak malu apa, sama orang-orang lain. Udah umur segini, bukannya serius kuliah terus lulus cepet, malah ngegame kayak anak kecil,” hardik Sita kemudian.
“Tapi kamu kan juga pernah main ini,” kilah Riko asal bicara.
Sanggahan Riko itu semakin membuat Sita emosi. “Bukan itu masalahnya, Riko! Aku udah capek ya sama kamu. Kamu itu kayak nggak punya masa depan. Aku masih bisa terima kalau kamu belum lulus atau belum kerja sampai sekarang. Tapi kamu malah males-malesan ngegame mulu!
“Aku udah capek nunggu kamu, Riko. Papa mamaku juga udah nanyain kejelasan kamu. Aku sampe udah naik jabatan di kantor tapi kamu belum lulus juga. Padahal kita ini seangkatan, dan aku udah lulus dari tiga tahun yang lalu sementara kamu sama sekali nggak ada usahanya. Kita putus aja,” cecar Sita panjang lebar.
Seakan kesialannya hari ini belum berakhir, Riko kini harus kembali menerima kata putus dari Sita, pacarnya sejak lima tahun terakhir. Riko rasanya ingin meledak marah tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin melampiaskan emosinya hari itu kepada Sita.
“Aku baru mau mulai main, Sit. Seharian ini aku juga di kampus urus skripsi. Kan kamu juga tahu,” jawab Riko mencoba tetap tenang.
“Alasan, kamu, Rik. Sia-sia aku ke sini cuma buat ngawatirin kamu. Kamu sama sekali nggak tahu prioritas, mana yang penting dan enggak. Aku udah nggak bisa sabar lagi, Riko. Selama tiga tahun terakhir ini aku udah banyak maklumin kamu. Dan hasilnya nihil. Aku nggak mau buang-buang waktu lagi,” sergah Sita sembari bangkit berdiri dan melemparkan plastic berisi banyak camilan dari supermarket.
“Ini udah terlanjur kubeli. Semoga kamu bisa mulai ngatur hidupmu lebih baik lagi setelah ini,” ucap Sita sembari berbalik pergi.
Riko tak bergeming. Ia tidak berusaha mencegah Sita. Bukan hanya gadis itu yang kecewa, Riko juga merasa sangat membenci dirinya saat ini. Rasanya ia pun tidak pantas untuk mempertahankan Sita di sisinya. Ia hanyalah manusia yang gagal. Meski begitu, hatinya tetap terluka. Ia dan Sita sudah menjalin hubungan sangat lama. Riko bahkan mengenal Sita sejak menjadi mahasiswa baru.
Sita adalah gadis yang pengertian dan lembut. Riko benar-benar tulus menyayangi Sita. Sepanjang perjalanan hubungan mereka, Riko selalu menjaga perasaan Sita dengan tidak mendekati perempuan lain. Ia pernah merasa begitu beruntung mendapatkan Sita. Namun kini, ia tidak lagi punya kepercayaan diri untuk tetap mempertahankan gadis itu bersamanya. Ia hanya bisa meringkuk dengan menyedihkan di sudut kamar kosnya yang sempit.
Saat Riko tengah meratapi keadaan, mendadak suara debam keras terdengar dari luar kosnya, diikuti getaran kuat serupa gempa bumi. Riko segera bangkit berdiri dengan kaget. Pemuda itu lantas mencoba keluar dari kamarnya dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Betapa terkejutnya Riko ketika melihat separuh bangunan kosnya kini sudah hancur. Teriakan panik dan kekacauan terjadi di depan matanya.
Kosnya yang berada di pinggir jalan raya itu memperlihatkan pemandangan yang benar-benar aneh. Puluhan makhluk berkulit hijau dengan gigi taring panjang dan mengerikan tampak memenuhi jalanan dan mengejar orang-orang. Beberapa orang yang tertangkap lantas dihajar dengan gada berduri makhluk hijau tersebut. Riko kenal betul siapa sosok makhluk hijau beringas itu: Orc, monster yang ada di game yang tengah dia mainkan, Genesis.
“Apa-apaan … ,” desah Riko masih terbelalak tidak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟
2022-12-25
0
Low profile
bagus jangan mogok y thor sehabis lomba
2022-09-06
2
IG: _anipri
ceritanya bgs. kumasukkan favorit
2022-08-29
0