Pukul delapan tepat Riko sudah sampai di Akdemi. Rangga berdri di tengah aula bersama tiga player lain yang berseragam merah hitam. Saat melihat Riko, Rangga menyeringai puas dan mendengkus dengan ekspresi mencemooh. Raut wajah seperti itu sangat tidak cocok dengan itikad baik yang tadi dia gembar gemborkan. Namun Riko toh tidak berharap apa-apa pada Rangga selain fakta bahwa musuhnya sudah melakukan kesalahan karena meremehkannya.
“Ngapain lo nyamperin gue? Jangan kayak orang bego deh. Ke meja pendaftaran sana. Terus tunjukin surat rekomendasi buat ambil seragam sama kontrak kerjanya. Dasar bikin malu,” ejek Rangga saat Riko berjalan ke arahnya, meminta petunjuk.
Tentu saja Rangga akan memanfaatkan kesempatan itu untuk melontarkan kata-kata menyakitkan semacam itu. Bahkan tiga player lainnya juga ikut tertawa sambil menatap Riko penuh ejekan. Ketiganya lelaki, sebagai informasi.
“Sialan,” desah Riko sambil berdecih.
Pemuda itu lantas meninggalkan Rangga dan berjalan menuju meja resepsionis untuk melakukan pendaftaran.
“Ya kali aku pernah jadi tim pemburu. Waktu sama Tera semua diurus sama dia. Anggota tim tinggal terima jadi. Kayak gitu baru namanya ketua tim yang bagus. Teladan,” gerutu Riko terus-terusan.
“Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” Sapaan resepsionis perempuan berseragam coklat muda membuyarkan gerutuan Riko pagi itu.
Pemuda itu lantas menyerahkan ponselnya yang menunjukkan email rekomendasi dari Akademi. Pegawai perempuan itu memeriksa ponsel Riko lalu mengutak-atik komputernya untuk membuka database. Sejurus kemudian sang perempuan masuk ke dalam ruangan di belakangnya lalu keluar membawa setumpuk pakaian dalam plastik bening.
“Silakan. Ini seragam Anda. Kontrak kerja sudah dikirimkan melalui email. Gaji akan dikirimkan ke rekening terdaftar. Apabila Anda tidak bisa kembali dengan selamat, uang duka dan santunan akan diberikan kepada keluarga terdekat Anda. Di data ini, orang tua Anda yang akan menerimanya,” terang pegawai itu dengan senyuman ramah. Ekspresi yang bertolak belakang dengan penjelasan tentang kemungkinan kematian Riko.
Akan tetapi Riko tidak terlalu mengacuhkannya. Pemuda itu mengambuk seragam dalam bungkus plastik yang disodorkan kepadanya.
“Anda bisa berganti pakaian di toilet sebelah sana,” lanjut perempuan itu sembari menunjuk ke arah toilet di ujung ruangan.
“Terima kasih,” ucap Riko secara otomatis.
Tanpa berlama-lama Riko segera meluncur ke toilet. Dia mengganti bajunya dengan seragam polyester hitam merah yang merupakan one suit sekali pakai. Baju sebelumnya ia masukkan ke dalam loker yang disediakan di depan toilet.
“Merah terlalu mencolok buat lo. Cocoknya pake warna ijo sih emang. Seragam tim pembersih. Tapi sekali waktu nggak apa-apalah gue kasih lo kesempatan pake seragam tim pemburu. Mau foto dulu nggak? Buat kenang-kenangan? Lo mungkin nggak bisa pake baju ini lagi,” cemooh Rangga begitu Riko muncul dengan seragam merah hitam yang sama dengannya.
Riko tak menjawab dan hanya berdiri tak acuh seakan tidak ada apa-apa. Rangga tampak kesal karena provokasinya sedari tadi tidak dipedulikan oleh Riko. Ia menyenggol kawannya, salah satu tim pemburu yang juga berada di sana.
“Jadi lo Riko Sanjaya yang terkenal itu ya. Katanya pernah kekunci di dungeon. Gimana rasanya?” tanya salah seorang pemburu bertubuh gempal.
“Oh, ya nama gue Elang. Gue tank di tim. Swordman. Dia Ivan, damage dealer, Soccerer. Terus yang badannya kecil itu Rizal, priest. Kalau Rangga, lo pasti udah tahu dong, Assasin. Lo apa?” lanjut pria bertubuh gempal tadi.
“Ngapain lo kenalin semuanya ke dia. Mungkin dia bakal mati juga di dungeon,” sahut Rangga kembali melontarkan sarkasme.
“Yah, orang mati kan perlu tahu siapa aja yang ada bersamanya sebelum ajal menjemput. Daripada jadi arwah penasaran,” timpal Elang sembari mendengkus pendek.
Riko sudah nyaris tidak bisa menahan diri. Sampai di sini dia akhirnya tahu bahwa Rangga mungkin ingin mengirimnya mati di dalam dungeon. Sudah begitu tiga player lainnya cenderung berpihak pada Rangga. Entah kenapa Riko merasa gelisah. Namun kejengkelannya berhasil mengusir rasa gelisah itu hingga memudar.
“Aku nggak selemah yang kamu pikir, Ngga. Kujamin kamu nggak akan nyesel bawa aku hari ini,” gertak Riko menahan amarah.
Rangga mendengkus geli. Seringai licik menghiasi wajah penuh kedengkiannya. “Pastilah gue nggak nyesel. Karena gue sendiri yang bakal ngirim lo ke alam sana,” desisnya penuh ancaman.
Riko hendak menimpali, tetapi urung karena orang-orang berbaju hitam sudah menyuruh mereka berangkat dengan portal seperti sebelumnya. Rasa diaduk-aduk kembali mendera Riko ketika memasuki portal. Beberapa detik berlalu dan ia pun sampai di situs tempat dungeon break terpantau muncul.
Letaknya ada di dalam gua berlangit-langit rendah. Danau dangkal ada di bawah kaki mereka namun tidak membuat seragam Riko basah. Sepertinya baju itu dilengkapi teknologi anti air, dan semoga juga anti api. Suasana gua remang-remang karena cahaya yang masuk hanya dari celah kecil di stalaktit yang menjulang nyaris mengenai puncak kepala Riko. Sebuah air terjun kecil muncul dari balik dinding gua, mengeluarkan bunyi gemericik yang konstan.
“Langsung masuk aja. Berapa lama batas waktunya?” tanya Rangga pada salah seorang pegawai berbaju hitam.
“Celah dimensinya baru ketemu dini hari tadi. Diperkirakan udah muncul selama tiga jam. Kurang lebih kalian punya waktu satu setengah jam sebelum portalnya kebuka lebar,” terang pegawai pria itu.
“Oke. Ayo,” ajak Rangga pada rekan-rekan timnya yang lain, kecuali Riko tentu saja.
Satu per satu mereka memasuki celah dimensi yang sedikit lebih kecil dari dungeon break di alun-alun Rembang kemarin. Riko masuk paling akhir lalu mendapati dirinya berdiri di dasar gua lain yang jauh lebih kering dan senyap. Kondisi gua tersebut lebih gelap karena hanya diterangi oleh cahaya Kristal yang menempel sembarangan di dinding dan langit-langit. Pekerjaan yang sedikit sulit bagi tim pembersih untuk menambang Kristal di atas kepala mereka.
Akan tetapi Riko tidak punya waktu untuk memikirkan pekerjaan orang lain. Ia kembali fokus pada sekelilingnya. Keempat rekan timnya sudah mengeluarkan senjata mereka masing-masing dan memasang kuda-kuda waspada sembari berjalan pelan menyusuri gua. Riko pun turut mengeluarkan kapak merahnya yang sudah diperkuat. Armor sederhana yang baru dibelinya juga lengkap menempel di tubuh Riko.
Rangga terang-terangan mendengkus penuh ejekan ketika melihat Riko mengenakan set murahan itu. Ia sendiri sudah memakai set tempur assasinya yang berupa jubah merah darah berlilitkan tali temali rumit. Dual dagger Rangga terlihat mewah dengan bentuknya yang artistik dan berwarna keperakan mengkilau. Sejujurnya Riko penasaran untuk menempa senjata seperti itu. Jelas senjata Rangga merupakan salah satu dagger yang mahal di toko. Kalau Riko mendapat material yang tepat, ia mungkin bisa membuat dagger langka yang jauh lebih luar biasa dari milik Rangga. Ditambah elemen gelap dari Token of Apostole-nya, cocok sekali untuk job Assasin.
Di saat seperti ini, kenapa aku malah kepikiran buat bikinin si sialan ini senjata, pikir Riko sembari buru-buru mengenyahkan imajinasi liarnya.
Detik-detik selanjutnya berlalu dalam damai. Belum ada tanda-tanda penyerangan monster. Hingga akhirnya suara geraman mulai terdengar, diikuti kemunculan bola mata berwarna merah yang sangat banyak. Riko menghadapi kawanan monster yang cukup berbahaya dan gesit: Wild Wolf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments