"Jadi panitia itu artinya aku tidak bisa sering-sering memberikan pesan atau bahkan bertemu denganmu kan?" Ignacia hanya ingin memastikan saja. Diam-diam beharap jika Rajendra hanya akan pergi sebentar dan menerima semua pesan yang ingin dia kirimkan.
"Aku minta maaf," hanya itu yang dapat Rajendra katakan. Dia tidak bisa menjelaskan apapun dan hanya menatap hal lain setelah es krimnya habis.
Ignacia menunduk beberapa detik, menampakkan senyuman kecut di suatu bibirnya. "Kenapa malah minta maaf? Aku tahu semua ini berhubungan dengan kehidupan sekolahmu. Tidak perlu merasa bersalah hingga meminta maaf seperti itu. Lagipula aku sudah biasa jika kamu harus sibuk," lirihnya.
Tidak ada pembicaraan lain. Rajendra mengantar Ignacia kembali ke rumah setelah beberapa menit kebersamaan yang agak canggung. Pembahasan soal kesibukan sudah biasa, tapi rasanya tetap saja terselip rasa canggung yang berlebihan.
...*****...
"Rajendra, menjadi sibuk itu menyenangkan?" Ignacia iseng bertanya saat sedang memakai helm yang diberikan Rajendra tadi, matanya sedang sibuk menatap pengait helm yang agak sulit untuk digunakan, "apa semenyenangkan itu?"
"Apa maksudmu?" Rajendra bingung.
"Kamu selalu berada di sekolah selama setahun terakhir. Tapi sekarang akan menjadi dua tahun. Apa menjadi sibuk itu sangat menyenangkan? Kamu tidak pernah mengeluh padaku soal kesibukan yang datang."
"Ya mau bagaimana lagi? Itu tanggung jawabku. Tidak mungkin aku akan menolak selama memiliki gelar ketua MPK."
"Kamu tidak pernah mengeluh padaku." Ignacia selesai dengan helmnya, menatap Rajendra yang juga sudah siap dengan helm warna merahnya. "Biasanya sepasang kekasih akan saling mengeluh soal apapun yang membuat mereka kesal dan sebagainya. Tapi kamu hanya sesekali mengatakan bahwa kamu kelelahan."
"Aku tidak ingin terlihat kekanak-kanakan di hadapanmu, Ignacia. Kita kadang tidak menunjukkan kelemahan diri sendiri kepada orang yang disukai."
Ignacia menggeleng, tidak setuju dengan ungkapan Rajendra barusan. "Kadang tidak masalah jika kamu menunjukkan sisi terlemah atau mengeluh pada orang yang kamu sukai, Rajendra. Kita bukan baru mengenal selama 4 bulan. Tapi sudah hampir 4 tahun. Kenapa kamu masih belum mengeluh padaku selama hari-hari sibukmu di sekolah?"
"Bagaimana denganmu? Kamu juga tidak benar-benar mengeluh padaku." Rajendra balik menyerang.
"Jika kamu tidak banyak bicara denganku, aku merasa tidak dekat denganmu. Aku merasa kita memiliki banyak jarak. Meksipun tidak mengeluh, aku akan datang padamu, Rajendra. Tapi kamu gak begitu."
Ignacia naik ke jok belakang perlahan, tidak berpegangan pada ujung jaket Rajendra seperti biasa. Malam ini hatinya menjadi lebih sensitif.
"Kamu tidak akan berpegangan padaku?"
Rajendra memastikan apa Ignacia akan tetap dengan posisinya yang tidak ingin menyentuh Rajendra. Tidak adanya respon sudah menjadi peringatan bagi Rajendra. Ignacia bukannya sedang marah, dia hanya merasa tidak nyaman dengan tingkahnya sendiri.
"Seharusnya aku tetap menyimpannya sendiri saja," batin Ignacia di sepanjang perjalanan pulang.
Sebelum sampai di rumah Ignacia, sepeda motor milik Rajendra justru berbelok ke sebuah tempat yang memiliki pemandangan malam kota. Sebuah bukit yang biasanya disukai para penduduk untuk menikmati ketenangan.
"Kenapa kita kemari? Kamu tidak jadi mengantarku pulang, Rajendra?" Ignacia yang duduk di jok belakang tentu kebingungan. Bukit ini bukan arah pulangnya. Bahkan dia memberikan alamatnya pada Rajendra, jika saja laki-laki itu lupa arah menuju rumahnya.
Kembali sepeda motor itu berhenti. Kali ini Rajendra membantu Ignacia melepaskan helmnya dan menggandengnya lembut menuju spot paling cantik. Disana tidak ada terlalu banyak orang. Hanya mereka-mereka saja yang tengah menelusuri jalan menuju bukit bagian atas.
"Rajendra, apa yang kita lakukan disini?" Ignacia masih saja bertanya.
Pasalnya sejak tadi Rajendra tidak memberikan respon apapun padanya. Hanya tangannya yang masih di genggam hingga sampai di sebuah bangku tangan. Hanya duduk berdampingan, menatap lurus ke arah kota malam.
"Jika aku terlalu sibuk dan membuatmu kesepian, datanglah ke tempat ini, Ignacia," lirih Rajendra dengan mata yang masih menatap pemandangan di hadapannya. Ignacia otomatis menoleh. Kalimat seperti itu tidak seperti Rajendra. Apa angin malam membuatnya berbeda?
"Jika aku tidak bisa menemanimu berkirim pesan, jika aku tidak datang setelah hari-hari sibukku untuk bercerita padamu, datang saja ke tempat ini. Dengan begitu kamu akan tahu jika aku bukankah segalanya bagimu. Pemandangan kota akan membuatmu merasa tenang."
"Aku hanya bagian kecil dari kesibukan kota, aku hanya bagian paling kecil dari kota yang sedang kamu lihat. Jadi datang saja kemari jika kamu merasa sendirian. Pemandangan kota ini akan menemanimu. Dan jika kamu membutuhkan sesuatu, panggil saja aku ke tempat ini."
"Tapi ketika kamu sedang sedih, jangan datang kemari, Ignacia. Aku tidak ingin ada seseorang yang mengusap air matamu selain aku. Jika marah, marah saja padaku. Dan aku akan menemanimu hingga kamu tenang. Jangan lakukan pada orang lain."
Ignacia diam saja, tidak ingin menginterupsi kalimat-kalimat tak terduga yang berhasil melesat dari mulut Rajendra. Andai saja Ignacia tahu jika Rajendra akan membuat kata-kata sedemikian berwarna, si gadis pasti akan menyiapkan ponselnya dan menyalakan mode rekam suara.
Genggaman tangan keduanya semakin erat, seperti sebuah kode yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tidak akan ada yang ditinggalkan, tidak akan ada masalah apapun selama saling percaya. Dan perasaan tidak ingin melepaskan satu sama lain.
Ignacia menyandarkan kepalanya ke bahu Rajendra. Dan si laki-laki berjaket itu juga menyandarkan kepalanya ke atas kepala Ignacia. Malam ini hanya malam untuk keduanya. Malam yang hanya akan membuktikan bahwa keduanya baik-baik saja meksipun digempur dengan berbagai macam kesibukan.
"Apa aku terlalu kekanak-kanakan, Rajendra?" Suara Ignacia memecah keheningan. Masih dengan posisi yang sama keduanya bicara. Tidak ada yang bergerak untuk menatap satu sama lain.
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Hanya ingin tahu saja. Apa aku kekanak-kanakan di depanmu? Apa aku tidak pantas di umurku yang sekarang ini?"
Rajendra diam beberapa saat untuk berpikir, memilih kata-kata yang tepat dan tidak melukai hati si gadis. "Menurutku, iya, kamu kekanak-kanakan." Kalimat yang tidak melukai bagaimana? Begitu saja rasanya sudah membuat Ignacia merasa gagal..
Ignacia sadar dengan sikapnya akhir-akhir ini. Dia sudah tidak dapat mengendalikan diri ketika berada di hadapan Rajendra. Dia kadang terlalu senang hingga terlihat kekanak-kanakan. Rajendra tidak salah, Ignacia saja yang terlalu sensitif. Apa karena harinya? Atau karena Rajendra yang akan kembali sibuk dan membiarkan pesannya menumpuk?
Kenapa Ignacia harus merasa nyaman hingga merasa bebas untuk mengekpresikan dirinya sesuai apa yang dia inginkan? Kenapa harus di depan Rajendra yang sudah bersamanya selama 4 tahun? Sudah menjadi tugasnya untuk menjaga diri sendiri bukan? Tapi akhir-akhir ini Ignacia kelewatan.
"Aku kekanak-kanakan, aku minta maaf," bisik Ignacia.
"Kenapa minta maaf? Itu bukan salahmu."
"Seharusnya aku lebih bisa mengontrol diriku sendiri," kembali Ignacia bicara dengan batinnya sendiri. "Alasan kenapa kamu tidak membalas lambaian tanganku setiap saat pasti karena kamu merasa malu melihatku yang tidak sebanding dengan umurku yang sudah delapan belas tahun."
...*****...
"Aku pulang," pintu utama dibuka oleh seseorang yang datang dari luar. Menatap sekeliling rumah sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam. Lalu ditemukannya seseorang. "Ayah pergi kemana?" Tanya Ignacia setelah bertemu mata dengan orang yang dilihatnya itu.
"Keluar sebentar untuk membeli lampu meja belajar untuk Athira," jawab orang itu.
"Bagaimana kencan dengan Rajendra tadi?"
Seorang yang wanita tengah menunggu kepulangan anak gadis pertamanya di ruang tamu itu kembali bicara, ditemani jus jeruk hangat dan ponsel di tangannya. Ignacia sudah tahu jika mamanya akan bertanya soal Rajendra lebih dahulu alih-alih bagaimana perasannya.
Tidak masalah.
Sudah biasa.
"Tidak ada yang spesial. Hanya dia harus menjadi panitia di perlombaan tahunan."
"Wah kelihatannya dia akan menjadi sibuk."
"Ya begitulah. Ma, aku lelah. Aku akan istirahat di kamarku."
"Tunggu sebentar," wanita yang ada di ruang tamu itu bangkit dari duduknya, mengambil sesuatu dari dapur dan membawanya untuk si anak gadis. "Mama membeli Fitbar dengan rasa kesukaanmu. Maaf sudah lama maka tidak membelikannya untukmu. Tapi hari ini mama sempat."
"Terima kasih. Aku akan beristirahat di kamar." Baru saja Ignacia akan kembali berjalan ke arah kamarnya, namun suara mamanya kembali menghentikan langkahnya.
"Kamu sudah mengatakan pada Rajendra jika kamu akan mengikuti kegiatan di aula kecil di hari perlombaan itu? Apa yang Rajendra katakan?" Kenapa mamanya hanya begitu fokus dengan Rajendra yang bukan anaknya?
"Aku tidak mengatakannya pada Rajendra." Ignacia berbalik, menatap wajah bingung sang orang tua perempuan.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya pada Rajendra? Kalian masih berpacaran bukan?" Sorot mata sang mama seolah mengisyaratkan sesuatu. Mentang-mentang sang ayah tidak ada di rumah, sekarang bisa seenaknya saja membahas soal Rajendra dan hubungan Ignacia.
"Rajendra itu orang sibuk, Ma. Dia tidak mungkin sempat membaca pesanku untuk saat ini."
"Meskipun tidak langsung dibalas, setidaknya kirimkan saja. Nanti dia juga akan membaca dan membalasnya." Mamanya tidak akan tahu maksud dari perkataan Ignacia. Yang wanita di hadapan Ignacia ini pikir hanya semuanya karena emosi kedua remaja yang masih labil. Tidak lebih.
Mana tahu mamanya soal perasaan lelah Ignacia.
"Kami baik-baik saja. Aku akan istirahat sekarang."
Ignacia tidak ingin lagi membahas Rajendra untuk malam ini. Sisa harinya seharusnya tidak berakhir seperti ini. Seharusnya tidak berakhir dengan perasaan campur aduk yang sangat sensitif. Ini salah Ignacia lagi?
Ignacia duduk di sisi tempat tidurnya, membuka layar kunci ponsel dan melihat beberapa pesan lama disana.
...Rajendra ఇ ◝‿◜ ఇ...
^^^Hah akhirnya aku sampai di rumah |^^^
^^^Kamu pergi kemana, Rajendra? |^^^
^^^Rasanya seperti kamu menolak pesanku |^^^
Ignacia membutuhkan banyak waktu hingga akhirnya mendapatkan balasan dari Rajendra.
...Rajendra ఇ ◝‿◜ ఇ...
| Aku baru sampai di rumah
| Hidupku tidak selalu digunakan untuk bermain ponsel
Pesan itu datang sekitar beberapa Minggu yang lalu. Pesan yang mewarnai hari-hari kelas tahun ketiga Ignacia menjadi lebih sulit dibuat menyenangkan. Ignacia hanya bercanda dengan pesan yang dia kirimkan di akhir. Tapi sepertinya Rajendra tidak tahu maknanya dengan benar.
"Aku tidak bermaksud membuatmu kesal, Rajendra."
"Aku hanya tidak suka sendirian."
"Setelah bertemu denganmu, aku jadi tahu jika aku memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi cerita tentang hariku. Juga karena kita sudah lama bersama, kurasa aku tidak perlu lagi menyembunyikan apa yang ingin kulakukan di hadapanmu."
"Tapi jatuhnya aku menjadi seperti anak-anak di matamu."
"Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak ingin menahan diri dan menunjukkan diriku yang sangat nyaman bagiku. Aku benci harus sendirian saat menjadi diriku sendiri."
"Aku lelah hanya menunggu semua pesanmu."
...*****...
Seseorang membuka pintu kamar di tengah malam. Wajahnya terlihat basah karena sesuatu yang keluar dari kedua matanya. Tujuannya keluar adalah untuk meletakkan dua buah sendok ke dalam freezer. Ya hanya untuk menghilangkan mata bengkak mengerikan yang dibuatnya tanpa sadar sembari pura-pura menonton film bergenre drama.
Di tengah malam, hanya dia yang terbangun. Ketiga adik juga orang tuanya jelas sudah menyebrang ke dunia bawah sadar yang ditumbuhi oleh banyak bunga-bunga mimpi.
"Yang penting, kamu harus sudah tidur sebelum pukul 11 malam. Agar kamu merasa lebih baik keesokan harinya." Lupakan saja soal peringatan sang mama soal waktu tidur malam yang baik dan harus diikuti. Kondisi emosi Ignacia sedang tidak cocok dengan peraturan tak tertulis itu.
Setelah berhasil meletakkan dua buah sendok di dalam freezer tanpa diketahui siapapun, Ignacia kembali ke dalam kamarnya. Sebelum sampai di tempat tidur, dia sempat melihat dirinya sendiri di cermin meja riasnya.
Rambutnya berantakan, wajahnya basah dan tampak bengkak, matanya apalagi. Piyama yang dia gunakan rupanya tidak mengubah dirinya menjadi lebih nyaman. Justru rasanya dia semakin merasa tidak pantas untuk melakukan apapun.
"Kenapa aku jadi semakin sensitif?" Gumam si gadis kemudian meraih ponselnya yang ada di atas meja belajar.
Jarinya mengetikkan password sebelum membuka aplikasi pesanyang sedari tadi tidak dibukanya. Hanya ada beberapa pesan dari grup sekolah. Rajendra tidak kembali menghubungi dia setelah pertemuan. Lupakan saja. Ignacia sudah tidak peduli lagi. Dia harus tidur sekarang.
"Ah kenapa aku begitu berantakan malam ini? Bahkan hari Kamis belum datang. Aku tidak boleh menangis seenaknya. Aku harus menghilangkan mata bengkak ini segera," kesalnya pada diri sendiri. "Sejak dahulu aku memang payah. Apa yang dahulu Rajendra lihat dariku yang seperti ini?"
Ditatapnya langit gelap lewat jendela yang tirainya sengaja tidak ditutup. Biarkan Ignacia menatap langit yang senantiasa terbuka untuknya. Tidak ada bintang ataupun sang demi malam. Mungkin semuanya juga tengah bersembunyi dari dunia.
"Aku juga ingin bersembunyi dan bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi," lirih Ignacia.
Bibirnya kembali bergetar. Matanya mulai memanas, pengelihatannya kabur akibat air mata yang menumpuk di kelopak. Hanya butuh satu kedipan saja untuk menghancurkan segala pertahanannya.
"Rajendra, jika kamu tidak ada, lantas aku akan bicara dengan siapa? Menurutmu kenapa aku sangat ingin mencuri waktumu? Menurutmu kenapa aku ingin terlihat seperti yang aku inginkan di matamu? Tidakkah kau pernah memikirkannya?"
"Barang sekali saja."
"Aku benci harus sendirian!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Moonlight
ginilah kalau pacaran sm org sibuk :')
2023-08-30
1
Ara Julyana
iya Ignacia harusnya kamu merekam kata-kata yang indah itu
2023-07-29
1
Vellysia
ignacia kamu jangan bersedih..
2023-07-21
1