"Kamu sudah akan pulang, Rajendra?"
Kemunculan Rajendra yang tiba-tiba dari depan laboratorium biologi agak mengejutkan. Tapi tidak membuat senyuman Ignacia hilang begitu saja. Dia suka dengan situasi yang membuatnya lebih berani untuk berjalan ke arah Rajendra lebih dahulu.
"Iya, sebentar lagi aku akan pulang. Bagaimana denganmu? Kapan kamu akan pulang? Sudah sore." Tatapan yang diberikan Rajendra itu tulus, namun agak memberatkan bagi Ignacia. Itu tatapan mata membius yang selalu digunakan Rajendra saat menatap kekasihnya.
Kenapa sampai sekarang Ignacia masih belum berani untuk menatap mata Rajendra dari jarak dekat? Padahal sudah hampir 4 tahun hubungan keduanya.
"Entahlah. Mungkin masih nanti. Kamu sudah dijemput?"
Beberapa hari terakhir sepeda motor Rajendra mengalami masalah dan harus menetap di bengkel cukup lama. Jadi untuk saat ini ayah Rajendra yang menjemputnya setiap ada kesempatan, atau mungkin pulang diantar teman laki-lakinya.
Rajendra menggeleng, dia bahkan belum menghubungi ayahnya sejak tadi. Sepertinya hanya untuk mengulur waktu agar bisa lebih lama bersama Ignacia. Kesempatan seperti ini tidak mudah didapatkan. Ignacia tampak selalu gugup dan seolah menolak Rajendra mendekatinya di sekolah.
"Kamu mau menunggu di depan sekolah?" Tawar Ignacia secara suka rela, "ayo kita pergi," lanjutnya. Rajendra semakin bingung saja dengan tingkah Ignacia yang berubah secara tiba-tiba.
"Maksudnya kamu ingin mengantarku sampai di gerbang depan sekolah?" Rajendra sedikit menebak-nebak apa yang diinginkan Ignacia. Dan rupanya itu benar. Gadis di hadapannya mengangguk dan tersenyum kecil. "Ada apa ini? Tumben sekali. Tapi seharusnya aku yang mengantar, bukannya kamu."
"Kenapa tidak?"
Rajendra tidak menjawab. Dia hanya senang karena Ignacia sedikit lebih lunak padanya. "Kamu sudah selesai makan rujak buah, Ignacia?"
"Iya, sudah cukup. Sekarang ayo kita pergi ke gerbang depan."
"Kita duduk sebentar saja. Akan aku hubungi ayahku sebentar lagi." Ignacia mengekor di belakang Rajendra, mengikuti dengan langkah kaki ringan meksipun tali sepatunya sama sekali tidak diikat. Dibiarkan saja lepas karena malas membenarkannya.
Baru saja keduanya akan berjalan, namun sebuah sepeda motor tengah melaju ke arah keduanya. Ignacia dibawa minggir oleh Rajendra padahal gadis itu bisa melakukannya sendiri. Mata laki-laki yang mengendarai sepeda motor itu--teman sekelas Ignacia--bersitatap dengan Rajendra.
Mereka saling menyapa.
Setelah teman Ignacia itu pergi, si gadis berambut panjang di belakang Rajendra itu buru-buru menyelaraskan langkah dengan kekasihnya. "Bagaimana kamu bisa mengenal dia?" Mana tahu Ignacia jika Rajendra mengenal salah satu temannya.
"Kami sama-sama masuk ke ekstrakurikuler robotik," jawab Rajendra enteng. Wah jadi selama dua-tiga tahun terakhir keduanya saling kenal. Sebuah kejutan temannya bisa berteman dengan Rajendra.
Dikiranya karena berbeda jurusan, Rajendra tidak akan mengenal teman-temannya. Ignacia hampir lupa soal ekstrakurikuler lain yang mungkin mengikutsertakan anak dari jurusan bahasa seperti laki-laki tadi.
Lorong kelas 12 Ips tengah sepi. Hanya ada Ignacia dan Rajendra saja disana. Keheningan, kecanggungan, perasaan aneh muncul silih berganti seperti saluran televisi.
"Kapan ayahmu akan datang?" Ignacia bertanya untuk mengubah suasana yang canggung, "kenapa tidak menunggu di depan saja agar cepat pulang?"
"Ayahku bahkan baru masuk ke kamar mandi sebelum menjemputku. Tenang saja, masih ada cukup waktu sebelum aku pulang." Rajendra tersenyum, namun sayangnya Ignacia tidak begitu berani untuk menatapnya. Yang dia pikirkan hanya apa sikapnya ini sudah bagus untuk Rajendra.
"Kenapa ya kadang ayah harus pergi ke toilet sebelum mengantar atau menjemput anaknya dari sekolah?" Rajendra mengangkat bahu tidak tahu, mana pernah dia memikirkan hal seperti itu. Tidak mungkin ada hal lain selain karena panggilan alam yang harus segera dituntaskan.
"Tunggu sebentar," sebuah panggilan muncul di ponsel Rajendra, membuatnya bangkit dari duduk dan memberikan jarak antara dia dan Ignacia beberapa langkah sebelum mengangkatnya.
Mungkin seorang temannya, mungkin tentang urusan organisasi dan sebagainya, pikir Ignacia sambil menunduk melihat sepatunya yang masih belum diikat dengan benar. Beruntung ruang yang sangat longgar itu tidak membuat sepatunya terlepas dan terlihat konyol di depan orang-orang.
Ignacia tidak bertanya siapa itu setelah Rajendra kembali. Ya pasti bukan urusannya juga.
"Ayahmu masih lama datangnya?" Ignacia bertanya lagi di sela-sela keheningan. Rajendra tertawa kecil.
"Sudah kubilang jika kita masih memiliki waktu untuk mengobrol sebentar. Kenapa kamu sangat ingin aku segera pulang hm? Lalu kenapa kamu tiba-tiba ingin mengantar aku hingga ke depan hm? Ini pertama kalinya kamu melakukan ini."
"Aku ingin mencobanya saja. Sejujurnya aku ingin melakukan ini juga setelah dramaku waktu itu. Tapi aku tidak bisa melangkah dengan benar menggunakan kebaya itu. Jadi aku tidak bisa mengantarmu hingga ke gerbang sekolah. Aku minta maaf."
Ignacia menatap kekasihnya dengan keberanian yang sudah dikumpulkan beberapa detik sebelumnya. "Aku tidak bersikap cukup baik padamu. Padahal kamu pulang sore karena menonton dramaku, tapi aku justru membiarkan kamu pergi sendirian sementara aku bersama teman-temanku."
Wajah Rajendra mulai agak memerah, antara tersentuh atau gemas dengan apa yang Ignacia katakan. Tangannya bergerak untuk mengelus surai panjang Ignacia tanpa memutuskan kontak mata.
Tangan Rajendra kini ada di puncak kepala si gadis, "kenapa kamu meminta maaf? Aku tahu jika tidak mudah berjalan dengan kecepatan yang berbeda seperti yang biasa kamu lakukan. Aku tidak keberatan jika pergi sendirian. Jangan merasa bersalah."
"Tidak, kali ini aku ingin mengantarmu hingga di depan pagar. Ayahmu akan segara datang?"
Lagi-lagi sikap Ignacia yang sungguh berubah seratus delapan puluh derajat ini mengambil hati Rajendra. Tapi apa begini caranya agar laki-laki ini selalu jatuh cinta dengannya setiap saat? Entahlah. Ignacia tidak pernah tahu.
"Ayahku masih lama untuk sampai. Lalu kapan kamu akan pulang? Apa acara di kelasmu masih akan lama?" Tangannya kini sudah ditarik kembali setelah sedikit merapikan rambut Ignacia yang agak berantakan sambil bicara.
"Entahlah, mungkin akan lama. Sekarang aku pulang lebih lama darimu. Tidak seperti biasanya. Sekarang aku yang akan merasakan pulang sore sepertimu biasanya." Ada nada menyindir lucu dari Ignacia pada Rajendra. Memang laki-laki itu yang selalu saja pulang sore dan malam.
"Hei aku disini untuk melakukan tugas-tugas sebagai ketua MPK. Kamu tahu sendiri bagaimana organisasi berjalan."
Ignacia mengangguk-angguk saja. Mengalihkan perhatian pada kedua sepatunya yang kini sudah tidak memeluk kakinya. Jika digunakan berjalan cepat mungkin akan lepas.. Di satu sisi, sekuat tenaga Ignacia berusaha agar terlihat normal. Padahal sedari tadi dia menahan rasa gugup. Dan di sisi lain memikirkan soal sepatu.
Ada pembicaraan lain di tengah waktu menunggu. Ignacia bicara soal hantu-hantu di kelasnya dan kegiatan yang seharusnya dia lakukan lebih dahulu sebelum pergi ke kelas. Cerita yang sama seperti yang dia ceritakan pada Nesya tadi. Rajendra terkekeh karena mendengar Ignacia banyak bicara di dalam satu pertemuan. Tidak seperti dia yang biasanya diam.
"Kurasa aku harus datang lebih siang," ucap Ignacia di akhir ceritanya. Dia tidak menatap Rajendra karena gugup, jadi tidak bisa melihat senyuman kecil di wajah tampan itu.
"Iya, seharusnya kamu datang lebih siang. Lain kali kamu tidak perlu masuk ke kelas jika melijat hantu-hantu seperti itu. Kamu pergi saja meskipun Nesya belum datang," saran Rajendra.
"Tapi kamu tau sendiri jika aku tidak akan pergi kemanapun jika berada di sekolah kecuali jika diajak pergi ke toilet dan koperasi. Aku juga ingin tidak masuk ke kelas. Tapi aku akan berada dimana jika tidak di kelas?"
"Datang saja ke kelasku."
Sekarang Ignacia yang terkekeh, dia menoleh dan mendapati tatapan Rajendra yang terasa sangat damai padanya. "Jangan membuatku terlihat seperti para hantu di kelasku, Rajendra. Lagipula aku lebih suka bertemu denganmu diam-diam daripada berada di keramaian."
Mata keduanya bertemu. Ada kedamaian di dalamnya.
"Bagaimana jika pergi ke gerbang sekarang? Mungkin ayahmu sudah datang, Rajendra." Ignacia lebih dahulu bangkit, tidak peduli lagi dengan sepatunya. Dia mengulurkan tangan kepada Rajendra sebagai kode untuk laki-laki itu juga bangkit dan akan dia antar hingga di depan sana.
"Kamu serius?" Rajendra masih terkekeh, menerima tawaran tangan itu dan ikut bangkit. Namun tentu keduanya tidak mungkin untuk bergandengan tangan di area sekolah.
Omong-omong, hari ini, Ignacia dan Rajendra banyak tersenyum ke satu sama lain.
Baru saja keluar dari lorong, kembali ke jalanan panjang yang menghubungkan banyak tempat. Di ujung jalan sana, di depan perpustakaan, di dekat jalan keluar gerbang depan, tiga-empat teman Rajendra tengah berdiri disana dan mendapati seseorang yang tengah berjalan di samping si ketua MPK. Salah satunya adalah laki-laki yang seperti sedang membawa laptop.
Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dan bertingkah seolah akan mengambil gambar Ignacia dan Rajendra yang tengah berjalan bersama ke arah mereka. Tapi peringatan dari Rajendra yang tegas membuatnya tidak berani dan mengurungkan niat bercandanya.
"Memangnya kenapa jika dia mengambil gambar kita?" Ignacia bertanya pada kekasihnya, namun mungkin Rajendra tidak mendengar pertanyaan dengan suara kecil. Jadi biar saja Ignacia merasa penasaran hingga mendapatkan jawaban.
Sampai di ujung jalan, tempat beberapa manusia dari organisasi MPK berdiri, Rajendra menagih laptop yang dibawa si laki-laki iseng. Sepertinya sesuatu yang mereka lakukan di aula kecil itu menggunakan laptop milik Rajendra.
Setelah sampai di ujung jalan, perjalanan menuju gerbang depan sudah ada di depan mata. Ignacia berdiri di ujung jalan hingga membuat Rajendra juga menghentikan kakinya dan menoleh dengan bingung. "Baiklah kalau begitu," ucap Ignacia seperti akan meninggalkan Rajendra hingga sampai disana.
"Kamu bilang ingin mengantarku sampai ke gerbang depan, Ignacia," protes Rajendra dengan nada candaan.
"Hm, kamu benar." Tidak jadi sampai sana. Ignacia melanjutkan langkahnya lagi, Rajendra masih saja memerhatikan dia hingga bisa kembali menyelaraskan langkah. Semakin dekat dengan pagar sekolah, rasanya Ignacia senang sekali.
"Tapi ayahku yang akan menjemput," bisik Rajendra yang bisa didengar oleh Ignacia.
"Lalu kenapa jika itu ayahmu?"
"Hm? Tidak apa-apa."
Kenapa Rajendra membuat Ignacia bertanya-tanya tanpa berniat menjelaskan? Ya memang Ignacia belum pernah bertemu dengan orang tua Rajendra, hanya dengan Ibu Rajendra saja. Itu pun hanya sekali saja bertemunya.
Entah Rajendra pernah bicara dengan sang ayah soal Ignacia atau tidak, Ignacia tidak tahu.
"Sudah sampai, sekarang kamu yang kembali ke kelas," ucap Rajendra kemudian memberikan senyuman terakhir sebelum benar-benar pergi dan membiarkan Ignacia berbalik untuk kembali ke kelasnya.
Tapi Ignacia ya tidak pergi secepat itu. Baru saja dia berjalan dia langkah dari tempatnya berpisah dengan Rajendra, ada sebuah kejadian aneh di depan matanya.
Sebuah ikan koi besar keluar dari dalam kolam yang ada di depan kantor TU, tepat di depan mata Ignacia bahkan.
Rajendra masih ada di dekat pagar, ikut melihat ikan besar berwarna campuran putih dan merah itu menggelepar di atas paving. Rasanya seperti dia ingin kabur dari kolam dan memulai hidup barunya dengan bernafas menggunakan paru-paru.
Ignacia menunjuk ikan yang sedang coba ditangkap oleh seorang satpam. Rajendra mengangguk-anggukkan kepalanya, kode bahwa dia juga tengah melihat ikan itu tadi. Dia juga memberi kode agar Ignacia segera kembali setelah ikannya berhasil masuk kembali ke dalam kolam.
"Sampai jumpa," lambaian tangan terakhir dari Ignacia dan dia benar-benar kembali kelas.
"Iya, sampai jumpa. Hati-hati di jalan pulang nanti. Cepatlah kembali dan melanjutkan makan."
Dia mendapati Nesya di depan kelas saat dia kembali. Semua sudah di bereskan dan sekarang dia di ajak Nesya untuk mengambil sepeda motor di tempat parkir ke depan kelas agar dekat dengan jalan keluar sekolah. Juga agar tidak perlu jauh-jauh pergi ke tempat parkir sebelah Utara sekolah itu.
"Huh kamu meninggalkan aku untuk pergi berkencan," marah Nesya dengan nada bicara yang dibuat-buat. Ignacia tertawa kecil dan meminta maaf karena meninggalkan teman baiknya ini sendirian. Ignacia padahal sudah izin padanya.
"Jadi kamu mengantarkan Rajendra sampai di depan gerbang? Wah kamu berani sekali. Tidak seperti biasanya. Saat muncul di depan Rajendra tadi juga. Bagaimana kamu bisa begitu berani hari ini?" Nesya jadi ikut bingung. Dia juga menjadi saksi dari tingkah aneh Ignacia.
"Aku ingin melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang yang berpacaran. Aku ingin tahu apa aku bisa membuatnya salah tingkah atau tidak," jujur Ignacia. Lagipula hanya ada keduanya di jalan menuju tempat parkir.
"Lalu bagaimana hasilnya?"
"Entahlah, aku tidak paham."
Ignacia belum belajar banyak soal perasaan ketika sedang jatuh cinta. Perasaan dominan yang selalu dia rasakan hanya perasaan seperti ada banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Saat berjalan dengan Rajendra tadi juga seperti itu, tapi tidak begitu banyak kupu-kupu yang terbang.
"Mau aku bonceng?" Kebetulan hari itu Neysa datang dengan diantar oleh sang kakak, jadi dia hanya ingin menemani teman yang tengah berbunga-bunga ini untuk mengambil sepeda motornya. Ignacia tentu tidak menolak tawaran itu dan duduk di jok belakang. Tidak lupa memegang helm miliknya.
"Wah aku melakukan pencapaian yang mengagumkan," senang Ignacia. Dia berteriak dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Moonlight
suka banget karakter si cwok selalu bikin baper :)
2023-08-30
1
Doubi
Ignacia, ini kamu emang males-malesan atau cuma mau ngode ke mas pacar buat benerin tali sepatu, sih?
2023-07-28
1
hyOvaltine
Astaga Jendra
2023-07-18
1