Rian akhirnya menceritakan pada Arumi tentang vonis dokter pada Delia.
"Alzheimer? kok bisa?" Arumi masih belum percaya.
Bukan dia tidak percaya pada penyakit yang di derita menantunya. Pasalnya dia melihat Delia tidak ada yang aneh. Normal-normal saja. Makanya dia kaget ketika Rian menceritakan hal itu.
"Tapi tadi pas dia mau ke kantormu baik-baik saja, Rian."
"Ma, apa itu parah?
Masa dia tadi tidak ingat Roger tapi sama aku ingat. Terus dia nyari handphone padahal ada di kalung gantungan handphone di lehernya."
Arumi menaikan bahunya. Kalau lupa letak barang rasanya semua bisa terjadi pada siapapun. Tapi lupa kalau punya anak? Arumi rasa itu hanya taktik Delia saja, bukankah dulu Delia sempat tidak mengakui Roger.
"Coba kamu periksa lagi sama dokter lain. Apalagi seperti kata kamu kalau dokter memeriksa sekedarnya saja tapi langsung kasih diagnosa.
Jangan sampai, besok dia tidak ingat kamu. Jangan sampai nanti dia ingat sama Arjuna. Kasihan Dira, dia lagi hamil muda."
Rian menoleh kearah mamanya. Ada benarnya kata mama, Delia harusnya di periksa ke rumah sakit. Biar lebih tahu apa benar kalau Istrinya menderita alzheimer.
Rian berjalan ke arah kamar. Dari letak kamar yang searah dengan teras belakang rumah. Tampak Delia sedang asyik bermain sama Roger.
Tangan Rian mengerutkan dahinya. Teringat di usia Roger yang memasuki dua setengah tahun belum bisa bicara lancar. Awalnya Rian pikir kalau Rian seperti itu karena Roger masih kecil. Tapi seiring berjalannya waktu belum ada peningkatan pada putra semata wayangnya.
"Roger, sini tante buatin mainannya." Delia mengambil salah satu lilin mainan berwarna merah.
"Mama..." ucap Roger.
"Tante ..." jawab Delia.
"Mama..." Lagi-lagi Roger memanggilnya dengan sebutan mama.
"Iya, deh. Panggil saja Tante dengan sebutan mama."
"Sayang," Delia mendengar Rian memangilnya dari arah dalam.
"Iya, mas." Jawab Delia sambil mengajak suaminya bergabung bersama Roger.
"Roger buat apa sayang?" tanya Rian.
"Dokdok .." jawab Roger.
"Apa itu dokdok?" Rian masih belum paham sama bahasa bayi.
"Telur, mas. Maksud Roger dia buat ndok gitu. Soalnya tadi kan Roger berjalan ke dapur. Terus dia ambil telur sama mama di bilang ndok. Makanya langsung dia buat pake mainan lilin." jelas Delia.
"Sayang, besok kita ke dokter, ya?"
"Buat apa, mas. Nggak ada yang sakit kan?"
"Periksa Roger, sepertinya dia keterlambatan bicara. Usianya sudah dua tahun lebih, harusnya dia lebih lincah. Tapi pertumbuhannya masih stug begitu saja." ucap Rian sambil merebahkan tubuhnya di dekat tenda milik Roger.
Rian tak mendengar lagi celotehan Roger dan Delia saling bersahutan. Pikirannya menerawang saat teringat kata sang mama soal penyakit Delia. Begitu banyak masalah diawal pernikahannya. Saat acara kumpul keluarga di solo dua Minggu setelah menikah. Banyak keluarga besar mamanya yang mencibir Delia.
Itu bukan berdasarkan aduan Delia. Tapi mamanya sendiri yang menceritakan. Di sebuah pertemuan keluarga, sang bude mempertanyakan keakuratan DNA Roger.
Benarkah Roger anak Rian?
Apakah kejadian itu jebakan si wanita?
Satu minggu berada di Solo tak ada sambutan yang baik dari keluarga mamanya. Saat itu Delia tak terlihat sedih, dia juga tak mengadukan apa yang terjadi disana. Namun Rian tahu Delia tak bahagia di tengah keluarga itu. Maka itu, belum genap seminggu Rian mengajak istri dan anaknya pulang ke Jakarta terlebih dahulu.
Rian juga tak pernah mempertanyakan soal apa yang dialami istrinya. Bukan karena tak peduli, tapi jika di bahas tentu akan menyisakan luka di hati istrinya.
"Itu karma buat dia, Rian." Kata Hendra teman karib Rian.
Hendra tahu bagaimana Rian harus mempertanggungjawabkan biologisnya. Rian pernah cerita kalau dia di jebak oleh Delia. Rian pun pernah mengungkapkan kegundahannya saat tahu sudah ada anak sementara pernikahannya dengan Dira semakin dekat.
"Mas," Rian tersadar dari lamunannya. Tampak Delia menggendong Roger yang sudah tertidur.
"Sudah tidur, ya." Delia mengangguk pelan. Seketika Delia seperti linglung entah kenapa dia seperti mencari sesuatu.
"Kenapa sayang?" Rian ikut bingung.
"Kamar Roger yang mana, mas." kata Delia.
"Kan dia masih tidur sama kita."
"Kamar kita dimana?" Lagi-lagi Delia bertanya.
"Kalau kamar saja kamu mulai lupa. Jangan-jangan besok kamu lupa sama aku."
"Mas ini gimana, sih? mana mungkin aku lupa sama kamu. Kamu kan ..." Delia memegang erat pucuk kepalanya.
Rian langsung mengambil Roger dan membawa ke kamar. Sejenak dia lama memandang kearah Rian yang keluar dari kamar.
"Kenapa wajah kak Juna beda?" batin Delia.
"Delia!" Rian langsung menahan tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri.
"Delia kenapa,Rian?" tanya Arumi.
"Sepertinya efek penyakitnya tadi." jawab Rian.
Tampak Arumi seperti cuek tanpa membantu Rian. Rian akhirnya meletakkan istrinya di ranjang. Sebelahan dengan Roger berbaring. Dapat dirasakan begitu sesak.
"Tuhan cobaan apa lagi yang kau kirimkan padaku?" batin Rian.
Rian memandang bergantian kearah anak dan istrinya yang masih terlelap. Ada beban berat yang dia rasakan.
"Rian, mama mau ngomong!" panggil Arumi di balik pintu kamar anaknya.
"Iya, ma," Rian beranjak dari kamarnya.
Arumi berjalan menuju teras belakang rumah. Tampak wajah wanita yang sudah melahirkannya begitu kusam. Rian tak ingin berspekulasi. Dia hanya ingin tahu apa yang mau di bicarakan mamanya.
"Ada apa, ma?" Arumi dan Rian telah melabuhkan bokongnya di kursi rotan.
"Mama mau ngomong soal istrimu.
Mama perhatikan dia mulai drama queen akhir ini. Seperti mengeluh sakit saat mama minta memasak. Terus sekarang dia sakit alzheimer. Kamu harus ancang-ancang, Rian."
"Ancang-ancang gimana, ma? kalau dia pernah mengeluh sakit kepala kenapa mama diam saja. Kenapa mama tidak bilang sama aku?"
"Rian, mama melakukan ini supaya Delia nggak manja. Dia harus belajar banyak hal, mengurus kamu, mengurus Roger. Masa semua harus mama. Terus kamu tahu kan Andre itu pernah pedofil sama adiknya Dira. Mama nggak suka dia sering main sama Roger. Nanti nular sama cucuku."
Rian kaget mendengar ucapan mamanya. Tak pernah di sangka ternyata Delia diperlakukan seperti itu.
"Ma, kenapa mama seperti ini! dulu mama merestui kami,kan? sekarang kenapa mama berubah? apa yang merasuki mama?"
"Kamu tahu? menurut weton kalian akan mendapat banyak masalah. Dan mama nggak mau kamu kena sialnya. Mama merestui kalian karena sudah ada Roger."
BRAAAAAK!
Rian mendengar suara pintu tertutup dengan keras. Lelaki itu yakin istrinya sudah mendengar pembicaraan mereka.
Rian menangkap suara isakan tangis dari dalam kamar. Tebakannya benar, Delia pasti mendengar obrolan mereka. Rian tahu kalau pembicaraan mereka menyakiti perasaan Delia.
"Del," Rian masuk menemui istrinya.
"Jadi aku sudah menikah sama kamu, Rian? jadi suamiku bukan Arjuna?"
Rian mencelos mendengar ucapan istrinya.
Jangan sampai, besok dia tidak ingat kamu. Jangan sampai nanti dia ingat sama Arjuna.
Aaaarghhhh!
*
*
*
*
Malam ini Mayka tidak bisa tidur. Bolak balik dia membuka handphone guna memancing rasa kantuknya. Nihil, hasilnya tetap saja dia tak bisa tidur.
Wanita usia 30 tahun tersebut berjalan keluar kamar. Jarak kamar bersebelahan dengan kamar Meyra. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Waktu yang seharusnya untuk istirahat.
Sedikit menggeser pintu, Mayka melihat apakah adik sepupunya itu sudah istirahat. Tampak Tina sedang mengenakan mukena. Memegang buku Qur'an kecil. Senyumnya mengembang, Tina yang dulu menyebalkan sekarang bertobat. Bahkan Mayka merasa iri pada adik sepupunya. Tina masih bisa membaca Alquran sedangkan dirinya sudah jarang mengaji.
Mayka pun meninggalkan Tina yang sedang mengaji. Tubuhnya di daratkan pada karpet kecil yang masih membentang di ruang utama. Suasana rumah yang masih dalam keadaan berduka.
"Kamu belum tidur?" Mayka menggeleng.
"Apa yang mengusik pikiranmu, nak?" Amran duduk bersila di samping putri sulungnya.
"Apa soal turun ranjang itu?" Mayka mengangguk.
"Apa kamu mencintai Feri, Nak?" lagi-lagi dia mengangguk.
"Tapi bukankah dia sudah menolak kamu? menolak permintaan papa untuk turun ranjang sama kamu. Papa pikir kamu harus move on, nak."
"Papa tahu, waktu dulu papa mau menjodohkan aku sama Feri, dia malah kepincut sama Meyra. Saat itu usia Meyra baru 22 tahun bukan. Masih muda untuk menikah. Sedangkan aku yang saat itu sudah 27 tahun tak diliriknya."
"Nak, papa harap kamu mendapatkan lelaki yang benar-benar menerima kamu. Lupakan Feri, papa akan mengenalkanmu pada beberapa lelaki." bujuk Amran.
"Tidak, pa. Aku cuma mau dia. Tidak dengan yang lain. kalau papa tidak mau menuruti permintaan aku. Aku akan bilang ke Tina yang sebenarnya. Aku akan bilang ke dia kalau papa selama ini nggak tulus sama dia. Aku akan bilang..."
Amran sedikit kaget. Ternyata putri sulungnya mempunyai senjata untuk mengancamnya. Namun itu hanya sesaat saja. Amran pun mempunyai ide soal kasus itu.
"Pa,"
"Iya,"
"Aku ada ide, nanti aku minta Tina yang bicara sama Feri. Aku rasa Feri cukup nurut kalau sama Tina."
Amran mengerutkan dahinya. Mayka sepertinya punya satu misi dengannya. Sama-sama memiliki satu tujuan. Dia ingin mengambil hak nya di perusahaan milik Heru. Sementara Mayka ingin memperjuangkan hak nya sebagai pasangan Feri.
"Oke, nanti biar papa saja yang bicara sama Tina."
"Tidak, pa. Biar aku yang ngomong sama Tina. Sebagai sesama perempuan aku yakin dia lebih nurut sama aku." ucap Mayka.
Aku tahu kalau Feri lebih care sama Tina. Entah ini care sebagai teman, atau bisa jadi care sebagai lawan jenis. Semoga saja hanya sebagai teman, karena Tina pernah bilang mereka satu angkatan sekolah. Batin Mayka.
"Kamu istirahat, nak. Ini sudah malam." kata Amran.
"Iya, pa." Mayka pun meninggalkan sang papa dari ruang tamu.
Pagi ini Tina sudah segar seperti biasa. Meskipun masih dalam suasana duka, dia sudah mencoba menerima keadaan. Namun, satu hal yang dia inginkan sekarang. Punya kehidupan mandiri bersama sang adik. Tina tahu pakdenya sangat sayang padanya. Tapi dia tidak ingin merepotkan orang lain. Setelah memasak sarapan untuk keluarga pakdenya, Tina pun menyajikan sarapan di meja makan. Di bantu bibi yang kerja disana.
"Jadi kamu mau kerja?" tanya Amran pada keponakannya.
"Iya, pakde. Kemarin Jamal dapat info dari temannya. Ada lowongan kerja rumah tangga di Jatinegara." kata Tina.
"Kerja rumah tangga?" bude nya sedikit kaget dengan jenis pekerjaan ponakannya.
"Iya, bude. Kenapa?"
"Janganlah, nak. Cari kerja yang kamu bisa pulang cepat. Apa jadi staf kantor saja. Di kantor Alif katanya ada lowongan."
"Bude, aku cuma tamat SMA. Kuliah saja tidak selesai karena keburu menikah. Jadi aku nggak punya skill buat kerja kantoran. Pengalaman aku saja terakhir jadi OB."
"Na, bisa kita bicara." Mayka muncul menarik Tina ke teras depan.
Tina dan Mayka duduk di ayunan kursi di halaman depan. Sesaat keduanya terdiam dalam keheningan pagi. Tina masih menunggu apa yang akan disampaikan Mayka. Sementara Mayka mencoba mengumpulkan keberanian meminta pada adik sepupunya.
"Ada apa, kak?" Tina tidak sabar menunggu suara lainya
"Bisakah kamu menolongku?"
"Apa yang bisa ku bantu kak?" Tina mencoba bersikap tenang.
"Maukah kamu membujuk Feri untuk menerima perjodohan turun ranjang. Aku lihat kamu dan Feri cukup akrab.
Kamu tahu, Na? aku sangat mencintai Feri. Sejak awal kami di jodohkan aku sudah menyukainya.
Kakek kita sudah menjodohkan aku dan Feri sejak kecil. Sayangnya saat perjodohan itu tiba Feri lebih tertarik dengan Meyra. Aku akui kalau Meyra lebih muda dan menarik. Saat itu aku sudah mencoba ikhlas dengan pernikahan mereka.
satu tahun kemudian, Meyra meninggal dunia dalam keadaan hamil besar. Saat itu aku merasa ada setitik harapan, papa menawarkan turun ranjang setelah lima tahun Feri menduda. Kamu tahu, kalau Tante Dewi, mamanya Feri pun menyukaiku. Padahal aku pernah dengar dari staf kerjanya, kalau Feri menyukai salah satu OB di perusahaannya."
Tina sedikit terkejut mendengar ucapan terakhir Mayka. Mungkinkah yang dimaksud Mayka adalah dirinya. Tapi lagi-lagi dia menampik pikirannya. Mungkin memang benar ada OB yang disukai Feri saat dia kerja disana. Tina yakin wanita itu bukan dirinya.
Dulu aku pernah mendengar gosip itu. Tapi siapa wanita itu aku tak tahu dan tidak mau tahu. Karena bukan urusan aku. Aku baru tahu kalau kak Mayka dan Feri sudah di jodohkan sejak kecil. Yah, namanya orang kaya, dikit-dikit pake perjodohan.
Papa dulu pernah bilang kalau aku akan di jodohkan sama anak teman kakek. Tapi sampai sekarang tidak ada ceritanya. Mungkin karena kami jatuh miskin jadi mereka membatalkannya. Siapa dia dan seperti apa dia aku tidak pernah tahu. Karena aku sudah di butakan oleh Glen.
"Na," Mayka mengagetkan Tina yang teringat masa lalunya.
"Iya, kak."
"Bagaimana?" Mayka masih menagih pada Tina.
"Oke, kak. Aku akan temui Feri. Tapi besok, ya. Hari ini aku nggak bisa, kak."
"Hari ini saja. Biar aku antar." Mayka tidak ingin menunda lagi.
"Yasudah kalau begitu. Aku siap-siap dulu."
Tina dan Mayka sudah berdiri di depan kantor polisi. Dia ingin membantu mewujudkan keinginan kakaknya. Sebagai balas budi karena sudah menerima dirinya dan Amar di rumah itu. Walaupun dia rada malas bertemu dengan Feri. Perasaannya masih kesal pada lelaki itu. Keduanya disambut oleh salah satu polisi muda yang mengenal Mayka.
"Na, kakak sepertinya ada urusan. Kamu mau kan menunggu di sini."
"Kakak mau kemana?" Tina kaget Mayka ingin meninggalkannya sendirian.
"Tadi ada pesan dari kantor. Aku disuruh kesana. Lagian kalau Feri tahu ada aku. Pasti dia banyak mikirnya. jadi kamu sendiri yang harus meyakinkan dia."
"Kalau dia menolak bagaimana?"
"Ancam saja, Na. Bilang sama dia kalau tidak mau kamu tidak akan mencabut gugatan kasusnya."
Setelah Mayka pergi, Tina harus sendiri di ruang tunggu. Beberapa saat terdengar suara langkah kaki. Tina menatap sosok yang berdiri di depannya. Kakinya terasa kaku, bahkan untuk bicara pun mulutnya terasa di bungkam.
Ada apa ini? kenapa aku bisa tidak melakukan apapun? kenapa rasanya seperti degupan kencang? tidak Tina, kamu hanya takut saja. Jangan berpikir di luar alur. batin Tina
"Kamu apa kabar?" sapa Feri.
"Aku .. aku ... baik ... baik ... saja. Yah, seperti yang kamu lihat." Tina memaksakan senyum di depan Feri.
"Alhamdulillah. Terus kamar mama kamu bagaimana? apakah dia sudah sembuh?"
"Mama sudah sembuh. Sudah tidak sakit lagi." jawab Tina.
"Jadi apakah yang membuat kamu datang kesini? apa kamu mau mencabut tuntutan itu?"
"Kamu mau bebas, Feri?" Feri mengangguk.
"Ada syaratnya" jawab Tina.
"Apa!"
"Terima kak Mayka sebagai calon istrimu."
Deg! Feri kaget mendengar permintaan Tina. Bagaimana mungkin dia bisa menerima Mayka, hatinya tidak terarah pada kakak iparnya.
"Kalau aku menolak?" balas Feri.
"Kenapa kamu menolak? kurang apa dengan kak Mayka. Dia baik, cantik dan semua yang ada di dirinya cerminan Meyra. Kurang apalagi, coba?"
"Kamu mau tahu apa kurangnya? Disini, Na. Biarpun hati dia baik, cantik dan seperti kata kamu sempurna. Aku tidak punya perasaan apapun sama dia. Hati itu tidak bisa dipaksakan,Na."
"Pikirkan lagi, Feri. Aku janji akan bebasin kamu dari sini. Oh, aku tahu jangan-jangan benar kata orang di kantor, kamu lagi dekat dengan OB disana?"
Feri tersenyum memandang Tina. "Itu kamu tahu? jadi kenapa harus bertanya lagi?"
"Apa kamu tidak ingin tahu siapa wanita itu?"
"Tidak. Bukan urusanku!"
"Yakin?" Tina menatap Feri dengan malas.
"Mau kamu sama siapa pun. Bukan urusanku. Aku hanya ingin menyatukan kamu dan ..." Tina kaget saat tangan itu menarik tubuhnya. Seketika dirinya berada di balik dada lelaki.
PLAAAAAK!.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
🤗🤗
aish, ucapan adalah doa, contohnya saya 12 tahun tak ada apa2 biar orang berbikir akan ada kesialan🤬🤬🤬🤬
2022-09-28
0
MAY.s
Iya jgn sampai. Tambah kacau entar
2022-09-14
0
Asni J Kasim
Yang Feri suka itu kamu Tina
2022-09-10
0