Sudah masuk di penghujung Agustus. Sebentar lagi musim hujan pun tiba, Dira harus mempersiapkan diri untuk kembali masuk kantor setelah hampir dua minggu absen dan pekerjaannya di kendali kan Arjuna, sang suami.
Dari balik punggung yang mulus, sepasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Apalagi melihat sosok itu mulai mengambil sebagian pakaiannya dan pakaian istrinya. Mempersiap semua yang bersangkutan dengan pekerjaannya. Si pemilik mata senang melihat kesigapan istrinya walaupun sedang hamil muda. Si pemilik mata malah tidak ingin melepaskan pelukannya meskipun sang istri merasa risih.
Kamu ingat sayang, dulu dibalik jendela kamar aku selalu melihat pemandangan indah. Menyuarakan perasaan hati. Meskipun aku tahu kamu akan menolakku saat ini.
Kamu ingat sayang, saat aku gundah gulana ketika seseorang hilang tanpa kabar. Kamu yang menguatkan aku untuk mencoba setia. Tapi nyata setelah dia pulang justru hatiku semakin bertaut padamu.
"Mas," suara lembut itu mengangetkan dirinya.
"Iya, sayang." Juna mengeratkan pelukannya di punggung istrinya.
"Aku mau ngantor, boleh kan?"
"Tapi kamu, kan..."
"Aku bosan di rumah, mas. Kalau nggak di kasur ya di ruang tamu. Aku rindu kantor, please, mas izinkan aku kerja." mohon Dira.
"Sekarang mau masuk musim hujan. Kamu nggak boleh capek, sayang."
"Ya, aku saja di rumah udah capek banget. Aku mau punya aktivitas, mas."
"Yasudah, aku ikut kamu ke kantor." Juna mengambil bajunya untuk siap-siap ke kantor.
"Sayang," Juna mengecup bahu kanan istrinya. Dira berbalik menatap wajah tampan yang sudah sah menjadi suaminya.
"Iya, mas." Juna menarik dagu Dira. Menikmati sentuhan bibir Istrinya.
"Maaf, aku tadi mual. Rasanya kalau tidak di dekat kamu mualku makin menjadi. Sayang, aku mau bicara penting, bisa?"
Dira mengangguk. Dia duduk berhadapan dengan Juna di sudut ranjang.
"Ada apa, mas?"
"Maaf, kalau pembicaraan kita sedikit sensitif. Aku cuma mau ajak kamu pindah ke Lembang. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terus menerus. Aku juga selalu kepikiran kamu kalau kita jauh. Jadi ..."
"Mas, jangan sekarang, ya. Tunggu kasus kak Feri ada titik terangnya. Aku juga mau ikut sama kamu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan mama sendirian disini."
"Tapi kan ada Vira." sela Juna.
"Iya, tahu. Tapi kita nggak mungkin andalkan Vira. Dia masih muda, masih belum paham arti tanggung jawab. Aku mohon kamu ngerti, mas."
"Iya, nanti aku bicarakan lagi sama mama dan papa." jawab Juna.
"Terimakasih, mas. atas pengertiannya."
Hari ini matahari masih menyembunyikan sinarnya. Juna dan Dira sudah turun ke bawah. Mama Dewi melihat anak dan menantunya semakin mesra hanya tersenyum bahagia. Dia mensyukuri punya menantu yang baik seperti Arjuna. Keduanya sudah duduk tenang di meja makan.
"Kalian mau ngantor?" tanya mama Dewi.
"Iya, ma." jawab keduanya serempak.
"Wah, kompak sekali. Mama senang lihat kalian seperti ini." puji mama Dewi.
"Juna, bagaimana kondisi pabrik?" tanya mama Dewi.
"Masih begitulah, ma. Sejak tuan Shahab di tangkap aset menurun. Papa mulai sering sakit-sakitan. Beberapa hari yang lalu Tio mengabari kalau banyak hama di kebun teh. Membuat reproduksi teh jadi menurun."
"Yang semangat, mas. Kamu kan sarjana agronomi. Pasti bisa mengatasinya."
"Terimakasih, sayang."
Setelah menyelesaikan sarapan bersama. Dira dan Juna pun pamit menyalami mama Dewi sebagai yang tertua di rumah. Mama Dewi pun mengantarkan anak dan menantunya hingga memasuki mobil. Lama dia menatap pagar seakan ada rindu yang terpendam.
*
*
*
Sore ini hujan sedikit gerimis. Hujan sebagai pembuka awal bulan Agustus. Juna masih berada di Jakarta, sampai saat ini belum terbersit pulang ke Lembang.
Rengekan Dira meminta dirinya untuk tetap di dekatnya. Sejak satu bulan kehamilan Dira. Istrinya menjadi lebih manja.
Sejak hamil Dira menjauhi yang namanya dapur. Katanya pusing dengan aroma gas dan wewangian di dapur. Juna menebak anak mereka laki-laki. Karena laki-laki kan jarang suka di dapur. Tapi apapun itu. Juna menerima apa yang diberi Tuhan. Mau laki-laki, mau perempuan sama saja.
"Mas mau kemana?" tanya Dira melihat suaminya sudah rapi padahal sudah lewat ashar.
"Tadi opa bilang mau ketemu Feri. membicarakan soal tuntutan sidang kasus yang dihadapi Feri."
"Aku ikut, ya." Dira menggelendot manja di dekat suaminya.
"Jangan dong, sayang. Kamu dirumah saja istirahat. Ya kan, nak. Mama kamu makin lama makin manja." Juna mengusap perut Dira.
"Ya kan anak papa." Dira menyahut seakan anaknya yang menjawab.
"Anak mama juga." Juna menjentik hidup istrinya.
"Yang pastinya anak kita,mas." Dira makin mengeratkan gandengannya.
"Yasudah kalau kamu mau ikut. Siap-siap, aku tunggu dibawah." Juna mengecup kening istrinya lalu keluar dari kamar.
Mata Juna memandang kamar di seberang. Kamar yang dulu dia tempati saat masa SMP hingga dewasa. Kenangannya saat mengajari Dira membuat PR matematika. Dira memang lemah di bidang IPA dan matematika.
"Sayang, kok aku malas kemana-mana."
Juna mengerutkan dahinya. Tadi istrinya merengek untuk ikut, sekarang berubah lagi pikirannya. Juna mengendurkan nafasnya, apakah ini salah satu kelakuan ibu hamil, bisa jadi.
"Yasudah, kamu temani aku turun kebawah. Kasihan opa menunggu." Dira dan Juna turun ke bawah. Masih mode manja wanita usia 25 tahun itu seakan tak mau lepas dari suaminya.
"Dasar bumil bucin," rutuk Vira yang geli melihat kakaknya.
"Den, ini ada rendang kikil, makanan kesukaan den Feri." tiba-tiba bibi datang sambil memberikan rantang.
"Bibi yang buat?" bibi mengangguk.
"Terimakasih, Bi. masih ingat kesukaan Feri." Juna mengambil rantang dari tangan bibi.
Sesaat Juna mengangkat telepon dari Jamal.
"Iya, mal."
"Oh ya, selamat, ya. Semoga kamu di terima lamarannya sama Tina."
"Maaf, mal aku nggak bisa menemani. Soalnya aku nggak enak, kan mereka sekarang lawan dari kasus kakak ipar. Pokoknya aku doa kan kamu diterima."
"Siapa, mas?"
"Itu si Jamal yang dulu tempat aku tinggal. Dia mau melamar pujaan hatinya. Dia minta aku ikut, tapi ceweknya sekarang tinggal di tempat Meyra. Apalagi kasus kita lagi berlawanan dengan mereka." cerita Juna.
"Yasudah kita berangkat nanti keburu malam." Opa Han mengingatkan tentang rencana keberangkatan mereka.
Juna dan Opa Han sampai di lapas. Hujan semakin lebat, banyak orang-orang berlarian mencari tempat berteduh.
Sesampainya di lapas, mereka memasuki ruang jenguk. Sebelum memasuki ruang jenguk Juna mampir di mini market di sebelah kantor lapas. Kakinya terhenti melihat dua orang anak merengek meminta makanan kesukaannya dibelikan.
Ibu si anak pun masih berupaya membujuk agar anaknya tak rewel. Alasannya simpel, si anak baru pulang dari dokter gigi. Tentu saja sang ibu melarang anaknya makanan manis.
(Dalam khayalan Juna)
Dalam pandangan Juna sosok itu adalah Dira. Dimana mereka bertiga masuk mini market untuk berbelanja. Dira tampak cantik dengan kaos lengan panjang dan rok sutra dibawah lutut.
Masih dalam rengekan si anak meminta di belikan coklat.
"Mama aku mau coklat" rengek anak lelaki itu.
"Jangan nak, kamu kan baru dari dokter. mama beliin roti keju saja, ya?"
"Nggak mau, aku maunya coklat!" si anak lelaki berguling-guling di lantai.
Juna langsung mendekati anaknya, lalu menggendongnya. "Abang kan baru dari dokter." bujuk Juna.
"Sini papa lihatkan sama Abang." Juna membawa anaknya di luar toko. Melihat orang-orang lalu lalang.
"Abang lihat nenek yang disana." Juna menunjuk kearah seorang nenek yang duduk di dekat mini market.
"Iya, pah."
"Abang tahu, nenek itu tadi mengeluh tidak bisa makan. Karena giginya tidak kuat. Karena semasa kecilnya dia suka makan manis. Abang nggak punya gigi." putranya menggeleng.
"Aku nggak mau ompong."
"Yuk, pa. kita pulang ini sudah selesai belanjanya."
Mereka bertiga melenggang meninggalkan mini market. Layaknya keluarga bahagia mereka saling beriringan jalan.
"Mas Juna," sapa Jaka asistennya Opa Han.
"Oh ya, maaf kamu nunggu, ya.Yuk kita ke lapas." Juna meninggalkan mini market di temani oleh Jaka.
Beberapa saat mereka sudah duduk berhadapan dengan Feri. Opa Han melihat cucunya sangat kurus setelah seminggu berada di lapas.
"Tolong jujur sama opa, apa yang sebenarnya terjadi."
Feri menunduk tak berani menatap Opanya. Dia memang pernah menghancurkan Glen dengan photo aktivitas lelaki itu di clubbing. Namun untuk kehancuran lebih lanjut bukan ulah dirinya.
"Kamu diam berarti memang benar. Opa kecewa sama kamu, nak. Kamu tidak lupa soal ambruknya perusahaan karena ulah papamu."
"Maaf, opa." Feri tidak berani memotong ucapan opa.
"Kamu tahu kalau keluarga Amran akan membawa kasus ini ke meja hijau. Opa malu sama almarhum Triawan. Sebagaimana persahabatan kami rusak karena ulah penerusnya."
"Saat itu Feri tidak tahu kalau itu masih milik keluarga papa Amran. Yang aku tahu perusahaan itu di pegang Glen. Itu saja. Feri tidak sendiri, opa. Aku di bantu tuan Shahab."
"Shahab lagi!" suara opa meninggi.
Juna melihat kemarahan opa Han saat Feri menyebut nama tuan rumah. Entah apa ada kebencian yang mendalam pada pemilik nama itu. Juna juga tidak terlalu paham.
"Opa, sabar. Ini gedung lapas. Ingat dengan kesehatan opa." Jaka menenangkan atasannya.
"Kenapa setiap ada permasalahan selalu ada Shabab yang terlibat. Saat perusahaan kita sempat di ujung tanduk. Kalian malah minta sama Shahab. Bukan sama saya, apa sudah kalian tidak menganggap saya sebagai keluarga lagi." nada kecewa terdengar dari pria paruh baya tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
Asni J Kasim
Shabab itu siapa?
2022-09-10
0
ZasNov
Akhirnya Dira ngantor lagi ditemani Juna.. ☺️
Memang kalau sudah terbiasa kerja, ga bakalan betah di rumah terus..
2022-09-08
1