"Sebentar lagi kita sampai di Jakarta, pak." sahut Jaka asisten pribadi tuan Burhan.
Burhan hanya terdiam menatap gelombang awan putih. Pikirannya berputar pada kasus yang dihadapi cucunya, Feri Andreas. Kasus yang tak pernah di sangka. Ada rasa tidak percaya kalau sang cucu seperti yang dituduhkan.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di Bengkulu, Burhan pun melanjutkan perjalanan ke Malaysia. Sudah beberapa bulan ini kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Maklum usianya yang memasuki kepala tujuh, dimana usia yang sudah masanya dia beristirahat. Namun, dia masih memikirkan siapa yang akan meneruskan pabrik gulanya.
"Pak," sapa Jaka yang ikut penerbangan.
"Iya, Jaka," Burhan memandang pemuda yang sudah 10 tahun menjadi pengawalnya.
"Bapak kelihatan sedih, maaf, pak kalau saya lancang. Tapi saya melihat bapak sedari tadi bermuram durja. Apa bapak memikirkan soal pengobatan di Malaysia? Kalau memang belum selesai kenapa pulang?" kata Jaka.
"Saya rindu cucuku."
Tadi malam Dewi mengabari soal kehamilan Dira. Kabar bahagia setelah sang cucu menikah satu bulan yang lalu. Kedua matanya berkaca-kaca, dia tidak percaya di usia rawan akan melihat kelahiran cicitnya.
"Oh, gitu ya, pak." Jaka kembali fokus dengan majalah yang disediakan maskapai.
"Jaka, apa kamu berniat mencari pasangan? usiamu sudah matang."
Jaka sedikit menunduk, lalu memandang wajah atasannya sesaat.
"Pak, saya ini siapa? saya tahu diri, pak. Mana ada perempuan yang mau sama sopir seperti saya. Mereka pasti punya selera tinggi."
"Ah, kau merendah saja, Jaka. Kau itu tampan, seandainya aku bantu kamu melanjutkan kuliah, apakah kamu mau?"
Jaka hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memang pernah berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya. Tapi kuliah tentu membutuhkan biaya yang banyak. Apalagi dia punya pekerjaan yang menyita waktu, berada di samping tuannya setiap saat. Jaka memandang kaca dari jauh, karena posisi duduknya dekat dengan jalan keluar pesawat.
"Saya mau pulang ketemu keluarga saya, pak.Apa itu diizinkan?"
Burhan pun mengangguk. Dia sadar kalau pemuda di sampingnya punya privasi sendiri. Pesawat mulai berjalan rendah, tampak rumah-rumah terlihat kecil dari atas sana. Semakin lama terlibat dekat.
Tepat jam lima sore, pesawat yang mereka tumpangi mendarat di landasan Bandara internasional Soekarno Hatta.
"Alhamdulillah," ucap Burhan ketika berjalan menuruni tangga dari pesawat.
"Bapak mau pulang ke Bogor?" tanya Jaka.
"Saya mau pulang ke rumah Dewi." jawab Burhan.
Jaka menghubungi orang dari kantor untuk menjemput mereka. Namun, Burhan mengatakan kalau sudah ada yang akan menjemputnya.
"Baiklah, Pak." Jaka membimbing atasannya masuk ke ruang bagasi.
Beberapa saat mereka sudah menyelesaikan Bagasi. Burhan mencari siapa yang akan menjemput dirinya. Tampak beberapa orang membawa kamera, sepertinya ada orang besar yang akan ditunggu. Beberapa saat Burhan melihat seorang wanita berpakaian glamor berjalan keluar.
"Itu siapa?" tanya Burhan pada Jaka.
"Itu Nagita Slavina, istrinya Raffi Ahmad. Bapak tahu Nagita?"
Burhan menggeleng. Dia mana paham tentang dunia entertainment. Lelaki usia 75 tahun itu mengedarkan pandangan ke arah para penjemput.
"Opa!" suara seorang lelaki memanggil dirinya.
"Juna," Burhan berjalan kearah cucu menantunya.
Juna tidak sendiri, dia datang bersama Savira, cucu bungsunya. Keduanya berhambur kearah sang kakek, bergantian menyalami.
"Jaka," sapa Juna.
"Selamat ya, mas Juna. Katanya non Dira sudah hamil."
"Terimakasih, Jaka. Alhamdulillah Tuhan kasih kepercayaan dengan cepat." Juna dan Jaka berjalan sambil merangkul bahu. Keduanya memang dekat saat masih kerja di pabrik gula.
Sementara Vira membimbing kakeknya menuju ke mobil. Cucu dan kakek tersebut saling bercengkrama.
"Cucu opa makin semok aja." Burhan memegang lengan Vira yang semakin berisi.
"Aku kan lagi pertumbuhan opa." jawab Vira tak mau kalah.
"Hoooh, opa tumbuh kesamping." Juna ikut mengganggu adik iparnya.
"Yah, gimana kamu mau dapat jodoh, nak. Yang ada laki-laki pada kabur."
"Opa, aku belum mikir jodoh. Nanti kalau tamat kuliah. Sekarang Vira mau belajar yang rajin, biar bisa membanggakan mama dan opa."
"Opa pegang janji kamu."
Waktu sudah masuk Maghrib, namun mereka masih terkendala dengan kemacetan Jakarta. Burhan pun memandang kearah luar, dimana hujan sudah mengguyur kota Jakarta. Tampak beberapa orang masih asyik berteduh di halte menunggu hujan reda.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, Maghrib pun terlewati, mobil Toyota Fortuner pun sampai di gerbang rumah kediaman Dewi Savitri. Suasana rumah terlihat sepi. Juna turun untuk membuka pagar rumah.
"Assalamualaikum," sapa Burhan setelah turun dari mobil.
Pintu rumah dibuka. Tampak Dira menyambut opa Han dengan senang. Burhan pun mengecup sang cucu dengan penuh haru.
"Jadi ini cicit opa," Burhan mengelus perut Dira yang masih rata.
"Iya, opa. sayang, ini ada kakek buyut datang." sapa Dira sambil mengelus perutnya.
"Mamamu mana?" tanya Burhan.
"Di kamar, opa. mama jarang keluar kamar semenjak kasus kak Feri." kata Dira.
Burhan mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi di kamar yang sediakan keluarga Dewi. Pikirannya menerawang pada masalah yang dihadapi keponakannya. Masalah yang persis pernah terjadi beberapa tahun silam. Seakan devaju menyapa, Burhan tidak habis pikir kenapa sang cucu tidak belajar dari masa lalu. Tapi dia juga belum percaya kalau ini adalah perbuatan Feri.
"opa memanggil saya," Juna muncul di pintu kamar opa Han.
"Opa mau bicara sama kamu terkait kasus Feri." Juna mengendurkan nafasnya.
Beberapa hari yang lalu mama mertuanya begitu down saat dia menceritakan soal kasus Feri. Lalu saat ini dia merasa kembali diinterogasi oleh kakek mertuanya.
"Juna," suara opa Han membuyarkan lamunannya.
"Iya, opa. Maaf saya, tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi yang pasti ada kesalahpahaman yang terjadi antara Feri dan mertuanya." jawab Juna.
"Mertuanya? Amran, maksudnya?" tebak opa Han. Juna hanya mengangguk kecil.
"Perusahaan yang pernah bermasalah dengan Feri, ternyata hasil rampasan. Perusahaan itu dipegang oleh menantunya adiknya om Amran. Feri baru tahu kalau perusahaan itu milik mertuanya saat kasusnya mencuat sekarang." jelas Juna.
"Perusahaan itu milik Heru? kalau iya milik Heru seharusnya yang menuntut anaknya Heru, kalau tidak salah anaknya perempuan."
"Opa tahu soal keluarga mereka?" Juna kaget ternyata kakek mertuanya mengenal keluarga mendiang istrinya Feri.
"Opa dan Triawan bersahabat sejak masa muda. Persahabatan kami pun berlanjut ke perjodohan keluarga. Saat itu Triawan minta perjodohan antara Feri dan juga anaknya Heru. Sayangnya saat Heru meninggal dunia opa tidak sedang di Jakarta. Saat opa kembali keluarga itu sudah tak ada kabar.
Beberapa tahun kemudian opa bertemu lagi dengan Amran. Karena kata Amran, putrinya Heru tidak ada kabar. Maka perjodohan dialihkan ke Mayka. Sayangnya Feri lebih tertarik dengan Meyra yang jauh lebih muda. Hingga akhirnya mereka menikah."
"Jadi perempuan yang sebenarnya mau di jodohkan dengan Feri adalah Tina, Opa."
"Kamu tahu anaknya Heru?"
"Tahu, opa. Tina itu teman sekolah saya dan Feri." jelas Juna.
Juna mengelus dadanya. Benar-benar cinta itu menjadi suatu misteri.
"Juna, besok temani saya untuk menemui Feri dan Amran."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
semangat pagi 😍
2023-05-11
0
auliasiamatir
ternyata saling bertaut yah
2022-09-24
0
🤗🤗
aihhh🤦♀️🤦♀️🤦♀️
2022-09-20
0