Jam pulang kerja sudah di depan mata. Bella merapikan semua barangnya dan di muat ke dalam tas ransel.
“Gue duluan.” Pamit Bella pada Melisa dan Rini.
Dua wanita itu hanya mengangguk dan kembali berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Keluar dari ruangan ia mendapati seorang wanita yang tengah berusaha menelpon seseorang. Beberapa kali menaruh ponselnya di telinga lalu mendengus kesal.
Tunggu, Bella merasa wajah Wanita ini sedikit familiar.
“Lagi nyari siapa mba?” sapa Bella sambil berusaha mengingat.
“Ini gue nelponin Amara tapi gak di angkat. Padahal harus ketemu orang Casting.” Mukanya terlihat panik karena memang jam kerja sudah habis.
“Oh, manager-nya Amara ya?” akhirnya Bella ingat.
“Iya… Tunggu, rasanya gue tau lo deh.” pembawaan wanita bernama Lisa ini memang sangat tegas.
“Hehehehe… Bella… “ Bella mengulurkan tangannya.
“Pasti mba liat muka saya di dinding kamar Ara atau di laptopnya.” Tebak Bella.
“Hahahaha iyaaa… Akhirnya kita ketemu langsung.” Lisa membalas uluran tangan Bella.
Tentu saja, foto Bella terpajang di setiap sudut apartemen Amara. Mereka berteman sudah cukup lama dan ada banyak kenangan yang mereka abadikan lewat foto. Amara yang sangat suka berfoto pasti memajang atau mengunggahnya dimanapun.
“Tumben kesorean datengnya. Kayaknya sih orang casting udah pada pulang mba.” Bella melihat jam tangan yang melingkar, sudah lebih dari jam 5 sore.
“Iyaaa, rencana mau ketemu mas Ferdi bareng Amara, eh nih anak malah gak bisa di hubungi. Penting banget padahal.“ Keluh Lisa.
Ternyata benar yang diceritakan Amara, manager-nya yang sekarang sangat keibuan.
“Coba cek sosmednya, Amara selalu update kan?” ada Inka yang tiba-tiba bergabung.
“Inka.” Imbuhnya seraya mengulurkan tangan, mengajak berkenalan.
“Lisa. Eh iya juga yaa… Kenapa gak kepikiran tadi.” Sebentar saja mereka saling menjabat tangan sebelum akhirnya Lisa sibuk dengan ponselnya.
“Got you!” serunya.
“Nih anak emang gak bisa di bilangin. Udah di bilang jangan pergi, eh malah tetep pergi.” Keluh Lisa. Sepertinya manager baru ini mulai kewalahan dengan kelakuan Amara yang sering seenaknya.
“Kemana?” tanya Bella dan Inka bersamaan.
Lisa menunjukkan layar ponselnya. Sebuah foto tiket pesawat yang di unggah Amara serta sebuah koper menunjukkan kalau ia memang bepergian. Surabaya, nama kota yang di tuju Amara.
“Di private tapi manager-nya masih bisa liat. Lawak, kurang pro.” Ledek Inka saat melihat postingan Amara. Nada suaranya setengah meledek, membuat Bella menyikutnya.
Inka memang begitu, kalau sejak awal bertemu ia sudah tidak terlalu suka dengan seseorang, komentarnya akan selalu sinis.
“Hahahaha iyaa… Mau ngumpet malah ketauan.” Lisa jadi tertawa geli.
“Ya udah, gue permisi dulu yaaa… Makasih loh udah bantu. See you…” Pamit Lisa.
"Iya mba.. Sama-sama..." sahut Bella dan Inka bersamaan.
Terlihat Lisa mencoba menghubungi Amara lewat akun media sosialnya. Amara yang rajin update, pasti akan sangat mudah melacaknya karena tidak pernah jauh dari benda pipih itu.
Bella jadi penasaran sedang apa Amara di Surabaya. Ia ikut membuka story Amara, tapi postingan tadi malah tidak muncul di berandanya.
“Dih nih anak, malah gue yang di private.” Dengus Bella.
“Hahahaha… Salah nge-private dia.” Inka jadi terkekeh.
“Iya kali yaaa.. Mau nge-private Lisa, malah gue.” Bella mencoba menyimpulkan.
“Makanya nama akun lo jangan Lalalabella, jadi ketuker kan.”
“Iya iyaaa, bawel lo.” timpal Bella. Ucapan Inka memang benar. Namun bukan itu yang ada di benaknya saat ini.
Untuk beberapa saat ia berpikir, ada apa Amara ke Surabaya.
“Emmm rasanya gue tau kenapa Ara ke Surabaya.” Bella jadi senyum-senyum tidak jelas.
“Ngapain?” Inka mendekat pada sahabatnya, ia yakin Bella mau membisikinya.
“Mungkin mau nyusul mantannya, Niko. Hah, semoga aja mereka baikan. Soalnya Ara keliatan bahagia banget waktu sama Niko.” Ungkap Bella penuh harap.
“Eeuuhh… Mau siapapun yang datang, mantan tetap pemenangnya yaaa…”
“Salaaahh… cinta pertama tetap pemenangnya!” sahut Bella.
“Hahahaha… Baru kali ini moto kita beda.”
“Ya sekali-kali beda gak apa-apa kan. Bukti kalau memang ada yang namanya multi persepsi. Eh tunggu,” Tiba-tiba saja Bella membalik ranselnya.
“Ih anjirrrr ngagetin aja lo! Ada apaan sih?” Inka sampai terlonjak.
“Inspirasi. Gue ada insprasi.” Ucap Bella dengan tergesa-gesa. Ia menyalakan tabnya dan mencari file script yang ia tulis.
“Mau lanjut sekarang?” Inka mengernyitkan dahinya sendiri melihat tingkah Bella.
“Iyaaa… Emang kenapa?” Ia duduk di bangku yang ada di depan ruangannya.
“Jangan di sini, kita ke tempat lain.” Inka menarik tangan Bella agar urung duduk.
“Eeehhh Inkaaa. Lo kebiasaan deh main Tarik aja.” Protes Bella.
“Hahahahha… Udah ngikut aja! Bawel lo!” si calon kakak ipar memang susah di tolak.
Sebuah café menjadi tempat yang Inka tuju. Mereka masuk ke dalam dan ternyata tidak ada kursi tersisa.
“Anjiirrr antri banget!!” keluh Inka saat melihat panjangnya antrian pemesanan.
“Yaa lagiii, lo dateng ke café yang baru buka, pasti antri lah. Gini caranya sih, bisa keburu lupa gue sama,…” suara Bella jadi memelan saat ia melihat seseorang di café tersebut.
“Kita balik yuk!” Bella menarik tangan Inka untuk pergi.
“Dihh ogah akh!” Inka mengibaskannya. Biasanya Bella yang lebih sabar dengan antrian macam ini tapi kali ini malah meminta pulang.
“Katanya gelato di sini paling enak.”
Bella tidak memperhatikan Inka yang terus berceloteh. Ia masih bertatapan dengan laki-laki yang lebih muda darinya dan tengah tersenyum padanya.
“Noh bangku kosong, tunggu bentaran di sana. Nanti kita cari tempat yang nyaman buat makan gelatonya.” Inka mendorong Bella agar beranjak.
Gadis itu menurut saja dan segera memalingkan pandangannya dari laki-laki muda itu.
Terduduk di bangku dengan perasaan tidak menentu. Ia menyalakan tab nya, hendak menulis tapi seketika pikirannya kosong. Inpirasi yang tadi beterbangan di rongga kepalanya menghilang, berganti suara bising yang hanya bisa ia dengar sendiri. Gaduh sekali isi pikirannya.
“Pesanan atas nama kak Bella Andini Fauziah cantik.” Panggil seorang pelayan.
Bella langsung tercengang. Mendengar namanya yang di panggil membuat perasaannya semakin tidak menentu.
“Pesanan atas nama kak Bella Andini Fauziah cantik.” Lagi panggilan itu terdengar.
Bella menoleh ke arah suara dari anak lelaki muda lainnya yang memanggil namanya.
“Maksudnya buat atas nama Bella yang itu?” Inka bersuara di antara orang-orang yang mengantri. Orang-orang jadi menolehnya.
“Iya kak.” Sahut anak muda di samping pelayan itu.
“Hah, perasaan gue masih ngantri deh. Nih si Bella gimana cara pesannya sih?” gumam Inka dalam hati sambil menghampiri pelayan cafe, menghindari tatapan sinis pembeli lain. Dipandanginya dua gelato di tangan.
“Ini udah di bayar?” lagi Inka bertanya.
“Sudah kak. Kami ada kursi kosong di sebelah sana. Selamat menikmati.” Tunjuk pelayan itu.
“Ehh tunggu deh, kalian gimana ceritanya kenal sama Bella temen gue? Pake tau nama lengkapnya segala. Di tambahin cantik lagi. Perasaan dia belum pernah ke sini deh.” Inka jadi tersadar dengan kejanggalan saat ini.
“Anggap aja secret admirer kak.” Timpal lelaki muda yang kembali memandangi Bella.
“WWUUAAHHHH bestie gue punya secret admirer… Okeeyy yang mana secret admirer-nya Bella?” Inka menatap kedua lelaki muda itu bergantian. Exciting sekali wajahnya.
“Kan secret kak.” Timpal salah satu di antara keduanya.
“Eh iya juga yaaa… Hahaha… Makasih deh. Gue bakal sering-sering datang kemari. Apalagi ada brondong-brondong cakep kayak kalian. Makasih yaa…”
Inka pun segera pergi menghampiri Bella. Ia mengajak Bella duduk di kursi yang di tunjukkan pelayan tadi. Sementara laki-laki muda itu hanya tersenyum saat Bella kembali menolehnya.
“Habisin dulu, terus nulis, baru kita pulang.” Ulti Inka.
“Astagaaa Inkaaa, gue mau pulang sekarang…” rengek Bella dalam hatinya.
*****
Menulis dan berimajinasi adalah dua hal yang Bella lakukan saat ini. Sudah lewat tengah malam, namun Bella masih terduduk di bangku taman balkonnya di temani secangkir kopi yang membuatnya terus terjaga.
Sejak sore tadi, otaknya tidak berhenti berpikir. Jalinan cerita terus bergulir dari satu part ke part lainnya. Sudah ribuan bahkan jutaan kata yang ia tulis. Tidak ada rasa kantuk yang datang, selain karena ia meminum kopi juga karena pikirannya sedang sangat fokus.
Di ruang televisi ada Devan yang juga sedang memandangi layar laptopnya. Ia tengah membaca detail script yang di tulis Bella.
“Penulis script dan sutradara harus memiliki persepsi yang sama terhadap sebuah cerita yang akan di tampilkan agar pesannya masuk dan bisa di nikmati.” Kalimat itu yang menjadi pegangan Bella dan Devan saat ini.
Pada beberapa bagian, Devan tersenyum sendiri saat ada part kocak yang menurutnya cukup lucu. Ia membayangkan bagaimana ia memvisualkan adegan tersebut. Cara penulisan Bella yang runtut dan apik memang tidak salah kalau di banggakan oleh Eko. Mungkin ini yang membuat Eko selalu jatuh hati pada setiap synopsis yang Bella buat apalagi kalau sudah menjadi script seperti ini.
Devan jadi memperhatikan Bella dari kejauhan. Bias cahaya dari layar laptop membuat wajah Bella terlhat jelas. Gadis itu sedang tersenyum, mungkin ada part yang membuatnya terharu atau gemas sendiri. Devan jadi membayangkan, bagaimana jika seorang Bella yang expresif memerankan adegan yang di tulisnya.
“Akh ngawur!” rasionalnya ikut berbicara.
Tidak di pungkiri, dari tulisan Bella, Devan jadi mengetahui banyak hal tentang gadis ini. Pribadi Bella yang tidak ia duga awalnya ternyata sangat komplek.
“Pak sutradara, beberapa hari ke depan, gue izin ngerjain script di rumah atau di luar kantor yaa… Gue perlu penyegaran dan inspirasi.” Pintanya beberapa jam lalu.
“Hem,” hanya itu jawaban singkat dari Devan.
Harusnya ia bisa berbicara dengan lebih banyak saat kesempatan itu ada. Tapi sepertinya ia bukan orang yang opportunis, banyak kesempatan yang ia lewatkan begitu saja untuk berbicara lebih dengan Bella.
“Aarrgghh leher guee…” rasa pegal mulai sangat Bella rasakan.
Rasa jenuh akan melihat barisan huruf yang membuat penglihatannya seolah bergaris-garis saat memejamkan mata, membuatnya harus berhenti sejenak.
Ia memandangi langit malam yang tidak terlalu gelap menjelang dini hari. Seperti masih ada barisan huruf yang di ketiknya tergambar di langit.
“Mata gue mulai lelah.” Sedikit mengucek matanya yang terasa perih.
Ia menggeliat dan menguap cukup panjang. Haaahh, nikmat rasanya.
“Lo masuk dulu, udaranya dingin banget.” Ujar Devan yang berdiri di pintu seraya bersidekap.
“Lo kenapa gak tidur? Masih baca?” Bella membalasnya dengan pertanyaan.
Devan tidak menjawab. Ia beranjak menuju meja dan mengambil laptopnya.
“Duluan.” Suara bass-nya makin terdengar berat di malam seperti ini.
“Hem,..” berganti Bella yang menyahuti pendek.
Badannya sudah lelah dan ia memutuskan untuk masuk kamar.
Kasur, tempat ternyaman untuk ia tempati saat ini. Sambil membaringkan tubuhnya, Bella mengecek ponsel yang sedari tadi ia abaikan. Ada beberapa pesan masuk.
Inka, “Gue baru tau kalau lo punya secret admirer. Rangga tau gak?” miss kepo ini masih saja mengirimkan pesan tidak penting selarut ini.
“Kalau judulnya secret admirer, lo pikir gue bakal tau? Gue bukan cenayang Ka.” Pesan balasan itu Bella kirim. Belum di baca, kemungkinan Inka sudah masuk ke alam mimpinya.
Bang Romy, “Belskyyyy… Gue kangen lo!!! Gak ada yang ngirimin gue bandrek kalo kerja malem begini.” Teman satu tim di departemen artistic rupanya masih merindukannya. Harus Bella akui, ia pun merindukan orang-orang kocak itu.
“Selesai project ini, kita healing yuk bang. Bareng anak-anak trachea.” Balas Bella. Trachea adalah sebutan untuk tim kreatif mereka.
Sudah terkirim, namun belum di baca juga. Mungkin dia pun sudah tidur.
My R, “Pertama kali aku nyanyiin lagu yang aku tulis sendiri.” Caption pada video yang di kirimkan Rangga padanya.
Dengan antusias Bella memutar video itu. Terlihat suasana di panggung saat Rangga tampil. Suara riuh penonton menyambut suara Rangga yang syahdu. Ia memang selalu keren, tampilannya yang maskulin dengan keringat di wajah dan lehernya membuat kekasihnya itu terlihat semakin hot.
Beberapa kali Bella tersenyum riang dan menciumi layar ponselnya, membayangkan kalau yang ia kecup adalah wajah kekasihnya.
“Proud of you, Ga… Aaaaakkk Kamu yang terbaik. Gak salah aku jadi fans garis keras kamu. Lagunya bagus banget.” Balas Bella dengan emot hati sampai dua baris.
Sayangnya baru terkirim saja. Sepertinya ponsel Rangga mati karena kehabisan baterai.
“Kangen banget sama kamu yang…” gumam Bella sambil mendekap ponselnya di dada. Ia meringkuk sambil berguling seperti anak kecil yang kesenengan. Imajinasinya membayangkan Rangga ada di sampingnya dan menatapnya dengan lekat.
“I love you yang…” lirihnya lagi.
Beberapa saat Bella terhanyut dalam kerinduannya. Membayangkan Rangga ada di hadapannya saja ternyata tidaklah cukup. Rasanya ia ingin segera bertemu.
“Sabar Bell, besok dia pulang. Sabaaarrr…” Bella jadi mengelus dadanya sendiri.
Berniat menghapus imajinasinya tentang Rangga, ia kembali membaca pesan yang masuk.
Ibra, pengirim pesan terakhir yang belum di bacanya. Bella menghela nafas dalam saat melihat nama itu ada di dalam daftar pengirim pesan. Sambil menghembuskan nafasnya perlahan, Bella membuka pesan itu.
“Lo selalu tau dimana gue berada.” Itu baris pertama yang di baca Bella lengkap dengan emot senyum.
“Gue kerja paruh waktu di café tadi. Gue juga udah daftar kuliah. Gue harap gue bisa lulus arsitektur di UI. Lo gak keberatan kan?“ itu baris berikutnya yang di kirim Ibra.
Bella hanya termangu. Entah seperti apa ia harus membalas pesan yang di kirimkan Ibra. Aaarrgghhh lagi-lagi ia harus memikirkan remaja yang beranjak dewasa ini. Sungguh, ini cukup menyiksanya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Ririn
amara nyusul rangga.. dasar ulet keket
2023-04-08
1
Bunda dinna
Rangga sepertinya ada main sama Amara,kirim video.nya ke Bella cuma buat mengalihkan perhatian Bella saja
Story di hide ke Bella saja..kentara
2023-02-09
1
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
duh jadi curiga sama rangga dan amara
2023-02-06
1