“Bye Belsky….” Ujar tim Bella bersamaan. Mereka melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan, setelah tadi saling berangkulan.
“Byee… Hati-hati di jalan yaaa…” balas Bella.
“Makasih banyak ibu bos kece, gue bakal kangenin kiriman bandrek lo.” Seru Roni dengan semangat.
Bella membalasnya dengan senyuman, sungguh ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ternyata berpisah dengan tim yang selama ini begitu solid, sangatlah menyedihkan. Seperti ada bagian tubuh yang hilang.
Tim Bella pulang bersama-sama dengan mobil operasional. Sementara Bella masih menunggu sang kakak yang akan menjemputnya.
Di luar café kini Bella berada. Ia memandangi layar ponsel yang menampilkan foto kebersamaan mereka untuk terakhir kalinya. Senyum mereka begitu ceria walau tidak bisa menutupi kesedihan karena harus berpisah.
Bella sudah bekerja di PH ini sejak ia kuliah semester 5. Dari awalnya ia melamar sebagai mahasiswi magang, dengan berbekal sebuah synopsis cerita yang ia ajukan sebagai salah satu kemampuannya di bidang ini. Siapa sangka, ia langsung di terima bekerja di PH.
2 tahun pertama ia di tempatkan di departemen penyutradaraan. Berkontribusi banyak dengan membuat cerita-cerita pendek untuk di jadikan mini seri, hingga suatu hari ia memutuskan untuk menulis sebuah script sinetron yang membuatnya malah tenggelam dalam cerita hingga membuatnya berada pada kondisi tidak nyaman secara psikologis.
Ia terpuruk. Beberapa hari mood-nya hancur karena script yang ia tulis sendiri. Sejak saat itu Bella keluar dari departemen penyutradaraan dan bergabung dengan departemen Artistik untuk menyegarkan mentalnya.
Satu tahun di departemen artistic, ia dipercaya menjadi art director. Ia mengatur semua kegiatan di departemen tersebut. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan hingga akhirnya hari ini ia menyetujui untuk di pindahkan kembali ke departemen penyutradaraan.
Seharian ini ia memikirkan kepindahannya ke departemen penyutradaraan. Melihat teman-temannya yang berlalu pergi, membuatnya terduduk sendirian di depan café. Berpikir, apa ia benar-benar bisa berada di departemen ini lagi. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Seperti dejavu, menulis Script, pernah menjadi ketakutan sekaligus kelemahan Bella. Karena saat menulis, ia tidak hanya melibatkan syaraf-syaraf di otaknya untuk berpikir, ia pun melibatkan psikologis dan mentalnya. Membuat cerita yang panjang dan detail, sedikit banyak membuat emosinya terbawa hingga ada rasa tidak nyaman saat melanjutkannya.
Tapi kali ini, seseorang yang membantunya bisa berdiri tegak, sedang membutuhkan bantuannya. Ya, Eko. Laki-laki yang membawanya ke dunia industri film. Membuatnya bisa mengumpulkan pundi-pundi uang yang cukup saat harus melewati kesulitan di usia muda.
Di tinggalkan oleh seorang ayah di usianya yang baru akan menginjak 17 tahun, bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak hanya psikisnya yang terguncang, kondisi ekonomipun tidak stabil. Saras harus bekerja membanting tulang sebagai penjahit untuk memenuhi kebutuhannya. Ozi bekerja sambil kuliah dan Bella pun melakukan hal yang sama untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Benar, laki-laki itu kini memerlukan bantuannya. Bukan untuk dirinya pribadi tapi bagi orang-orang yang saat ini menggantungkan hidupnya di PH ini. Apa jadinya jika PH yang membuatnya bisa bertumbuh kini harus gulung tikar?
“Lo bisa Bell, gue yakin lo pasti bisa.” Ucapan itu yang beberapa kali di ulang Inka untuk menguatkannya.
Bella hanya bisa mengeratkan tautan jemarinya satu sama lain. Memejamkan matanya seraya menghela nafas dalam untuk membulatkan tekadnya kalau ia bisa menghadapi rasa takut itu.
“Tet!! Tett!!” suara klakson mobil menyadarkan Bella dari pikirannya yang dalam.
Saat menoleh, ternyata Ozi yang kini melambaikan tangannya pada Bella.
Lantas Bella bangkit dan beranjak mendekat.
“Udah lama nunggunya?” tanya Ozi saat melihat Bella dengan wajahnya yang lelah.
“Menurut lo!” sengitnya. Ia duduk di kursi penumpang samping Ozi.
“Jangan ngambek-ngambek, nih buat lo!” disodorkannya satu es krim rasa coklat.
Mobil melaju dengan santai membelah jalanan ramai ibu kota. Lampu-lampu menyala indah di depan mata. Dari spion tengah, Ozi memperhatikan adiknya yang tampak melamun sambil memainkan es krim dengan sendoknya.
“Kenapa? Itu ada choco chip-nya loh! Kesukaan lo banget kan?” tanya Ozi.
Satu suapan di ambil Bella dengan malas.
“Kenapa lo gak bilang?” tanyanya sambil menusuk-nusuk es krim dengan sendoknya. Menatap Ozi dengan sinis.
Ozi tersenyum kecil lantas mengusap kepala Bella yang di tepis oleh pemiliknya.
“Kalian satu departemen sekarang?” ia memilih balik bertanya.
“Basa basi!” dengus Bella.
“Dia laporan sama lo? Sok penting banget!” imbuhnya.
Memalingkan pandangan dari Ozi dan memilih memandangi lampu jalanan seraya mengigiti sendok es krim.
Ozi menggeleng. “Ngomong aja jarang, mana ada dia lapor.” Sahutnya santai.
“Terus lo tau dari mana?” akhirnya suara Bella meninggi. Menurutnya tidak mungkin Devan tidak laporan pada kakaknya.
“Gue kan cuma nanya berdasarkan ekspresi bete lo. Lagian gue juga gak tau kalau dia beneran bakal nerima tawaran PH lo. Jadi ya gue anteng-anteng aja.”
“Terus ngapain dia pake pulang segala? Bukannya udah enak tinggal di LN dan temenan sama singa putih? Daripada di sini, ketemu gue mulu terus sekarang malah kerja bareng gue.”
“Pergi seenaknya terus balik lagi juga seenaknya.” Gerutunya.
Bella menusukkan sendoknya ke es krim berulang dengan keras. Seleranya hilang untuk menikmati makanan manis itu.
“Kalau lo peduli sama alesannya, ya tanya lah sama orangnya.” Timpal Ozi, tidak terusik dengan kekesalan Bella.
“MALES!” tolak Bella tegas.
Lantas Ozi terkekeh melihat adiknya bersidekap dengan wajah cemberut.
“Tuh ada minuman buat lo, biar gak sakit perut sama mood lo gak berantakan.” Ia menujuk dashboard mobil dengan sudut matanya seraya mengusap kepala Bella dengan sayang.
Bella membukanya dengan malas. Ternyata minuman untuk memperlancar menstruasinya. Ia memainkannya dan enggan meminumnya.
“Gue perhatiin tamu lo belum dateng, Lo gak ngapa-ngapain kan sama pacar lo?!” selidik Ozi. Ia melirik Bella dari spion tengah. Sang adik hanya mendelik dengan kesal.
“Lo pikir gue cewek apaan?!” satu sikutan mendarat di lengan Ozi.
"Hahahaha..." Ozi tertawa lega.
Terjawab sudah kecemasannya. Jawaban pendek dan respon Bella itu cukup untuk membuatnya tidak berpikir macam-macam tentang hubungan Bella dan Rangga.
Lagi, ia harus percaya kalau Bella bisa menjaga kehormatannya di tengah trend anak muda zaman sekarang yang kerap membuatnya khawatir atas Bella. Terlebih Bella sudah berpacaran sangat lama dengan Rangga. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang laki-laki saat sudah berhubungan sangat lama dan dekat dengan seorang wanita. Dan hal itu membuatnya semakin cemas hingga terpaksa harus meminta Bella untuk segera menikah.
Tapi sepertinya, hubungan adiknya ini belum mengarah ke jenjang yang lebih serius. Ketakutan Bella di permainkan menjadi alasan lain yang membuat Ozi semakin over protective.
“Ni apaan?” pikiran Ozi teralihkan saat Bella memegang sebuah botol putih di tangannya.
Ia tampak serius membaca label di botol tersebut.
“Paracetamol!” seru Ozi seraya merebut obat di tangan Bella. Dengan cepat ia memasukkan botol itu ke dalam sakunya.
“Santai dong! Gak gue minta juga kali.” Dengus Bella. Kesal juga melihat respon Ozi seperti itu.
“Ya dari kecil kan lo paling doyan minum obat. Sampe semua obat lo kira vitamin.” Ledek Ozi yang tersenyum enteng.
“Yeeee… Yakali gue masih bocah. Resek lo!” perkataan Ozi membuatnya terbawa pada kejadian saat Ia kecil. Ia sempat meminum beberapa butir obat tambah darah karena bentuknya yang lucu dan warnanya yang cantik. Beruntung tidak ada akibat yang serius pada kesehatannya.
“Lo sakit gak bilang-bilang sih?!” ia menempatkan punggung tangannya di dahi Ozi, membuat sang kakak tersenyum.
“Orang sedia obat, bukan berarti dia selalu sakit dan selalu minum obat itu.” di tepuknya tangan Bella yang ada di dahinya, agar turun.
“Awh!” Bella segera menurunkan tangannya. Kakaknya yang satu ini memang sulit di perhatikan. Katanya geli sendiri kalau Bella yang cuek terus mendadak perhatian padanya.
“Sedia obat-obatan di mobil juga kan harus. Malah ada ketentuan harus ada kotak P3K. Di mobil lo ada gak?”
Bella mendelik sebal, kesal juga mendengar Ozi meledeknya dengan mobil. Tentu saja tidak ada kotak P3K di mobilnya. Kalau di tanya peralatan band, ya ada. Karena sampai saat ini mobilnya masih di pakai untuk operasional band Rangga.
Akh sudah lah, mengingat hal itu membuatnya tidak nyaman.
“Lo terlalu ndeso. Nganggap paracetamol adalah kunci buat semua penyakit.” Balas Bella seraya menyilangkan tangan di depan dada.
“HAHAHAHAHA…” Ozi malah tertawa. Di raihnya kepala Bella untuk ia usap dengan kepalanya hingga bergesekan.
“Iissshhh apaan sih lo! Gue bukan bocah!” tolak Bella seraya mendorong tubuh Ozi menjauh.
“Hahahahaha… Lo masih tetep bocah buat gue.”
Bella hanya mendelik lantas memilih melihat keluar jendela sambil tersenyum mengingat tingkah Ozi. Ozi memang selalu bersikap manis seperti itu. Bella pikir, wanita yang kelak menjadi pasangan kakaknya, tentulah seseorang yang sangat beruntung. Mendapat perhatian ekstra dari Ozi, mendapat perlakuan manis layaknya seorang ratu dan hal menyenangkan lainnya yang mungkin tidak bisa di dapatkan oleh kebanyakan wanita dari pasangannya, termasuk dirinya.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Ozi penyayang sama keluarga dan protektif sama Bella,wajar lah satu2 nya pria di dalam keluarga
2023-02-08
0
Becky D'lafonte
pengen punya kk jadinya
2023-01-09
1
Chybie Abi MoetZiy
💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞
2022-09-01
3