POV Devan
“Bella udah banyak berubah.” Kalimat itu masih jelas terngiang di telingaku saat aku sampai di rumah ini.
Dan aku memang jelas melihatnya, kalau Bella banyak berubah.
Bella kecil yang dulu aku kenal sebagai gadis yang pendiam, tenang, selalu tersenyum dan suaranya yang lembut dengan kata-kata yang tertata saat dia bicara, sangat jarang dimiliki anak kecil seusianya dulu.
Saat ini Bella yang aku lihat adalah, seorang gadis yang sensitive, selalu memikirkan orang-orang yang dianggapnya penting dalam hidupnya dan kadang terjebak dalam pemikirannya sendiri. Dia selalu terlalu fokus dalam suatu hal hingga melupakan sekelilingnya.
Dan yang tidak aku duga adalah, Bella tumbuh menjadi wanita yang terlalu mandiri. Sulit untuk mengimbanginya. Benar yang Ozi katakan, Bella sulit di atur karena dia punya pemikiran sendiri.
Entah apa yang merubahnya. Mungkin waktu atau mungkin banyaknya pengalaman yang dia lewati saat aku berada jauh darinya.
Hingga saat ini, Bella masih terlihat kesal saat melihatku. Mungkin karena dulu aku pergi tanpa pamit. Aku yang tidak pernah membalas surat-suratnya atau aku yang tidak pernah memberinya kabar apapun.
Dia masih marah, ya pasti sangat marah. Sayangnya, dia masih belum menemukan alasan untuk melarangku datang ke rumah ini hingga akhirnya ia hanya membuat batas.
Aku jadi teringat saat-saat dulu aku meninggalkan Bella tanpa memberinya alasan. Dia mengejarku ke bandara tepat disaat ia harusnya merayakan ulang tahun dengan teman-teman sekolahnya.
"Kak Devan, jaga diri baik-baik yaaa... Aku akan selalu ngabarin kakak, kakak jangan lupa kirim kabar sama aku. Nanti libur sekolah aku nyusul kak Devan ke Singapore. Dadaaaaahhhh..." Itu kalimat terakhir yang dia ucapkan saat menemuiku di Bandara.
Aku Devan kecil, saat itu memang sangat Egois. Aku berangkat keluar negeri tepat di hari ia berulang tahun.
Kata Ozi, dia sudah menata rumah dengan cantik, menempatkan dua kursi di depan kue ulang tahun karena kami berulang tahun dengan dua lilin angka di tanggal yang sama dengan jumlah usia yang berbeda.
Aku memutuskan pergi tanpa pamit. Jika aku pikirkan sekarang, itu kesalahan terbesarku. Aku sangat pengecut.
Tapi Sungguh aku terpaksa saat itu. Aku benar-benar terpaksa pergi dengan cepat meninggalkan Indonesia. Aku tidak menjelaskan apa-apa karena aku tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa kondisiku saat itu. Sementara Bella masih terlalu kecil untuk mengerti masalahku.
Kesalahan kedua terbesarku adalah, aku tidak pernah mengabarinya apapun. Atau mungkin sengaja tidak mengabarinya. Aku hanya diam-diam mencari kabar tentangnya dari Ozi. Ozi seperti paham kalau aku harus sedikit menjaga jarakku dengan Bella.
Dan Bella benar, hingga hari ini aku malah belum meminta maaf untuk semua kesalahanku.
Apakah sekarang semuanya sudah terlambat? Ataukah masih ada kesempatan?
“Sekarang, lo cuma partner gue di tempat kerja. Gak perlu ngerasa ada kedekatan lebih apalagi hubungan yang khusus. Lo juga gak perlu bilang sama orang lain kalau kita saling mengenal lebih dari itu apalagi bilang kalau kita tinggal serumah.”
Dia langsung mengultiku saat dia memutuskan bersedia berada di departemen yang sama denganku. Mungkin aku memang pantas di perlakukan seperti itu.
Namun, ada satu hal yang tidak berubah darinya, imajinasinya. Aku sampai terkagum-kagum melihat synopsis yang dibuatnya untuk film yang akan kami garap. Setelah membaca sinopsisnya, aku jadi memperhatikan, apa benar Bella yang aku lihat adalah Bella yang menulis synopsis ini?
Synopsis yang dia buat benar-benar di luar dugaanku. Aku seperti masuk ke dalam cerita yang sebenarnya baru menggambarkan 40% dari proyek yang kami buat. Aku jadi membayangkan, Bella yang berperan sebagai tokoh di cerita yang dia buat. Jauh berbeda 180 derajat.
Ya, itu lah Bella. Gadis yang selalu membuatku berdecak kagum baik sejak dulu ataupun sekarang. Dia tumbuh menjadi wanita yang hebat dan tengah meraih mimpinya yang sejak dulu selalu ia ceritakan.
Dan Bell, kenapa bisa aku begitu bodoh membiarkan banyak moment berlalu hingga aku nyaris tidak mengenali kamu?
“You ok bro?” tanyaku, saat masuk ke dalam kamar dan melihat Ozi masih terbaring di atas tempat tidur.
Matanya menerawang seperti memikirkan apa yang di katakan Bella tadi. Ozi benar, Bella jagonya berdebat.
“Better..” dia berusaha bangun dan aku segera membantunya.
“Gue bisa sendiri. Lo istirahat aja, pasti lo juga capek kan?” Nafasnya sedikit terengah.
“Sorry udah bikin lo ngeliat hal yang gak seharusnya lo liat.” Ujarnya dengan bibir pucat pasi.
Aku hanya tersenyum lantas berbaring di samping Ozi.
“Lo harusnya bener-bener berobat sebelum Bella dan nyokap lo tau kondisi lo. Lo juga belum ngasih tau kondisi lo kayak gimana.” aku sedikit memberi saran pada sahabatku. Jangan sampai dia menyesal karena melakukan hal yang sama sepertiku, tidak memberikan penjelasan.
“Hem.. Gua bakal bilang tapi bukan sekarang.” Ujarnya pelan. Matanya terpejam dengan wajah yang meringis seperti menahan sakit.
“Perlu sesuatu?” tanyaku.
“Gak usah. Lo cerita aja gimana Bella di kantor. Dia pasti tenggelam dalam script yang dia buat kan? Apa dia nemuin lagi cowoknya?” Masih Bella yang di bahasnya.
“Zii, lo gak denger omongan Bella tadi? Dia mau lo percaya. Dia perempuan dewasa dan gue liat dia mandiri kok. Gak bergantung sama cowoknya.” Aku mencoba mengingatkan Ozi.
“Gue emang percaya sama Bella tapi gue gak bisa percaya cowoknya.” Dengan mata terpejam Ozi menjawabku.
“Apa yang bikin lo gak percaya? Bukannya semuanya butuh proses? Termasuk hubungan Bella sama cowoknya.”
Mata Ozi lalu terbuka. Ia menghela nafas dalam dan menghembuskannya. Seperti banyak kemarahan yang ditahannya.
“Bella memang berproses tapi cowok itu enggak. Bella selalu berusaha ngeyakinin gue dan nyokap tapi cowok itu nggak. Bella bertahan sendirian tapi dia gak sadar. Gue ngerasa, cowok itu lagi mainin Bella, cuma belum ada aja buktinya. Makanya gue butuh bantuan lo. Dia ada di hubungan yang toxic. Gue gak mau adek gue di rusak.” Kali ini Ozi menatapku penuh harap.
“Lo mungkin gak percaya atau gak paham. Tapi, gue yakin sama perasaan gue. Sekarang Bella sembunyi-sembunyi dari gue sama nyokap. Dia bilang gue gak perlu lagi mikirin hubungan dia sama cowoknya. Tapi, bukan berarti mereka gak sama-sama lagi kan?” Ozi sampai memegang tanganku untuk meyakinkanku.
“Bukannya lo minta gue pulang memang buat ini kan?” tanyaku tanpa tendensi.
“Makasih bro. Cuma lo yang bisa gue percaya.” Beberapa tepukan di berikan Ozi di bahuku. Dia terlihat sedikit lega.
Aku hanya tersenyum tipis untuk menenangkannya.
Ozi kembali membaringkan tubuhnya dengan tenang. Aku pun begitu. Kami sama-sama memandangi langit-langit kamar berwarna putih dengan nyala lampu yang kekuningan. Pikiran kami sama-sama menerawang dan entah apakah bertemu di satu titik yang sama atau tidak.
Belll, lo mandiri pun masih di cemasin sama abang lo.
*****
Suara sendok beradu dengan piring mendominasi pagi hari ini. Bella dengan nasi gorengnya dan Devan dengan roti bakarnya. Kebiasaan sarapannya memang jauh berbeda dengan Bella.
“Nanti bawa buah yaaa buat cemilan. Adek satu, bang Devan satu.” Ujar Saras seraya memasukkan dua kotak makanan ke dalam satu goodie bag.
“Iya mah.” Sahut Bella seraya melirik Devan yang duduk di hadapannya. Nikmat sekali laki-laki itu makan.
“Makasih tan.” Devan ikut menimpali.
“Sama-sama sayang.”
Bella komat kamit sendiri meledek Devan yang sok-sokan tersenyum mendengar ucapan mamahnya. Rasanya ia ingin bilang kalau itu ibunya, miliknya.
Komat kamitnya terhenti saat tiba-tiba seseorang mendekat lalu duduk di sampingnya. Tidak hanya itu, ia pun menempelkan sebuah sticky note di samping Bella lengkap dengan satu bar coklat.
“Sorry..” begitu isi tulisan yang ada di kertas tersebut.
Bella menoleh sang kakak yang tengah tersenyum padanya.
“Gue pertimbangin dulu.” ujarnya seraya menggigit sendok menahan senyum. Kalau merasa salah, Ozi memang selalu bisa bersikap manis untuk membujuk Bella.
“Es krimnya ada di kulkas.” Timpal Ozi.
Hah, abangnya yang satu ini memang selalu tahu cara meluluhkan hati Bella.
“Banyak gak?” Bella tidak bisa menahan senyumnya, membuat bibirnya merekah sempurna.
“8, tapi jangan lo abisin sekligus, buat stock.” goda Ozi.
“Okey, gue maafin.” Timpal Bella akhirnya.
“Nah gitu dong anak mamah, yang akur. Jangan main marah-marahan terus. Jantung mamah sampe mau copot kalau liat kalian berantem apalagi ngomong keras kayak semalem.” Saras menghampiri keduanya lalu bergantian mengecup pucuk kepala Bella dan Ozi.
“Dia doang yang ambekan mah, aku sih lebih sabar. Buktinya aku yang selalu ngalah.” Ozi menjulurkan lidahnya untuk meledek sang adik.
“Dih, mulai lagi yaaa…” Bella langsung melotot namun bibirnya tetap tersenyum. Ozi memang suka cari perkara. Menggoda Bella seperti hal wajib yang membuat harinya tidak berjalan menyenangkan kalau ia tidak melakukannya.
“Aduuhh udah udah,,, Jantung mamah deg degan kencang lagi kan ini….” Saras mengusap dadanya untuk menenangkan perasaannya sendiri.
“Abang sih, suka banget cari ribut sama aku.”
“Hahahaha… Habis seru mah kalau godain Adek.” Ozi mode kalem memang sangat manis.
Digigitnya tangan Bella dengan gemas membuat gadis itu menggeram dengan bibir mengerucut kesal. Namun Ozi hanya tertawa terbahak. Devan yang duduk di sebrang Bella pun ikut menahan senyum melihat tingkah kakak beradik ini.
Dalam perjalanan menuju kantor Bella masih tersenyum sendiri memandangi batangan coklat yang kini ada di tangannya. Senyumnya terhenti saat rasa penasarannya sudah tidak bisa di bendung lagi.
“Lo, tau gak abang gue sakit apa?” pertanyaan itu yang akhirnya di sampaikan Bella pada Devan.
Laki-laki itu tampak mengeratkan genggamannya pada stir yang tengah ia kemudikan.
Penuh harap ia menatap Devan . Semoga kali ini mendapat jawaban.
Jujur, yang membuat marahnya lebih cepat mereda adalah karena melihat Ozi yang lemah terkulai di kasurnya. Ada perasaan bersalah karena ia bertengkar di waktu yang tidak tepat namun emosinya sudah tidak tertahan semalam.
“Kenapa gak lo tanya langsung sama Ozi?” Devan memilih balik bertanya.
“Rupanya lo tau.” Bella tersenyum kelu mendengar jawaban Devan, membuat laki-laki itu menolehnya sejenak sebelum kemudian kembali menatap jalanan di depannya.
“Lo pikir gue bakal nanya lo kalau abang gue mau ngasih tau?” sedikit sinis kalimat Bella kali ini.
“Gue lagi nyetir. Kalau lo mau ngobrol, nanti aja di kantor.” Devan sudah bisa menduga kalau obrolan mereka akan berbuntut panjang.
“Repot banget sih lo. Di kantor itu gak ada privasi. Gue ngomong sama satu orang sejam kemudian satu kantor tau. Terlalu banyak kuping yang kepo. Gak bisa gitu lo jawab gue sambil lo nyetir. Toh gak bakalan ganggu lo banget juga.”
Benar bukan, satu kalimat tolakan Devan setara dengan satu paragraph kekesalan Bella.
Devan tidak merespon. Ia memilih menepikan mobilnya dan lajunyapun terhenti.
“Gue tau cowok itu emang gak multitasking tapi cuma lo yang paling ribet. Ngobrol aja harus ke pinggir dulu. orang nelpon aja gak boleh di jawab kalau lagi nyetir. Ribet!” dengusnya.
“Apa yang bikin lo mikir kalau ozi sakit?” Devan memilih tidak menimpali kalimat Bella.
“Ckk!” Bella berdecik sebelum memulai kalimatnya. Devan ini memang orang yang tidak bisa di ajak berdebat.
“Gue sering liat dia minum obat yang katanya paracetamol tapi dia gak demam. Dia sering keliatan capek, pucet tapi besoknya udah seger lagi. Gue juga pernah nemu hasil pemeriksaan lab di dalem lemarinya waktu gue mau minjem hoodie-nya tapi malah ada lo nongol dari dalem kamar mandi.” Kali ini Bella mendelik kesal.
Devan hanya memalingkan wajahnya saat otaknya memutar kembali kejadian pertama kali ia bertemu Bella.
“Gak usah di inget-inget!” di usapkannya tangan Bella di wajah Devan. Tercium wangi dan sangat lembut.
Hah bertambah saja yang harus Devan ingat.
“Nggak!” sahut Devan cepat.
“Terus sekarang abang pindah tempat kerja. Dia lebih sering pake mobil padahal dulu suka banget pake motor. Tapi yang lebih aneh, kenapa dia gak pernah bawa kameranya. Padahal itu cangkulnya dia kalau mau gali rejeki. Photographer gak bawa kamera mau ngerjain apa coba?” lagi, Bella menatap Devan penuh tanya, membuat laki-laki itu segera memalingkan wajahnya.
“Lo kenapa sih? Ada tahi mata di mata gue? Apa ada upil di hidung gue? Kayaknya males banget liat muka gue!” protes Bella saat Devan malah melengos.
Devan hanya menggeleng. Bella segera menyalakan kamera ponselnya dan melihat wajahnya sendiri. Ia pun menyeringai khawatir ada bawang daun yang menempel di sela giginya. Tidak ada yang aneh.
“Lo takut gue suka sama lo kalau kita pandang-pandangan?” sergap Bella. Devan hanya terdiam tidak menjawab.
“Tenang aja, gue udah punya cowok yang ganteng dan keren. Lo sih, bukan tipe gue. Gue gak suka tampilan mafia kayak lo. Gondrong dan ada brewoknya. Tipe kayak lo, cocoknya buat cewek yang kalau nyapu gak bersih. Itu kata nyokap gue.” Cerocos Bella.
Devan hanya tersenyum kecil mendengar ocehan Bella. Paginya jadi lebih berwarna.
“Senyum-senyum lagi lo, jadi lo tau gak abang gue sakit apa?” satu sikutan mendarat di lengan Devan.
“Nggak.” Dan jawabannya selalu sama.
“Huft! Sama aja.” Bella mendengus putus asa.
“Masa gue harus minta bantuan Inka buat balik mata-matain abang gue? Mana Inka polos banget lagi. Kalau dia tau gue curiga abang gue sakit, bisa-bisa malah dia sedih. Gagal lagi gue.” Gumam Bella. Entah berbicara pada dirinya sendiri atau pada Devan.
“AWH!!!” tiba-tiba saja Bella mengaduh. Dia pun mencengkram lengan Devan untuk ia remas.
“AWH!!” rasanya Devan ingin ikut mengaduh dalam hati karena kuatnya cengkraman Bella.
“Ada yang sakit?” tanyanya saat melihat Bella memegangi perutnya.
“Gak pa pa, perut gue kontraksi doang. Ayo buruan ke kantor sekarang, gue mesti ke toilet.” Pintanya sambil menepuk-nepuk tangan Devan dengan lumayan keras.
“Iyaa!” Devan segera menarik seatbelt Bella dan memasangkannya. Ia pun menyalakan kembali mesin mobil dan melajukan kendaraan roda empat itu dengan cepat berbaur di jalanan.
Bella sampai terperangah melihat Devan yang begitu sat set sat set.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Ozi kenapa harus menyembunyikan sakitnya? Dan hanya Devan yg tau..ayolah Ozi g semua harus di rasakan sendiri
2023-02-09
1
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
abang sakit apa? aku udah curiga pas dimobil bella nemuin obat nya dan abang jadi panik... bener kan abang lagi sakit dan menyembunyikan penyakitnya...
2023-02-05
1
Nana
aku baca marathon.... dan kereeeen banget cerita ini😍... tapi yang like kenapa sedikit😱😭
2022-09-27
2