Hari pertama bekerja di departemen penyutradaraan, membuat Bella seperti dejavu. Meja yang sama dengan posisi duduk yang sama dan pemandangan yang sama. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan awan yang tidak terlalu putih karena terkena polusi, seolah menjadi wallpaper yang melatari pemandangan di hadapannya.
Hari kamis 5 tahun lalu menjadi hari terakhir ia duduk di sini dan merapikan script yang ceritanya susah di lupakan oleh para penikmat mini series. Namun di hari itu juga ia berhenti menulis script dan memilih untuk pindah departemen tanpa bisa di tahan.
Di kamis yang berbeda, ia duduk di tempat yang sama dengan tugas lama yang sama dan bersiap untuk menghadapi kesulitan yang mungkin tidak jauh berbeda. Bella dan dunia keduanya yang kerap membuatnya tenggelam tanpa bisa di alihkan. Hanya saja, apa kali ini ia siap bertahan sampai akhir?
Sedikit beranjak dari tempatnya, untuk membuka jendela agar udara luar masuk ke ruangan. Walaupun di dalam ruangan ada AC, perlu sebenarnya membuka jendela untuk menukar udara ruangan dengan udara luar agar terasa ada kehidupan. Ya, paling tidak ada udara yang berhembus.
Tidak lama Bella berdiam di depan jendela. Setelah menghirup udara luar beberapa kali memandangi gedung-gedung di sekitarnya yang menjulang tinggi membuat kota Jakarta terasa penuh sesak.
Ia kembali ke mejanya dan membuka laptopnya.
“Udah sampe mana?” tanya sebuah suara yang kini berdiri di sampingnya.
Bella hanya tersenyum, lantas menoleh Rini yang berdiri di sampingnya. Miss kepo itu memperhatikan layar laptop Bella sambil menyeruput minuman di cangkirnya. Dari wanginya sih sepertinya kopi.
“Masih di sini aja.” Sahut Bella santai.
“Melisa juga lagi nulis script. Cuma kali ini bukan berdasarkan synopsis lo.” Rini memelankan suaranya di akhir kalimat.
“Bagus dong. Ada progress.” Sahut Bella tenang.
Ia jadi memperhatikan Melisa yang mejanya bersebrangan dengannya. Wanita itu memang tampak serius mengetik dan sesekali bergumam seperti sedang merangkai kata yang lewat di benaknya.
Bella jadi ingat, sejak pertama bertemu dengan Melisa, Wanita berusia 30an itu memang selalu bersikap dingin padanya. Beberapa kali ia di minta pak Eko untuk memakai synopsis Bella agar dijadikan Script, ia tidak menolak. Tapi Bella bisa merasakan perasaan tidak nyaman yang dirasakan Melisa saat mendapat tugas mengembangkan synopsis Bella tapi wanita itu selalu berusaha terlihat tenang. Tanpa beriak dan dingin. Benar-benar sulit di tebak.
“Dia mau bikin sinetron, gak mini seri kayak lo lagi. Dan mungkin cerita lo bisa kalah Bell, sama cerita dia.” Hasut Rini dengan senyum mengejek.
“Kalah?” Bella balik bertanya. Memandangi Rini dengan segaris senyum.
“Sejak kapan di PH ini ada perlombaan? Bukannya di sini kerja tim ya? Bukan persaingan antar individu?” lanjut Bella dengan tenang.
Rini memang penghasut yang ulung. Ia selalu memancing siapapun untuk di jadikan bahan adu domba.
“Dan gue gak ngerasa lagi bersaing kok, kan gue sama ica beda proyek. Bersaing buat apa? Cari muka?” kali ini Bella yang memelankan suaranya di ujung kalimat namun penuh dengan penekanan.
Rini tidak menjawab. Tapi dari raut wajahnya terlihat sekali kalau ia sangat kesal. Tanpa di minta, akhirnya Rini pun pergi. Mulutnya masih komat kamit seperti mengulang kalimat Bella untuk ia ejek. Akh sudahlah, orang seperti itu memang tidak perlu di tanggapi.
Pekerjaan penting di mulai. Bella mulai tenggelam dalam dunianya yang lain. Mengetik dengan cepat dan sesekali melambat saat ia mencoba mencari kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan isi script-nya. Sesekali pula ia bergumam dan mengangguk serta tersenyum sendiri saat berhasil menemukan frase yang sempat buntu di benaknya.
1, 2, 3, 4 dan jam-jam berikutnya berlalu. Bella benar-benar tenggelam dalam pikirannya. Bermain dengan imajinasinya, bersentuhan dengan emosinya dan tangannya tetap menari dengan indah di atas barisan alfabet.
Tanpa Bella sadari, seseorang memandanginya dari dalam ruangan sana. Ternyata menarik melihat Bella dengan wajah serius. Rambutnya yang tersanggul asal dengan beberapa helai anak rambut yang tidak terikat membuatnya terlihat sangat polos dan manis.
Devan, ya dia adalah Devan. Laki-laki yang sebelumnya asyik membaca synopsis milik Bella, tapi kini malah jadi memperhatikan sang penulis itu dengan laman.
“Isi kepala lo unik Bell.” Batinnya seraya tersenyum.
****
Sore itu, setelah semua pekerjaan selesai Inka memilih untuk mencari Bella. Sudah dua hari mereka tidak banyak berbincang. Biasanya sejak Bella tiba di kantor, Inka akan terus menempel dan menyerocos bercerita hal apapun dengan Bella. Tapi dua hari ini dunianya sepi.
Pergi ke ruangannya, namun hanya di sambut oleh keramahan ironis yang di tunjukkan oleh Rini dan Melisa. Melihat Bella tidak ada di mejanya, tentu bisa Inka tebak dimana keberadaan sahabatnya saat ini.
Kolam renang, tempat pilihan Bella yang biasa ia kunjungi. Kolam outdoor yang di tata aestetik ini, selalu menjadi tempat yang di tuju Bella setelah menulis cerita yang panjang dan melelahkan atau hanya sekedar untuk mengembalikan pikiran normalnya.
Transisi dari dunia halusinasi cerita ke dunia nyata terkadang memerlukan waktu. Tidak hanya secara pikiran tapi juga secara emosional dan mental.
Mencelupkan kaki ke kolam dan membiarkan rasa dingin menjalar di sepanjang urat nadi dan syarafnya, membuat Bella selalu merasa lebih baik. Inilah me time sederhana yang selalu Bella lakukan.
“Ketemu sama air bikin gue kayak berhenti berpikir buat beberapa saat. Jiwa gue kayak kembali ke cangkangnya dengan sempurna. Gak ada suara-suara bising di kepala yang bikin gue capek. Gue suka kayak gini Ka.” Itu yang sering kali Bella ungkapkan saat orang lain bertanya kenapa Bella suka berada di kolam renang ini.
Di belakang sana ada Inka yang memfotonya lalu mengirimkan foto itu pada seseorang. Mas B dengan tanda hati hitam yang ada di belakangnya menjadi nama yang ia sematkan di kotak tersebut. Hanya beberapa saat waktunya tersita sampai kemudian ia menghampiri Bellla.
“Nyebur aja sekalian.” Suara yang sangat familiar terdengar jelas bersamaan dengan suara langkah kaki yang mendekat.
“Gak usah ngeledek.” Saat di toleh, benar saja Inka sedang berjalan mendekat.
Wanita itu tersenyum kecil, lantas berlari dan duduk di samping Bella.
“Mau gue ajarin berenang?” tawarnya seraya memercikkan air kolam pada Bellla.
“NOPE!” refleks Bella menjauh.
“Kenapa? Lo masih belum berani?” Bella suka berada di dekat air tapi ia tidak bisa berenang. Dan saat di tawari belajar berenang, pasti selalu menolak.
“Bukan gak berani, gimana kalo orang ketuker liat gue sama paus? Repot kan?” kilahnya dengan santai.
“Ah elah, lo gak segede paus kok Bell. Lo itu seksi Bell. Montok.” Goda Inka seraya menyikut tangan Bella.
“Eemmm… Bilang aja lo mau ngeledek tapi sungkan. Asem lo!” timpal Bella.
“Hahahaha…” dengan nikmat Inka tertawa.
Mendengar Inka tertawa renyah, membuat Bella memperhatikan sahabatnya. Tawa ini yang ia rindukan setelah seharian hanya bercengkrama dengan barisan huruf dan simbol serta spasi.
“How’s your day Ka?” tanya Bella saat Inka terdiam.
Dua hari tidak bekerja bersama-sama, rasanya ada yang janggal. Biasanya Inka selalu marah-marah dan sensitif kalau ada pekerjaan tim lapangan yang tidak sesuai. Tidak pernah berhenti bekerja dan asyik berbicara banyak hal. Entah bagaimana 2 hari ini. Tapi dari wajahnya, terlihat sekali kalau ia lelah.
“Gue bisa apa tanpa lo Bell?” lirih Inka sendu. Kepindahan Bella seperti sebagain dari dirinya pergi. Walau hanya terhalang tembok ruangan namun bercengkrama dengan Bella lebih sulit di lakukan di banding sebelumnya.
Memperhatikan Inka, cepat sekali perubahan ekspresinya dari tertawa hingga murung seperti sekarang.
Bella hanya tersenyum. Melihat seseorang yang kita pedulikan dan langsung melihat responnya memang melegakan. Berbeda dengan bertanya melalui pesan yang hingga saat ini masih di abaikan.
Ya, pesan yang Bella kirim pada Rangga dengan bunyi, “Sayang, lagi ngapain? Gimana hari ini?” Sudah satu jam lalu dan belum juga di baca.
Beberapa tahun merasakan seperti ini, harusnya Bella sudah terbiasa tapi sepertinya sulit.
“Lo gimana hari ini, lancar?” bergantian Inka yang bertanya.
“Alhamdulillah…” Bella terangguk-angguk pelan. Mungkin saat ini memang ada baiknya memfokuskan diri pada Inka yang ada di hadapannya.
“Ada kabar dari bang Ozi?” ia jadi teringat kalau sampai sekarang belum bertanya soal kelanjutan cerita Inka soal hadiah yang ia berikan pada Ozi.
Inka hanya tersenyum, seraya memandangi Bella. Sejenak ia memandangi riak air. Ada yang mengganjal perasaannya kalau tidak ia ceritakan pada Bella.
“Gue udah ketemu mas Bima.” Ujarnya tanpa ragu.
“Hah, sumpah? Kok gue gak tau?” Bella sampai terperangah. Siapa sangka Inka yang pendiam, sudah berani melangkah sejauh itu.
“Heeeyy, kapan lo ketemu bang Ozi, kok gak cerita-cerita?” Bella mengguncang-guncangkan badan Inka yang pasrah saja mengikuti arah gerak Bella.
“Dih! Malah senyum-senyum.” Menunjuk dengan gemas wajah Inka yang merona.
“Kapan sih kalian ketemu? Gak mau cerita nih sama gue?” paksa Bella.
Inka tidak segera menjawab. Ia melingkarkan tangannya di lengan Bella lantas menyandarkan kepalanya di bahu Bella. Terdengar helaan nafas dalam yang kemudian ia hembuskan dengan perlahan.
“Setelah gue ngasih hadiah itu, besoknya mas Bima ngehubungin gue.” Satu hal yang tidak di duga cukup mengejutkan buat Bella.
Ternyata Ozi merespon Inka. Padahal sudah pernah bertemu beberapa kali dan sikapnya selalu dingin. Ia pikir Ozi akan bersikap sama seperti pada wanita lain.
“Dia ngajak gue ketemu dan kami ngobrol cukup lama.” Inka tersenyum sendiri saat mengingat ia duduk berhadapan dengan Bima.
Sayangnya ia tidak berani untuk memandang wajah tampannya. Ia terlalu gugup dan hanya bisa memainkan sedotan yang ada di dalam gelasnya sambil sesekali menyeruput minuman dengan tidak tenang.
Berbeda dengan Bella yang sering ia lihat tersenyum, Ozi tipe yang dingin dan cuek. Satu hal yang mirip dari kakak beradik ini adalah, keduanya observer. Suka memperhatikan dengan seksama lawan bicaranya. Dan itu membuat Inka semakin berdebar.
Menegakkan kepalanya lantas menoleh Bella seraya tersenyum.
“Ternyata, di dunia mas Bima cuma ada lo dan nyokap lo Bell. Lo beruntung banget punya abang yang sayang banget sama lo.” Tuturnya dengan penuh kesungguhan.
“Maksud lo, selama kalian berdua, cuma bahas gue sama nyokap gitu?” hal ini yang Bella simpulkan dari penuturan Inka.
Inka terangguk pelan. “Dia bilang, lo dan nyokap lo adalah segalanya. Dan dia gak pernah memikirkan hal lain selain itu.”
Untuk beberapa saat, Bella berusaha mencerna ekspresi wajah Inka yang tak biasa. Sepertinya ia kecewa tapi bibirnya masih tersenyum.
“Tapi dia gak minta lo ngejauh kan?” kalau sudah urusan dengan wanita, biasanya ini yang Ozi katakan.
Sejak Bella SMA, entah berapa Wanita yang menemuinya dan meminta bantuannya untuk bisa dekat dengan Ozi. Tapi Ozi tidak pernah memberi respon. Hal yang sama pun mungkin di alami Inka dan ini sungguh membuatnya ikut sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Ozi akan berpikir menikah mungkin kalau sudah melihat Bella menikah dengan orang yang tepat..
2023-02-08
1
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
aihh si abang pasti tuh...
jangan2 waktu itu inka kencannya sama abang ozi...
2023-02-05
1
mrs i
baru baca, ceritanya bagus
2022-12-18
1