Tiba di rumah yang dijadikan base camp sekaligus studio sebagai tempat band Rangga berlatih, mereka di sambut oleh Niko yang baru kembali dari minimarket.
Rumah ini dibeli oleh Bella sebagai investasi dan dimanfaatkan dengan baik untuk berlatih band Rangga. Sudah sekitar 3 tahun mereka menjadikan rumah ini studio dengan banyak alat band yang mengisi setiap sudut.
“Silakan Bell….” Ia bergantian membukakan pintu untuk Amara dan Bella.
“Thanks Nik!” timpal Bella seraya menoleh Amara yang berjalan lebih dulu masuk ke studio.
“Masih belum baikan?” lanjut Bella seraya menyikut lengan Niko.
Niko tersenyum simpul, menatap punggung Amara yang lebih dulu menghilang di balik pintu.
“Gue sih baik-baik aja. Tapi, baikan itu harus dari 2 pihak kan?” timpal Niko sambil cengengesan.
“Yang sabar yaa, dia memang agak keras tapi nanti juga membaik kok.” Bella berusaha menghibur Niko dengan makanan yang ia beli di jalan tadi.
2 bulan lalu hubungan Niko dan Amara memang berakhir. Hubungan yang terjalin sekitar 4 tahun itu harus putus karena menurut Amara tidak ada kejelasan. Entah kejelasan dalam hal apa, mereka tentu punya prinsip sendiri dalam hubungan mereka.
Hanya saja, sampai saat ini Amara masih selalu menghindar, berbeda dengan Niko yang terlihat santai walau perpisahan mereka sempat membuat Niko terpuruk.
“Thanks Bell..” ucap Niko seraya mengusap kepala Bella. Kebiasaan yang selalu di lakukan Niko dan kerap membuat pacarnya kesal.
“Kebiasaan lo!” Bella segera menurunkan tangan Niko dari atas kepalanya. Bahaya kalau Rangga sampai melihatnya.
Laki-laki itu hanya terkekeh lantas berjalan di depan, membawa makanan yang di beli Bella.
“Ngumpuuulll, isi perut duluuu…” seru Niko dari arah pintu. Kericuhanpun terdengar saat mereka mengecek makanan yang di beli Bella.
Saat Bella masuk, terlihat Rangga yang baru keluar dari kamar mandi dan tengah mengenakan kaos oblong.
“Ada cewek lo anjrit!!” seru Ikhsan seraya melempar Rangga dengan stick drum yang ia pegang. Dengan cepat Rangga menangkapnya.
“Hay,” sapa Bella pada Rangga.
Rangga hanya tersenyum lantas mencium pipi Bella.
“Pameeerrr teroosssss!!!” Niko kembali bersuara, membuat Bella tersipu malu.
“Gimana kabar kamu yang?”
Bella memperhatikan wajah Rangga yang terlihat kuyu. Di usapnya wajah Rangga dengan lembut. Sejenak ia pandangi wajah yang beberapa hari ini tidak di lihatnya.
Tidak hanya itu, pesan yang ia kirimpun sampai hari ini tidak di baca Rangga.
Namun melihat Rangga yang ternyata baik-baik saja, cukup membuatnya merasa tenang.
“Hem, cuma agak ga enak badan aja.” Rangga beranjak. Ia memilih duduk di sofa yang di ikuti Bella.
“Kok gak ngabarin yang, aku kan bisa ke sini buat ngurusin kamu.” Ia mengambilkan sepotong ayam goreng tepung, lengkap dengan nasi, perkedel dan air mineral.
“Jangan minum soda yaa…” lanjutnya. Di tatapnya Rangga dengan penuh rasa bersalah.
“Cepetan lo nikahin Ga, tar Bella keburu sadar, apes lo!” ledek Ikhsan yang di tertawakan anggota band lainnya.
“Uhuk!!!” Amara sampai terbatuk mendengar celetukan Ikhsan.
“Sorry lupa, ada kapal yang kandas.” Lanjut Ikhsan yang asyik tertawa.
“Resek lo!” Niko mentoyor kepala sahabatnya yang kadang asal bunyi.
Mendengar candaan Ikhsan, Amara beranjak dari tempatnya. “Gue ke toilet sebentar.” Tidak sengaja bajunya terkena tumpahan sauce.
Niko memberikan selembar tissue, namun Amara mengabaikannya. Dua orang yang pernah saling mencintai ini rupanya masih belum bisa berdamai satu sama lain.
“Bentar, toiletnya bekas gue.” Rangga segera beranjak dari tempatnya dan menyusul Amara.
“Habis ngapain si Rangga di kamar mandi? Ngabisin sabun kali ya? Wkwkwkwk…”
“Cepet ajakin nikah Bell, biar si Rangga gak keseringan lama-lama di kamar mandi.” Ikhsan kembali berceloteh.
“Resek lo anjir!” Niko mentoyor kepala Ikhsan yang sering asal bicara.
Bella hanya tersenyum. Ya, sudah bersama selama 8 tahun harusnya memang sudah memikirkan pernikahan bukan?
Untuk beberapa saat Bella terdiam, menatap Amara dan Rangga yang pergi ke toilet. Sambil menunggu, ia memisahkan ayam dari kulitnya. Entah mengapa terasa begitu lama.
*****
Setelah anak band bubar, tinggalah Bella dan Rangga di studio. Amara sudah pulang lebih dulu karena terus menerus di telepon manager barunya.
“Agak resek nih orang.” Ini keluhan pertama yang di dengar Bella sebelum Amara pulang.
Sepertinya manager-nya yang sekarang lebih mengatur Bella di banding manager-nya yang dulu. Tentu saja ini sedikit tidak cocok untuk Amara yang sangat suka kebebasan.
Kembali pada Rangga yang kini terduduk di sofa sambil memainkan gitarnya. Petikan senar menghasilkan suara yang selalu menghangatkan hati Bella.
Sambil membuatkan kopi. Bella tidak henti memandangi Rangga sambil tersenyum. Seperti halnya Rangga yang tidak lelah berusaha untuk band-nya, maka Bella pun tidak akan berhenti berusaha untuk banyak hal yang lebih baik di masa depan.
“Kopinya Ga.” Bella menaruh secangkir kopi di hadapan Rangga, lengkap dengan cemilannya.
Rangga hanya menoleh lantas tersenyum. Wajahnya sudah lebih cerah di banding saat Bella datang tadi.
Bella duduk di samping Rangga seraya memandangi wajah tampannya. Seketika ia melihat ponsel Rangga yang ada di hadapan mereka. Rasa penasaran datang karena sampai saat ini Rangga tidak membaca pesannya.
“Aku wa kamu, apa pesan aku masuk?” selidik Bella seraya meraih ponsel Rangga.
“Bell!” dengan cepat Rangga menepuk tangan Bella.
“Aku punya privasi di sini.” Tegasnya seraya menatap Bella dingin.
“Oh, sorry… Aku cuma penasaran, takut pesan aku gak masuk ke hp kamu.” Kilah Bella, berusaha tenang.
Sentakan Rangga jujur membuat kaget dan dadanya terasa mencelos. Seperti ada pukulan keras yang menghantamnya. Tidak biasanya Rangga seperti ini.
Mendengar ucapan Bella, Rangga hanya terdiam. Ia meneguk pelan kopi hangat buatan Bella yang rasanya selalu nikmat. Entah mengapa kali ini terasa hambar.
“Aku cemas kamu gak ada kabar beberapa hari ini. Baca pesan aku pun enggak dan tau-tau kamu sakit. Aku khawatir Ga.” Bella menyelipkan tangannya di lengan kokoh Rangga lalu menyenderkan kepalanya di bahu Rangga.
Laki-laki itu terdiam, menaruh gitarnya di bawah.
“Aku sibuk Bell. Ada Latihan bareng anak-anak beberapa hari ini. Aku sama anak-anak sering begadang, makanya sampe gak enak badan gini.” timpal Rangga dingin. Seperti kecemasan Bella bukan suatu masalah baginya.
“Ya walaupun gak sesibuk kamu, aku juga gak nganggur-nganggur amat.” Imbuh Rangga, kembali meneguk kopi hangatnya.
“I know.” Bella kembali menegakkan kepalanya. Ini terdengar seperti sindiran yang diucapkan Rangga untuknya.
“Tapi paling tidak, sisain waktu kamu 5 menit aja buat balas pesan aku. Bisa kah?” di tatapnya wajah Rangga dengan lekat.
8 tahun bersama, membuat Bella begitu mengenal laki-laki ini. Banyak hal yang berubah dari Rangga. Rangga memang orang yang acuh, tapi sebelumnya tidak sampai mendiamkan pesan Bella sampai berhari-hari seperti saat ini.
“Mungkin buat kamu pertanyaan aku basi dan sepele. Nanya kamu udah makan atau belum. Lagi ngapain, sama siapa. Gimana cerita hari ini.” Bella berusaha mengatur ritme nafas yang beberapa saat ia tarik lebih dalam.
“Tapi buat aku itu penting. Kabar terkecil dari kamu itu penting buat aku yang.” Di genggamnya tangan Rangga dengan erat, membuat laki-laki itu kini memandangi tangannya yang di genggam Bella.
“Dan ternyata kamu sakit. Aku ngerasa bersalah banget tau yang. Coba aku tau lebih awal, aku bisa ajak kamu ke dokter atau aku bisa ke sini buat ngecek kondisi kamu.” Tegas Bella. Ia menciumi tangan Rangga dengan sungguh-sungguh.
Melihat apa yang dilakukan Bella, Rangga tertegun. Ia menatap manik coklat penuh kekhawatiran yang kali ini menatapnya.
“Kamu gak perlu berlebihan Bell,” kalimat klise itu yang kemudian ia ucapkan.
“Kondisi aku juga gak begitu buruk. Ada anak-anak juga yang datang ke sini. Lagi pula,”
“…Kamu bukan anak kecil lagi. Kamu bisa bertanggung jawab dan mengurus diri kamu sendiri.” Bella menyela kalimat Rangga dengan cepat.
“Ya, I got it Rangga.” Suaranya terdengar melemah tanpa pandangan yang beralih.
“Tapi bisakah kamu juga bertanggung jawab terhadap perasaan aku? Perasaan cemas mikirin kamu yang gak jawab pesan aku apalagi angkat telpon aku? Apa yang salah sama hubungan kita sampe kamu ngerasa kalau kabar kamu itu sepele buat aku.” di tatapnya Rangga dengan nanar.
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Rangga berusaha mengerti bagaimana cemas Bella selama ini.
“Ya okey, aku minta maaf. Kemaren kondisinya emang gak memungkinkan untuk banyak berkabar sama kamu.” Lirihnya seraya menangkup sisi kiri wajah Bella dengan tangannya yang lebar.
"Karena?" Bella masih penasaran.
"Kamu butuh jawaban detail Bell? Kamu gak percaya sama aku?" suara Rangga mulai meninggi.
"Loh, bukan itu maksud aku, Ga."
"Lalu? Apalagi yang menurut kamu masih belum jelas? Aku harus lapor tiap detik gitu sama kamu. Hay Bell, aku lagi di sini. Kondisi aku begini. Aku pap ya Bell. Kita bukan anak kecil lagi, kamu jangan se childish gitulah." protes Rangga.
"Apa kenyataan kalau aku pacar kamu dan sedang berusaha buat hubungan kita itu belum cukup buat kamu?" tegas Rangga seraya menatap laman manik coklat milik Bella.
Bella jadi tertegun mendengar ucapan Rangga. Perlahan ia menggeleng. Bukan seperti itu maksudnya. Tapi kondisi sudah terlanjur membuat ia salah.
Di usapnya pipi Bella itu perlahan, membuat rasa kesal Bella hilang seketika berubah menjadi rasa hangat. Perasaan yang selalu Bella rasakan saat mengingat ia memiliki Rangga. Mungkin Rangga benar, kali ini ia yang berlebihan dan kekanakan.
Perlahan Rangga mendekat wajahnya pada Bella, membuat mata gadis itu membulat kaget. Hanya beberapa detik sampai kemudian ia merasakan bibir Rangga yang menciumnya lembut. Sekali, dua kali dan kali ketiga terasa lebih lama dan menyisakan gigitan kecil.
“Jangan terlalu mencemaskan aku. Aku baik-baik aja.” Lirih Rangga sekali lalu mencium pipi Bella.
Tidak ada jawaban dari Bella. Ia hanya ingin memeluk Rangga dengan erat, sangat erat sampai kemudian Rangga terbatuk.
“Uhuukkk! Bell…” rengek Rangga yang merasa sesak.
Bayi besar Bella telah kembali. Di balik sikapnya yang acuh, terkadang Rangga merengek seperti bayi besar.
“Hehehehe… Habis aku kangen.” Balas Bella.
Ia melepaskan pelukannya. Menatap wajah Rangga yang berjarak hanya beberapa senti saja dari wajahnya.
“I love you.” Ucapnya pelan.
“I can feel it.” Balas Rangga, yang membuat Bella merona.
Saat ini, jawaban Rangga sudah lebih dari cukup untuk Bella. Membuat Rangga merasakan kalau ia mencintainya adalah hal besar yang bisa ia lakukan.
“Oh iya, aku punya kabar.” Melihat Rangga ia jadi teringat sesuatu.
“Oh ya? Apa?” Rangga mulai tertarik mendengarkan.
“Emmm…” Bella mencoba memikirkan kalimat yang paling baik untuk menyampaikan berita ini pada Rangga.
“Ada ajang pencarian bakat buat penyanyi pop pria. Apa kamu mau ikutan yang?” tawar Bella.
Ia tahu benar kemampuan Rangga dalam mengolah suaranya juga memainkan alat musik. Tidak ada salahnya menawarkan hal ini padanya.
“NO! BIG NO!” dengan cepat Rangga menolaknya.
“Hah? Ini kesempatan bagus yang. Kali ini coba dulu ya sayaaang…” bujuk Bella.
“Nggak Bell, aku gak bisa.” Rangga segera beranjak dari tempatnya. Ia memilih duduk di tempat Ikhsan sebagai drummer.
“Yang, kesempatannya bagus loh. Siapa tau ini rejeki kamu. Kamu bakal di orbitin sama label terkenal.” Bella mengikuti Rangga ke tempatnya dan masih berusaha membujuk.
“NO! Aku gak mau!” tolaknya seraya memukul drum.
Bella hanya terdiam di tempatnya, memandangi Rangga dengan rasa kecewa.
“Kamu tau kan, aku gak mungkin ninggalin temen-temen band aku?” alasan itu yang kemudian di sampaikan Rangga.
“Ya aku tau.” Sejak dulu band adalah segalanya bagi Rangga.
Bella mendekat dan memegang tangan Rangga.
“Aku gak meminta kamu ninggalin temen-temen band.”
“Ini hanya salah satu alternative cara bikin orang-orang tau kemampuan kamu. Nanti kalau kamu udah di kenal orang dengan prestasi kamu, kamu juga bisa membawa temen-temen kamu.”
“Banyak kok penyanyi yang jebolan ajang pencarian bakat dan balik lagi ke band nya. Kamu juga bisa kayak gitu yang.” Cerocos Bella berusaha membujuk.
“Bell, aku gak bisa.” Tegas Rangga seraya melepaskan genggaman tangan Bella.
“Ikut ajang pencarian bakat itu pasti banyak menyita waktu. Sementara sebagai band, walau tidak banyak, kami ada jadwal manggung dan jelas menghasilkan uang.”
“Kalau aku ikut ajang pencarain bakat, gimana dengan kontrak kami dengan beberapa rekanan? Band gak akan jalan yang artinya kami gak ada pemasukan. Aku gak bisa seegois itu ninggalin temen-temen.” Terang Rangga.
Penjelasan Rangga sebenarnya bisa di terima. Kalau band Rangga melanggar kontrak, tentu akan menjadi citra buruk bagi mereka. Dan apa artinya sebuah band tanpa seorang vokalis?
“Kamu yakin gak mau ngobrolin ini dulu sama anak-anak?” ini bujukan terakhir Bella. Berharap Rangga akan mempertimbangkannya.
“Nggak.” Rangga tegas menolak.
“Okey.” Akhirnya Bella menyerah. Prinsip Rangga yang satu ini memang tidak bisa di ganggu gugat.
Band adalah hidupnya dan teman-temannya adalah segalanya.
Melihat jam di dinding, Bella baru tersadar kalau sudah hampir jam sebelas malam.
“Astaga yang, aku harus pulang” ujarnya seraya mengambil tas ransel kesayangannya.
Rangga ikut menoleh jam di dinding.
“Iyaa…” jawabnya lemah. Kalau Cinderella jam 12 malam akan kembali ke penampilan aslinya, tapi kalau Bella, harus kembali ke rumah maksimal jam 10.
“Tumben abang belum nelpon?” pertanyaan itu yang akhirnya di lontarkan Rangga.
Bella hanya mengendikan bahunya. “Mungkin udah di depan pintu sambil megang pentungan.” Balas Bella sambil tersenyum kecil.
“Aku pulang ya… Aku udah nyimpen stok makanan di kulkas, tinggal kamu angetin. Jangan terlalu banyak makan mie instan sama minum kopi juga jangan begadang.” Cerocos Bella sambil berjalan mundur.
Rangga hanya tersenyum mendengar celoteh Bella.
“Aku anterin yaa…” tawarnya. Khawatir juga membiarkan Bella pulang sendiri.
“Nggak usah yang aku bisa naik taksi. Kamu lagi sakit, jadi mending istirahat biar cepet sembuh, okey.” Bella mengacungkan ibu jarinya yang tampak berisi.
“Hem…” sahut Rangga.
Mereka berjalan menuju pintu.
“Bell…” suara itu di dengar Bella saat meraka sudah ada di depan pintu. Rangga menahan tangan Bella. Mereka sama-sama terdiam.
“I’ll try my best, dengan caraku sendiri. Promise!” Ujar Rangga tiba-tiba. Bella tertegun, begitu berarti ujaran Rangga kali ini.
“Aku percaya.” Tegas Bella seraya tersenyum dan mengeratkan genggaman tangannya.
“Thanks.” Tiba-tiba saja Rangga memeluk Bella dengan erat.
“Hati-hati di jalan. Kabarin kalau udah sampai. Dan mengendap-endap lah, jangan sampe di marahin abang.” Pesan itu yang di bisikan Rangga di telinga Bella.
“Hahahhaaha… Okey…” Bella jadi tergelak mendengar pesan terakhir Rangga.
Tanpa Bella sadari, dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikannya dari dalam mobil. Ia langsung menyalakan mesin mobil sesaat setelah Rangga mencium kening Bella sebelum pulang.
Kenapa ia harus melihat ini?
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Tia rabbani
devan
2024-01-03
0
Bunda dinna
Rangga seperti menyembunyikan.sesuatu dan seperti.nya Amara terlibat juga
2023-02-08
2
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
sebucin itu bella ke rangga... hufftt....
2023-02-04
1