“EHM!!”
“ASTAGA!!!” seru Bella saat suara deheman mengejutkan langkahnya.
Di kegelapan taman, terlihat seorang laki-laki yang berjalan menghampirinya dengan tangan bersidekap di depan dada.
“Jam berapa ini?” tanya laki-laki tersebut seraya melihat jam yang melingkar di tangannya.
Perlahan, wajah laki-laki itu terlihat jelas saat cahaya temarang lampu taman membias di wajahnya. Rupanya laki-laki itu duduk di kursi taman entah sejak kapan dan baru bersuara saat melihat Bella datang.
“Issh bang Ozi, gue kira siapa!” dengus Bella yang mendelik kesal pada sang kakak.
“Emang lo kira siapa, hah?!” timpal Ozi yang mengacak rambut Bella dengan gemas.
“Iihhh kebiasaan deh! Emang gue anak kecil!” menepis tangan Ozi yang terbiasa mengacak rambutnya atau mencubit pipinya.
“Badan lo doang yang gede, otak lo bocah! Di anter siapa lo tadi? Mobil lo mana?” Ozi celingukan melihat keluar pagar.
“AArrghhh kepo lo!” Bella segera menepis wajah Ozi agar mengalihkan pandangannya dari pagar. Ia pun menarik tangan Ozi untuk masuk ke rumah. Ia khawatir Rangga masih ada di luar dan di hampiri Ozi.
“Aturan, kalau lo emang di anter pulang sama cowok baik-baik, tuh anak pasti turun. Anterin lo sampe rumah. Bilang sorry ke gue sama mamah karena nganter lo pulang malem-malem. Bilang makasih lo masih minjemin mobil lo sama dia. Bukan maen pergi aja! Apa bedanya tuh anak sama supir taksi online!” cerocos Ozi sambil menarik tangan Bella untuk masuk.
Percakapan semacam ini yang di hindari Bella agar tidak di dengar Rangga.
“Isshh elo ya kalau ngomong suka gak di saring!” dengan kesal Bella mengatupkan paksa bibir sang kakak dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Mau nyamperin gimana coba, kalau cara ngomong lo aja udah kayak emak-emak kompleks. Rempong!” sedikit mendorong Ozi yang menghalangi jalannya.
“Ya usaha lah! Namanya juga mau di restuin. Sampe kapan kalian mau sembunyi-sembunyi?” tegas Ozi yang membuat langkah kaki Bella terhenti.
Bella menghela nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu benar kalau abangnya ini memang tidak terlalu menyukai Rangga karena menganggap Rangga hanya main-main dan tidak pernah berniat serius.
“Kenapa? Omongan gue bener? Lo belum di apa-apain kan sama cowok itu, sampe bucin banget lo kayaknya.” selidik Ozi.
Bukan tanpa alasan Ozi berbicara seperti ini. Beberapa kali Ozi mendengar Bella menangis karena bertengkar dengan Rangga. Sebenarnya itu suatu hal yang wajar dalam sebuah hubungan, perbedaan pandangan atau pendapat sah-sah saja terjadi. Tapi kesalahannya adalah, seharusnya Bella tidak menunjukkan air matanya di hadapan sang kakak yang over protective. Hal ini juga yang membuat Bella tidak berani berbuat lebih di belakang sang kakak. Serasa CCTV Ozi ada dimana-mana
“Lo gak tau apa yang terjadi antara gue sama dia. Dan lo gak usah sok tau. Yang jelas, otak gue masih normal buat ngebedain mana hal baik dan mana hal buruk.” Tegas Bella dengan tatapan tajam pada sang kakak.
“Mending lo cari pacar deh daripada lo ngurusin gue. Monoton banget hidup lo gak ada warnanya. Gak usah nyari warna dari hubungan orang dong!” sengit Bella semakin kesal.
“Adekekkk, abang…. Ini kenapa sih? Malem-malem malah berantem?” suara Saras yang kemudian terdengar. Ia keluar dari kamarnya karena mendengar keributan kedua anaknya.
Keduanya kompak terdiam. Bella masih menghembuskan nafasnya kasar sementara Ozi berusaha tersenyum melihat kedatangan ibunya.
“Maaf mah, abang gak maksud ganggu istirahat mamah.” Sahut Ozi dengan cepat.
“Abang tuh resek mah, ngeselin!” dengus Bella serasa punya tempat untuk mengadu.
“Abang, udah sih jangan gangguin adeknya. Kasian dia pulang kerja capek.” Saras meraih lengan Ozi untuk ia usap agar lebih tenang.
“Dia bukan pulang kerja tapi pulang pacaran. Ngaku lo sama mamah! Udah di larang juga jangan pacar-pacaran, masih aja.”
“Eehhh elo nih makin ngeselin aja sih bang!” Bella memilih untuk menghampiri sang kakak yang terasa menyudutkannya.
“Adekkk,.. abang… Udah dong!” akhirnya Saras meninggikan suaranya membuat keduanya kontan terdiam. Kalau suara Saras sudah meninggi, lebih baik mereka diam, daripada nanti menyesal.
“Adek, kamu masuk kamar. Jangan di biasain pulang malem gini.”
“Abang juga, ngapain jam segini belum masuk kamar, kalau cemas sama adeknya tuh di jemput, bukan udah pulang malah di omelin.” Cerocos Saras, menatap tajam pada kedua anak yang akhirnya sama-sama tertunduk.
“Aku masuk mah, selamat malam.” Bella memilih pamit lebih dulu. Tidak ada gunanya berlama-lama di hadapan sang kakak yang malah akan memancing perdebatan lebih panjang.
“Iya sayang. Jangan lupa ganti baju sama cuci muka. Kalau malem laper, masih ada makanan di atas meja makan.” Suara Saras sudah terdengar lebih rendah.
“Hem,” lengkap dengan acungan jempol akhirnya Bella pergi ke kamar dan masih mendapat tatapan tajam dari kakak dan ibunya hingga menghilang di balik pintu kamarnya.
“Abang gak masuk?” berganti Ozi yang di tanya.
“Bentar lagi mah, nunggu temen.” Ia melihat jam di dinding, sudah jam 10 malam.
“Ya udah, mamah masuk duluan. Jangan malem-malem bobonya, hem?” usapan halus di berikan Saras pada punggung sang anak.
“Iya mah, mimpi indah ya…” di kecupnya dahi Saras dengan lembut.
Walau watak Ozi memang cenderung keras terutama pada sang adik, namun sebenarnya ia sosok yang perhatian pada Ibu dan adiknya. Hanya terkadang cara penyampaiannya yang tidak menyenangkan.
“Ngeselin!” gerutu Bella saat sudah berada di dalam kamarnya. Ia masih merasa kesal pada perkataan sang kakak yang terasa begitu menghakimi.
Hanya beberapa saat Bella bersandar di daun pintu kamarnya sebelum akhirnya melemparkan tasnya ke atas tempat tidur dan di susul dengan menjatuhkan tubuhnya telentang di samping tas. Ia mencoba mengatur nafasnya, rasa kesal membuat jantungnya masih berdebar dengan cepat.
Menatap langit-langit kamar dan yang terlihat saat ini adalah nyala pijar kekuningan yang menyilaukan matanya. Mengulat sedikit untuk menggeser tubuhnya mendekat pada ujung tempat tidur lalu menepuk tangannya satu kali agar lampu kamarnya mati berganti lampu tidur LED. Ia tidak suka berada di tempat gelap.
Dalam beberapa saat suasana kamar pun berubah romantis dengan dinding dan langit-langit kamar berwarna biru di lengkapi dengan gambaran bulan dan bintang yang mengisi seisi kamar.
Beberapa helaan nafas dihembuskan dengan lega oleh Bella. Perubahan suasana seperti ini ternyata membuat perasaan Bella lebih baik. Ini cara mudah healing yang dilakukannya setelah lelah dengan aktivitasnya seharian.
“Bang Ozi kapan sih bisa percaya sama Rangga? Kenapa sih bawaannya nethink mulu? Nyebelin!” bibir Bella bergumam lirih.
Selama berpacaran dengan Rangga, hanya beberapa kali Ozi dan Rangga bertemu langsung. Kesan pertama saat bertemupun sikap Ozi sudah acuh. Katanya Rangga bukan tipe laki-laki yang bisa di ajak serius.
“Di depan lo doang dia bisa alim, di belakang lo kagak pernah bisa lo jamin. Jangan sampe nyesel lo cinta sama cowok kayak gitu!” itu kalimat pertama yang diucapkan Ozi saat mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan Rangga di acara 40 hari wafatnya sang ayah beberapa tahun lalu.
“Kenapa? Dia baik kok. Dia ngelindungin gue.” Sanggah Bella saat itu.
Ozi hanya tersenyum sinis. Menatap Rangga dari kejauhan seperti tengah memperhatikan gestur Rangga yang tengah berbincang dengan sang ibu.
“Gue cowok, gue tau seperti apa kelakuan tipe cowok kayak pacar lo itu. Inget, jangan sampe gue liat lo nangis gara-gara tuh cowok!” pertemuan pertama sudah berbuah ancaman.
Bella mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Hanya sekitar 10 menit ia meninggalkan Rangga dan Ozi untuk berbincang tapi seolah cukup untuk Ozi mengenal sifat pacarnya hingga bisa menyimpulkan hal seperti itu. Padahal waktu 10 menit bukan waktu yang cukup untuk mengenal seseorang. Bisa saja ia hanya melihat kejelekan tanpa tahu kebaikan Rangga.
“Lo kapan sih bang percaya sama pilihan gue?” lirih Bella, masih tertaut pada pikirannya tentang Rangga dan Ozi.
Ia masih mengingat jelas, bagaimana Ozi sangat mendominasi dirinya. Ia mewajibkan sang adik untuk sekolah di sekolah yang sama dengan alasan agar bisa menjaganya kalau ada anak-anak yang mengganggu Bella. Itu bisa di terima.
Teman-teman Bella ikut di saring oleh Ozi, mana yang menurutnya toxic dan mana yang menurutnya baik. Hasilnya, hanya satu orang teman yang bertahan hingga kini, yaitu Amara. Teman Bella sejak TK hingga sekarang.
Hanya masalah pekerjaan saja yang Ozi tidak mendominasi. Ia memberi kebebasan adiknya akan bekerja di bidang apapun yang menjadi wajib adalah harus di Jakarta. Bahkan hampir setiap hari Ozi mengantar Bella bekerja dengan alasan mereka satu arah.
“AArrrgghhh!!!! Bang Ozi, lo jadi kakak posesif banget sih!” Bella mengacak rambutnya dengan kasar.
Badannya berguncang-guncang karena kedua kaki yang berulang menghantam kasar permukaan Kasur. Ia masih tidak habis pikir, apa yang sebenarnya di pikirkan Ozi selama ini. Apa ia pikir Bella tetap anak kecil seperti yang sering ia katakan?
“Ayolaaahhh… Usia gue udah mau seperempat abad. Masa di jagain terus kayak bocah sih!? Ishk!!!” Bella memukul boneka Tedy Bear hadiah dari sang kakak. Setiap ia kesal pada sang kakak, boneka ini yang akan jadi pelampiasannya.
Gerutuan Bella terhenti saat ponselnya berdering dan memberi tanpa pesan masuk. Dikeluarkannya benda pipih itu dari dalam saku celananya, ada dua pesan masuk.
Di tariknya nafas dalam-dalam untuk merubah suasana hatinya.
“Dek, sory ganggu malem-malem. Gue cuma mau ngabarin besok syuting tim 2 di cibubur yaaa… Progres persiapan property udah 90%. Lo kalau mau nyusul agak siangan aja, biar gue siapin tenda dulu.” begitu bunyi pesan pertama yang di kirim oleh salah satu rekan satu timnya, bernama Roni.
Sekedar info, rekan satu timnya memang banyak yang memanggil Bella adek karena menyesuaikan dengan cara sang kakak memanggilnya. Hah, semua rekan satu timnya memang mengenal benar siapa Ozi. Sering kali ia datang ke lokasi syuting baik untuk mengantar Bella atau sekedar berbincang dengan tim Bella yang ujung-ujungnya menitipkannya.
Bang ozi memang tiada duanya.
“Syiiaapp bang! Btw, mau gue bawain makanan gak buat makan siang?” balas Bella dengan wajah yang ekspresif walau yang ia kirim hanya pesan text.
“Kagak usah. Kalau gak keberatan, lo bawain buat bakar-bakaran aja malemnya. Soalnya anak-anak ada scene malem. Suka laper katanya.” Cepat sekali Roni membalas.
“Okeyy!! Sekalian gue pesenin bajigur atau bandrek yaaa,”
“Ashiap bella cantik. Kita tungguin!”
Bella hanya tersenyum membaca balasan pesan dari bang Roni. Ia sangat bersyukur rekan satu timnya lebih terasa seperti keluarga. Rasanya Bella seperti memiliki banyak kakak di tempat kerjanya.
“Belsky… Lo lupa bawa paket buat abang Bimbim yaaa…” kalau ini sudah pasti pesan dari Inka.
“Astaga!!!!” Bella langsung terbangun saat mengingat titipan paket dari Inka untuk sang kakak.
Di antara teman-temannya, hanya Inka yang memanggil seorang Bima Andika Fauzi dengan panggilan Bimbim. Di luar itu, mereka memanggilnya Ozi.
“Maaf eoni, gue lupa…. Besok bang Ozi nganterin gue kok, gue kasiin pagi-pagi yaaa… Tolong jangan murka.” Panggilan eoni biasanya bisa meluluhkan hati Inka. Tentu saja, ia sangat suka dengan yang berbau korea.
“It’s okey belsky, besok gue tunggu depan pos satpam. Biar lo gak lupa ye kan?!” ada emot kiss yang ia sematkan di ujung kalimatnya.
“Baik eoni. Besok gue kabarin kalau udah sampe lampu merah terakhir menuju kantor.”
Emoticon hug berderet yang akhirnya di kirim Inka. Tidak terbayang seberapa erat Inka memeluknya. Bella hanya tersenyum melihat sahabatnya yang sangat ekspresif di chat ini.
Tiba-tiba, senyumnya terhenti saat melihat nama Rangga yang tersemat di deretan chat yang paling atas.
“My R” dengan emoticon hati warna hitam di ujungnya dan di beri label warna peach, warna favoritnya. Sengaja ia sematkan nama Rangga di kontaknya agar selalu paling atas. Dalam pikirannya Rangga adalah prioritasnya dan seseorang yang selalu ia nanti kabarnya walau tidak jarang ia di buat menunggu hanya oleh sebuah balasan pesan singkat huruf “Y”. Terkadang harus ia yang lebih dulu bertanya kabar atau mengabari laki-laki ini. Apa memang semua laki-laki bersikap seperti itu?
Seperti saat ini, sudah beberapa menit berlalu, Rangga belum memberinya kabar. Akhirnya Bella yang mengiriminya chat lebih dulu.
“Yang, udah nyampe?” tulis Bella. 5 menit lalu 10 menit pun berlalu tapi masih belum ada balasan.
Semakin lama di tatap ternyata layar ponsel makin membuat mata bulatnya mulai lelah, binarnya mulai redup. Ia melepas kacamata yang setiap saat setia membantunya untuk melihat lebih jelas. Cahaya dari layar ponsel membuatnya sedikit memincingkan mata.
Pesannya sudah terkirim namun belum di baca. Mungkin Rangga masih di jalan.
Lantas Bella beranjak dari tempat tidurnya. Menaruh kacamata di atas meja rias, melepas ikat rambut untuk kemudian ia cium rambut panjangnya.
“Huweeekkk!!! Mesti keramas ini.” Gumamnya, saat mencium bau asam dari rambutnya. Sedikit merapikan rambutnya di depan cermin, terutama anak rambut yang sedikit keriting di bagian pelipisnya.
Beberapa saat ia memandangi wajahnya yang kuyu dan lelah. Satu lagi jerawat tumbuh di dagunya pertanda ia akan segera bertemu tamu bulanannya.
“Haisshh, kapan sih bisa lancar mens tanpa harus ada jerawat dulu?” menekan-nekan jerawat yang masih memerah. Rasanya gatal ingin segera memecahkannya. Tapi kalau ia lakukan, mungkin besok ibunya akan mengomelinya,
“Adek, udah mamah bilang kalau jerawatan jangan di tekan dan di pecahin sendiri gitu. Mending ke klinik kecantikan, sekalian perawatan.” Kalimat itu yang biasanya di ucapkan Saras untuk mengingatkannya.
Bella jadi tersenyum sendiri. Klinik kecantikan bukan tempat yang bisa masuk dalam daftar prioritasnya saat ini. Yang masuk dalam prioritasnya adalah amplop-amplop tersusun rapi yang ada di dalam laci yang saat ini ia pandangi.
“Biaya bulanan, tabungan, cicil hutang dan lain-lain.” Kembali isi kepala Bella mengeja tulisannya sendiri.
Tidak ia pungkiri, gajinya bekerja di PH sangat lah cukup. Terlebih ia sering mendapatkan bonus kalau mengambil pekerjaan sampingan semisal membuat kerangka script untuk sebuah mini seri atau part tertentu dalam sinetron atau serial yang sedang di garap oleh PH nya. Seringkali ia membuat Synopsis cerita walau pada akhirnya, namanya tidak pernah muncul sebagai penulis script kendati begitu uang yang ia terima sangat lumayan.
“Semangat Bell, akan ada saatnya lo nikmatin apa yang udah lo dapet. Tapi saat ini, hang on, ada hal yang lebih dulu harus lo prioritaskan.”
Dengan tatapan berbinar di kaca, ia berusaha menyemangati dirinya sendiri.
“Ya, bertahan untuk beberapa saat lagi, hem?” di tepuk-tepuk bahunya sendiri dengan lembut, seperti tengah mengalirkan energi positif untuk perasaannya yang kadang terasa nelangsa. Saat ini, masih banyak yang harus ia pikirkan, alih-alih memikirkan dirinya sendiri.
Mungkin saja, besok ada rejeki lain yang bisa membuatnya lebih menikmati sedikit banyak hasil keringatnya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Biar pun rada kasar semua ucapan Ozi benar adanya
2023-02-07
1
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
si bungsu yg kuat dan pekerja keras, meskipun dimanja sama mama dan abang nya...
2023-02-03
1
Kristina Situmeang
kayaknya ozy feeling-nya gak bagus tentang Rangga deh
2023-01-23
1