Sebuah café menjadi tempat yang di tuju Bella dan Rangga saat ini. Selama perjalanan menuju café, tidak ada perbincangan berarti. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing yang pointnya adalah memikirkan kalimat security tadi.
Berpacaran hampir 8 tahun sudah memberi sangat banyak hal yang mereka lewati bersama. Melewati masa-masa yang membuat mereka semakin mengenal satu sama lain melalui pertengkaran karena masalah kecil, perbedaan persepsi dan kebiasaan hingga mimpi yang ingin mereka capai di masa depan.
Namun hingga hampir 8 tahun ini pula, belum terlihat jelas seperti apa arah hubungan mereka kelak. Bella yang akhirnya membiarkan semuanya mengalir begitu saja, memilih mengalihkan fokusnya pada pekerjaan dan begitu pun Rangga, segala usaha ia lakukan untuk mencapai cita-cita yang ia impikan sejak dulu yaitu menjadi band terkenal.
Bella tidak terlahir dari keluarga sultan dengan kekayaan yang melimpah sehingga tidak memiliki standar calon pasangan yang tinggi. Baginya, karena ia mencintai laki-laki itu maka ia akan bertahan sampai kapanpun dengan lelaki pilihannya.
Sementara bagi Rangga, saat ini yang terpenting adalah mewujudkan mimpinya terlebih dahulu agar kelak ia bisa di pandang pantas untuk menjadi calon pasangan yang ideal bagi wanita yang akan menjadi istrinya.
Hingga sampai di café, keheningan mereka baru pecah saat seorang waitress memberikan buku menu dan bertanya makanan apa yang akan mereka pesan.
“Saya mau Spaghetti aglio e olio aja mba sama jus strawberry. Kamu pesen apa yang?” perhatiannya beralih pada Rangga yang masih membolak-balik halaman buku menu tanpa menunjukkan ketertarikan lebih.
“Iga bakar sama jus jeruk.” Timpal Rangga, sekali lalu menutup buku menu.
“Baik, di tunggu ya kak.” Waitress itu pun pergi setelah mencatat menu pesanan Bella dan Rangga.
“Kamu belum makan yang?” Bella memandangi wajah Rangga yang terlihat lesu. Pesanan yang ia minta pun bukan lagi menu ringan. Padahal di jam seperti ini, Rangga jarang makan nasi karena harus menjaga bentuk tubuhnya agar tidak merusak barisan roti sobek yang susah payah ia bentuk di bagian perut dan dadanya.
“Belum. Tadi seharian aku jagain toko. Kebetulan mamah sama papah harus ngunjungin saudara yang sakit di Bekasi. Mau latihan band juga malah keburu kesorean.” Terang Rangga dengan malas.
Rangga berusaha meraih tangan Bella di hadapannya.
“Adek kemana yang? Tumben kamu yang jaga toko.” Berusaha menghindar saat ujung jemari Rangga berusaha menyentuh jemarinya.
“Apalagi selain mabar sama temennya.” Sahutnya semakin malas. Terdengar hembusan nafas kasar dari mulut Rangga yang menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi café. Ia menatap Bella dengan laman.
“Kamu kepikiran omongan security tadi bell?” tatapannya semakin tajam.
“Em, sedikit.” Bella tersenyum hambar. Tentu saja ia memikirkannya, karena ucapan yang serupa tidak hanya sekali ia dengar dari security tadi tapi sudah sangat sering dan dari banyak orang.
Rangga mengangguk paham. Ia pun memikirkan hal yang sama tapi tidak menyangka kalau yang Bella lakukan tidak hanya memikirkannya melainkan merubah sikap.
“Okey. Sekarang aku mau nanya,” Rangga mencondongkan tubuhnya mendekat pada Bella lantas menopang dagunya dengan kedua tangan.
“Selama kita pacaran, apa aku pernah terlihat berniat merusak kamu? Atau kamu merasa terancam karena ada di dekat aku?” pertanyaan itu yang kemudian di lontarkan Rangga tanpa mengalihkan tatapannya. Seperti mengunci Bella.
“Em, enggak. Nggak gitu yang.” Bella mulai salah tingkah.
“Aku ngerasa nyaman sama kamu. Aku juga seneng kamu selalu ada di samping dan di dekat aku. Kamu seperti obat pengar sekaligus minuman yang bisa membuat aku mabuk. Kadang aku yang takut sama diri aku sendiri.”
“Mungkin memang ada baiknya kalau kita mengurangi kontak fisik yang. Kamu inget kan kata pak sanusi tadi, semakin lama kita pacaran, setannya semakin hebat ngegoda kita.” Suara Bella terdengar pelan. Ia memperhatikan lingkungan sekitar dan tentu saja perubahan ekspresi wajah Rangga yang tersenyum tipis.
Rangga kembali menegakkan tubuhnya lalu bersandar.
“Okey, kalau itu mau kamu.” Suaranya terdengar kecewa.
“Yang, bukan gitu maksud aku.” Berganti Bella yang mencondongkan tubuhnya, ia tahu, mungkin Rangga tidak sepaham dengannya saat ini.
“Ya lalu?” sela Rangga, dengan tatapan dingin.
“Aku cinta banget sama kamu. Sering kali aku gak bisa mengontrol perasaan aku. Dan aku juga takut kalau aku gak bisa mengontrol apa yang aku lakukan. Itu maksud aku.” Bella tertunduk lesu dengan suara yang parau di ujung kalimatnya.
Terlalu cinta, membuat Bella mungkin akan memberikan apa saja pada Rangga tapi kesadarannya masih penuh, ia tidak bisa mendorong dirinya dalam hubungan yang lebih dari sekedar pacaran. Sedekat apapun hubungan mereka saat ini, prinsipnya masih terlalu kuat kalau ia hanya akan memberikan dirinya seutuhnya pada suaminya kelak.
“Kamu masih sama Bell, kamu masih belum bisa percaya sama aku.” Rangga menarik tubuhnya menjauh dari Bella lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
“No, bukan gitu.” Bella menggeleng lesu.
Rangga hanya mengendikan bahunya acuh. Beruntung pelayan datang membawakan makanan pesanan mereka sehingga perhatian mereka sedikit teralih.
Pasta dan iga bakar sudah tersaji di depan mata. Tampilannya yang cantik dan mengundang selera harusnya membuat keduanya menyantap makanan itu dengan segera. Tapi sepertinya, selera makan keduanya mulai memudar.
“Makan dulu yang,“ Bella memberikan sendok dan garpu pada Rangga.
Tanpa sepatah katapun Rangga mengambil besi couple itu dan mulai menyantap makanannya. Mereka makan dalam suasana hening. Rangga yang makan dengan tergesa-gesa entah karena lapar atau marah, dan Bella yang makan dengan perlahan sambil memandangi wajah kekasihnya yang tampak kecewa.
“Maafin aku yang,..” lirih Bella seraya memainkan pasta yang ia gulung dengan garpunya. Harusnya makan malam ini menjadi moment yang menyenangkan untuknya. Tapi sepertinya kali ini tidak.
*****
“Apa kamu pernah kepikiran kalau kita nanti nikah yang?” pertanyaan itu tiba-tiba di lontarkan Bella.
Beberapa saat lalu, mereka tiba di depan rumah Bella. Namun keduanya masih enggan beranjak. Antara tidak ingin berpisah dan saling membutuhkan, atau ada sesuatu yang belum selesai dan harus mereka bicarakan.
Bella menoleh Rangga yang duduk di balik kemudi dan tengah menatap ke depan sana. Lampu mobil ia matikan dan terlihat tangannya mencengkram stir kuat-kuat. Dahinya yang sedikit berkerut, seolah menegaskan kalau ia sedang memikirkan pertanyaan Bella.
Hampir 8 tahun pacaran, baru kali ini kalimat itu keluar dari mulut Bella. Pembicaraan tentang pernikahan selama ini baru di jadikan candaan dan bumbu romantisme. Tapi kali ini, sepertinya Bella benar-benar memutuskan untuk menanyakan hal ini pada Rangga.
“Iya tentu.” Sahut Rangga yang membuat senyum Bella langsung terbit. Laki-laki itu menoleh Bella lantas menatapnya laman.
Di raihnya tangan Bella untuk ia genggam lalu ia cium. “Tapi jangan sekarang-sekarang ya Bell.” Lirihnya penuh sesal.
“Kenapa?” wajah Bella berubah bingung.
“Aku cinta sama kamu, kamu juga cinta sama aku. Bukannya ujung dari setiap perasaan cinta itu adalah dikukuhkan dalam sebuah pernikahan?” Bella menatap lekat laki-laki di hadapannya yang masih asyik mengecupi tangannya tanpa menjawab pertanyaannya.
“Yang,,, Jawab dong! Kamu serius kan cinta sama aku?” Bella mulai merengek.
“Ya tentu aku cinta sama kamu. Hanya saja,” Rangga menjeda kalimatnya dengan hembusan nafas gusar. Suaranya terdengar melemah. Ia melepaskan genggaman tangan Bella dan beralih mengusap wajahnya kasar.
“Aku belum siap Bell. Aku belum siap.” Tegasnya dengan wajah frustasi.
Bella ikut menghembuskan nafasnya kasar. Ia menjatuhkan tubuhnya bersandar pada jok mobil. Matanya yang sendu menatap jauh ke depan sana, gelap dan tidak ada bayangan seperti halnya hubungan mereka.
“Belum siap karena apa? Apa waktu 8 tahun belum cukup buat kita mengenal satu sama lain?” lirih Bella dengan putus asa.
“Bell,..” Rangga kembali meraih tangan Bella, membuat gadis itu menoleh dengan wajah sedihnya.
“8 tahun memang cukup untuk kita mengenal satu sama lain. Tapi kamu tau kan, 8 tahun kebersamaan kita belum bisa membuktikan apa-apa?”
“Aku ngerasa, masih banyak hal yang harus aku raih dulu sebelum memikirkan pernikahan. Sampai sekarang aja aku gak tau aku harus menghidupi kamu darimana kalau nanti kita menikah. Dengan kondisi kayak gini, mana bisa aku nemuin keluarga kamu buat meminta kamu nikah sama aku. Aku bisa di anggap gila Bell,” ujar Rangga dengan frustasi.
“Kenapa sih patokan kamu itu selalu tentang material?” berganti Bella yang bertanya dengan kesal.
“Kamu anggap keluarga aku seperti apa sih? Mereka matre? Nggak Rangga!” imbuh Bella.
“Iya aku tau mereka gak matre tapi, mereka gak mungkin kan mempercayakan anak mereka sama pengangguran kayak aku?! Lagian pernikahan itu sulit Bell. Gak seindah di cerita-cerita dongeng. Inget, kita ngeliat mereka bahagia itu saat di resepsi, kita gak pernah tau setelah itu apa kesulitan mereka. Dan mungkin kita ngalamin hal yang lebih sulit dari mereka.” Rangga balas meninggikan suaranya.
Dengan mata berkaca-kaca Bella mengatupkan mulutnya. Hal tersulit dalam hubungan mereka adalah karena Rangga merasa tidak berada pada level yang cukup pantas untuk menjadi pasangannya.
“Kamu kok pesimis gitu sih? Ga, kamu percaya kan rejeki setelah menikah?” Bella mulai memelankan suaranya. “Ayo kita jemput itu sama-sama. Aku tau kamu udah berusaha keras untuk meraih mimpi kamu dan aku akan selalu ada di samping kamu. Bukankah saling menguatkan setelah menikah akan lebih melegakan?” bujuk Bella.
Melihat mata Bella yang berkaca-kaca membuat hati Rangga terrenyuh. Di usapnya wajah Bella dengan perlahan dan lembut.
“Bisakah kamu nunggu aku sebentar lagi? Paling tidak sampai aku mendapatkan hasil dari band aku. Aku butuh bekal buat terlihat layak di mata keluarga kamu. Aku tau, kamu sangat berharga buat keluarga kamu, maka aku pun ingin menunjukkan hal yang sama. Bisa kan Bell? Please….” Lirih Rangga seraya menggenggam kedua tangan Bella.
Melihat netra pekat milik Rangga yang di penuhi banyak kesungguhan, membuat Bella akhirnya luluh. Sebuah anggukan kecil dari Bella di sambut dengan sebuah pelukan dari Rangga.
“Makasih Bell, makasih untuk selalu ngertiin aku. Aku janji, aku akan berusaha lebih keras lagi. Aku mohon, tunggu aku sebentar lagi. Hem?” bisikan surga itu diucapkan Rangga tepat di telinga Bella. Seperti sebuah harapan baru bagi hubungan mereka kalau cinta keduanya kelak akan berlabuh dengan indah.
“Iyaa, aku akan nunggu kamu. Aku juga akan berusaha memperbaiki banyak hal yang kurang dari aku. Supaya gak cuma kamu yang merasa layak buat aku tapi akupun layak untuk kamu. Hem?” Bella mengecup bahu Rangga yang menopang dagunya.
“Tentu. I Love you Bell… With all I have.”
“I love you too, more and more.” Balas Bella. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan, melepaskan rasa rindu yang setiap saat selalu ada.
Merasa suasana sudah lebih baik, Rangga iseng menggoda Bella. Di kecupnya telinga Bella yang membuat gadis itu terkekeh geli.
“Yang, iseng ah kamu!” Bella memukul pelan lengan Rangga.
“Sorry kalau aku suka nyosor, habis kamu gemesin. Lagian kamu juga tau, bahasa cintaku adalah physical touch, sulit untuk menahan diri tidak memeluk atau memegang tangan kamu.” Terang Rangga tanpa melepaskan pelukannya.
“I know. But, walaupun bahasa cinta aku Acts of Service, tapi maaf buat saat ini aku tidak bisa memberikan apa yang belum seharusnya aku berikan.” Tegas Bella.
“Hem, yaaa okeeyy.. aku menghormati itu.” Rangga mengeratkan pelukannya sekali lalu mengusap punggung Bella dengan lembut.
“I really love you Bell,” lagi Rangga berucap dengan penuh kesungguhannya.
Bella melepaskan pelukannya. Ia lebih suka mendengar kalimat itu seraya menatap mata Rangga.
“Say it again,..” pintanya dengan segaris senyum malu-malu.
Rangga terlihat berusaha lebih tegas. Di tatapnya Bella dengan laman, membuat jantung Bella kembali berdesir.
“If I say it, can I get a kiss?” godanya seraya mencolek hidung bangir Bella.
Bella hanya tersenyum dan terangguk pelan.
“I love you.” Tegas Rangga seraya menatap mata Bella dengan hangat. Kalimat yang sangat cukup untuk Bella dengar.
Tanpa menimpali, Bella lebih memilih mengambil tasnya. “I’ll call you later. See you,.. Muach!” di kecupnya pipi Rangga sebelum ia menarik tuas pintu mobil. Wajahnya sudah memerah seperti tomat matang. Ia harus segera turun dan masuk ke kamarnya sebelum Rangga melihat kebodohan-kebodohan Bella karena salah tingkah.
“See you in my dream, Bell.” Timpal Rangga.
Bella tersenyum senang. Ia turun dari mobil. Berjalan di depan mobil dan Rangga langsung nyalakan lampunya untuk menerangi langkah Bella. Ia membalas lambaian tangan Bella dengan senyum terkembang. Matanya tidak berhenti memandangi Bella, hingga gadis itu berlalu pergi dan menghilang di balik pintu gerbang rumahnya.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Ririn
pernah punya cowok model Rangga, gak bisa ngasih kepastian dan akhirnya kita bubar
2023-04-07
1
Bunda dinna
Pacaran 8thn Bella Rangga masih belum bisa menemukan titik temu dari perbedaan prinsipnya..
2023-02-07
1
nengkirana
pacaran 8 tahun blom tentu jodohh...kita liat apakah bella rangga berjodoh
2022-09-09
1