“Di sini kak?” tanya pengemudi taksi online yang mengantar Bella pulang.
Laki-laki itu menghentikan laju kendaraannya saat tiba di titik antar sesuai aplikasi di layar ponselnya. Memperhatikan keadaan sekitarnya, karena ini merupakan pintu masuk sebuah perumahan yang terlihat sepi di tengah malam seperti ini.
“Iya. Ini,” Bella menyodorkan beberapa lembar uang cash untuk membayar.
“Makasih kak.”
“Rumah kakak sebelah mana, kalau masih jauh saya antar.” Rupanya driver taksi online mencemaskan Bella yang turun di tempat sepi semalam ini. Terlebih ia seorang perempuan.
“Gue emang turun di sini, jalan dikit juga sampe.” Ujarnya tersenyum simpul seraya memasangkan headphone ke lubang telinganya. Tidak lama suara dentuman musik terdengar. Ini sangat cukup untuk menemaninya berjalan.
Bella memang sengaja turun di pintu masuk perumahan. Ia ingin pulang mengendap-endap agar tidak membangunkan pengisi rumah. Ia sedang malas berdebat dengan Ozi soal dia pulang sendiri dan selarut ini.
Berjalan perlahan di trotoar di temani suara Taylor Swift yang melantunkan lagu Ready for it, rasa sepi dan hening Bella sedikit terobati.
Isi kepalanya kembali mengulang romansa saat tadi ia bertemu dengan Rangga. Rangga yang belakangan sedikit cuek karena sibuk dengan pekerjaan dan permasalahan hidupnya, membuat Bella harus menghela nafas dalam dan bersabar karena Rangga mungkin hanya sibuk dan lelah dengan kondisinya. Tidak benar-benar berubah.
Ia jadi teringat saat dulu Rangga yang begitu manis dan kerap bersikap romantis. Mungkin karena di bangku sekolah masalah mereka hanya tentang tugas yang menumpuk dan guru killer. Tapi sekarang, masalah tidak se-simple itu. Terlalu banyak masalah hidup yang seringkali membuat kita lelah. Dan Bella mencoba memahami itu.
“Tett tettt!” suara klakson mobil membuyarkan lamunan manis Bella. Senyum yang sebelumnya mengembang kini hilang.
Sedikit menoleh dan rasanya Bella mengenal mobil yang kini berhenti di sampingnya.
Kaca mobil turun dan tampaklah wajah Devan di bawah cahaya redup.
“Naik.” Titahnya tanpa menoleh pada Bella.
Bella cukup terhenyak. Entah dari mana asalnya laki-laki ini. Ia pikir saat tadi ia meminta Devan untuk pulang, mungkin dia sudah pulang dan tidur nyenyak. Tapi ternyata, laki-laki gondrong ini kini ada di hadapannya.
“Ngapain lo di sini? Bukannya tadi udah gue suruh balik duluan?” Bella menatap wajah laki-laki itu penuh selidik.
“Gue males denger lo berantem sama abang lo selarut ini.” timpal Devan dengan tenang.
Bella termenung berpikir. Dalam hatinya untung juga Devan masih berada di luar dan bisa membawanya pulang. Akhirnya ia memutuskan untuk ikut.
Duduk di samping Devan sambil sesekali memperhatikan laki-laki yang dingin itu.
“Gue ikut karena kepaksa ya.” “BRUG!” ujarnya yang di susul suara pintu mobil di tutup keras.
“Seat belt.” Dua kata itu yang jadi timpalan Devan.
"Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 106 ayat 6. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan." Cerocos Bella memotong kalimat Devan.
“Tapi pak devan, kita deket banget. Paling empat kilo doang.” Malas sekali ia memakai sabuk pengaman yang membuatnya merasa kesempitan.
Tanpa berkata-kata, Devan langsung menarik sabuk pengaman melintasi tubuh Bella dan menguncikannya di sisi kanan kursi Bella kemudian kembali duduk dengan tenang.
“ASTAGA!!!!” Bella sampai terperanjat.
“Lo seenaknya banget sih!!”
“Gak bisa gitu bilang permisi dulu!”
“Pelan-pelan nariknya. Lo lewatin badan gue. Kalau tangan lo,” kalimatnya terhenti dengan kedua tangan menutupi dadanya. Entah ia harus melanjutkannya atau tidak.
Nafasnya menderu karena kesal bercampur kaget. Ia memperhatikan reaksi Devan, tapi wajahnya tetap saja datar.
“Intinya lo jangan suka seenaknya! Gue bukan anak kecil yang lo kenal belasan tahun lalu.” tandasnya dengan hembusan nafas kasar membuat anak rambutnya ikut terbang. Di palingkannya wajahnya ke luar jendela dan berusaha mengatur ritme nafasnya agar melambat.
Dari pantulan kaca, ia melihat wajah Devan yang tenang dan tidak menjawab protesannya. Laki-laki itu memilih melajukan mobilnya di jalanan lurus lalu berbelok menuju sebuah halaman rumah yang gerbangnya masih terbuka.
Di depan rumah, sudah ada Ozi yang menunggunya. Saat laju mobil terhenti, laki-laki itu beranjak menghampiri dengan senyum leganya.
“Malem banget dek pulangnya.” Sapanya seraya mengusap pucuk kepala Bella.
“Hem, ada kerjaan.” Terpaksa ia sedikit berbohong pada sang kakak.
“Masuk gih. Kalian udah makan?” tumben tidak marah.
Bella hanya mengangguk pelan. Tentu saja ia sudah makan. Tapi Devan, ia tidak yakin.
Bella masuk lebih dulu, di susul Ozi dan Devan di belakangnya. Sayup-sayup ia mendengar percakapan kedua laki-laki itu.
“Thanks bro udah jemput bella. Pasti pegel banget nunggu dia lama ya?”
Tidak terdengar jawaban Devan , Bella yakini laki-laki itu paling hanya tersenyum. Tunggu, senyum? Seperti apa sekarang senyumnya?
Langkah Bella terhenti. Saat ia berbalik, ternyata sang kakak dan Devan sudah naik lebih dulu. namun suara mereka masih terdengar.
“Itu yang gue cemasin. Bella suka tiba-tiba pulang malem. Sekarang kantor gue gak searah, kalau gue mau jemput, mungkin dia yang bakalan nungguin gue. Gak tega juga.”
Suara kecemasan Ozi yang kembali ia dengar dan membuatnya tersenyum. Ozi selalu mencemaskannya padahal ia sudah dewasa dan bisa menjaga diri.
Suara kedua laki-laki itu pun tidak lagi terdengar. Berganti suara televisi yang berisi suara komentator bola.
Masuk ke dalam kamarnya lantas Bella membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bibirnya tersenyum saat bayangan wajah Rangga begitu dekat di pelupuk matanya. Ia menyentuh bibirnya sendiri saat teringat kecupan hangat yang di berikan Rangga padanya.
Lagi, Ia luluh. Ia merasa sebenarnya Rangga tidak berubah. Hanya keadaan yang terkadang membuat mereka saling berprasangka.
“Woooooo…. Goaaalll!!!” suara komentator di televisi kembali menghapus bayangan Rangga dari jendela mata Bella.
Ia beranjak untuk berganti baju dan mencuci muka. Malas sekali rasanya mandi di tengah malam begini.
Akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar untuk membuat minuman hangat. Tidak hanya satu yang ia buat, melainkan dua gelas susu hangat. Satu coklat dan satu lagi vanilla. Ya, susu vanilla ini akan ia berikan pada Devan, sebagai bentuk terima kasih karena laki-laki itu datang di waktu yang tepat, hingga ia tidak perlu berdebat dengan sang kakak.
Dan ia pun harus berterima kasih karena Devan tidak mengatakan hal yang tidak-tidak soal ia pergi ke tempat lain.
Mungkin ini salah satu keuntungan dari Devan yang tidak banyak bicara.
Seusai menapaki anak tangga yang membawa Bella ke lantai 2 rumahnya, tampak Devan yang terduduk sendirian di sofa sedang menonton tayangan bola. Tidak ada ekspresi yang berarti bahkan saat salah satu pemain berhasil menyarangkan bola di gawang lawannya. Entah itu tim yang di dukung Devan atau justru musuhnya. Yang jelas, ekspresinya datar saja. Tidak terlihat kecewa ataupun senang.
“Tuk.” Bella menaruh segelas susu di hadapan Devan.
“Buat lo.” Ujarnya.
Ia duduk di kursi samping Devan, lantas meneguk susu coklat miliknya sambil memperhatikan ekspresi Devan.
Devan tidak bergeming, melirikpun tidak. Bella melihat ke sekeliling setelah menaruh gelasnya. Tidak ada tanda-tanda kalau sang kakak masih terbangun. Lampu kamarnya sudah mati yang berarti Ozi sudah tertidur.
“Ehm!” Bella berdehem untuk menarik perhatian Devan . Laki-laki itu hanya melirik, menyandarkan tubuhnya yang semula duduk lebih tegak.
Seperti ia siap menyimak pembicaraan Bella.
“Gue dateng bukan mau ngajak ngobrol.” Mendekatkan gelas susu itu pada Devan.
“Cuma mau bilang makasih lo gak ngomong apa-apa sama abang.” Ia melanjutkan kalimatnya dengan tenang.
“Emm, bagus juga sih lo gak banyak omong. Terlepas itu karena lo emang orangnya acuh, gak peduli sama sekeliling lo atau karena gak mau ikut campur urusan gue. Gue tetep menghargai apa yang lo lakuin.”
“Gue jadi yakin kalau terkadang sedikit bicara itu emang lebih baik. Tapi,”
Bella menjeda kalimatnya dengan menghela nafas dalam, membuat Devan menoleh padanya.
“Besok-besok gak usah ngerepotin diri lo sendiri dengan nurutin semua maunya abang. Gue wanita dewasa dan bisa jaga diri gue sendiri. Gue akan selalu baik-baik aja. Hem?” tegasnya.
Devan tidak menanggapi. Ia memilih memalingkan wajahnya dan kembali melihat tayangan pertandingan bola sambil otaknya mulai berpikir.
“Gue harap lo paham. Makasih buat hari ini.” Imbuh Bella seraya berlalu pergi. Ia tidak menunggu sahutan Devan karena laki-laki itu sudah pasti akan diam saja.
Beberapa saat setelah Bella pergi, perhatian Devan berpindah pada segelas susu yang ada dihadapannya. Susu vanila kesukaannya yang sudah sangat lama tidak ia kecap rasanya.
Ia tersenyum kecil. Rupanya Bella masih mengingat rasa susu kesukaannya.
“Sama-sama…” lirihnya seraya memainkan gelas di hadapannya lalu meneguknya perlahan.
Rasa manis dan hangat mengisi tenggorokannya. Rongga perut yang semula dingin, kini menghangat. Satu, dua hingga tiga tegukan dan susu di gelas pun tandas.
Rasanya nikmat. Seperti bertemu kembali cinta pertama yang sempat hilang. Yang tersisa hanya rasa nyaman dan hangat.
Perlahan ia membaringkan tubuhnya. Menaruh lengannya di atas dahi dan mulai memejamkan matanya. Suara televisi tidak bisa mencegah pikirannya berpindah ke masa lalu. Masa di saat seorang gadis kecil menghampirinya dan mengulurkan tangannya,
“Bella,” ujar gadis itu. Gadis itu tersenyum, menunjukkan barisan giginya yang belum rapi karena sebagian baru tumbuh.
“Kamu temen abang kan? Aku adiknya bang Ozi. Kata mamah, selama mamah ke pasar aku main sama kamu.” Cerocos gadis itu sambil terus mengulurkan tangannya.
Berbeda dari hari ini, saat itu Devan tengah berada di taman belakang sedang memainkan bola sepak di tangannya.
“Mau temenan sama aku? Aku gak cengeng kok. Bisa makan sendiri, pergi ke toilet sendiri. Kalau mati lampu juga aku gak nangis. Cukup sembunyi di bawah selimut. Hehehe…” dia tersenyum ceria.
Devan hanya memandanginya saja saat itu. Terlalu mengagetkan ada anak SD yang mengajaknya berbincang dengan sangat santai.
Dan sampai hari ini senyumnya masih sama.
Saat di ruang makan, saat di tempat kerja dan berbincang dengan teman-temannya juga sesaat sebelum ia pergi meninggalkan kekasihnya. Semuanya masih sama. Ya, senyum itu sama dan masih selalu di kenang oleh Devan.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Mungkinkah Devan Bella pernah ada rasa?
Dan Devan terus mengikuti Bella ke tempat Rangga
2023-02-08
2
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
berarti tadi devan yg ngeliat bella sama rangga ya
2023-02-05
1
H!@t>🌟😉 Rekà J♡R@
Devan cinta monyetan ama Bella yaa...
2022-12-19
1