Keluar dari ruangan Eko wajah Bella masih terlihat tegang. Beberapa kali ia menghela nafasnya lebih dalam untuk menjernihkan pikiran namun perasaannya belum kunjung membaik.
“Belsky, lo kenapa?” Inka langsung mengajaknya duduk.
“Lo baik-baik aja kan?” di bawakannya botol minum milik Bella yang kemudian ia sodorkan.
Bella meneguk beberapa kali air minum yang terasa dingin membasahi tenggorokannya.
“Pak eko ngomong apa sama lo? Tentang film ya?” tebak Inka.
“Lo udah tau?” suara Bella terdengar parau.
Inka terangguk pelan. Tentu saja, Inka pasti tahu karena ia mengenal benar Eko.
“Jujur, beberapa hari lalu om eko main ke rumah. Dia minta tolong sama bokap buat ngasih bantuan dana ke PH ini karena kondisi keuangan PH yang gak stabil.”
“Bokap sih gak langsung mengiyakan, tapi dia nyuruh om Eko buat nemuin temen lamanya yang katanya lagi nyari rekanan, buat anaknya gitu. Ya akhirnya om eko ketemu dan sepertinya mereka bikin kesepakatan buat produksi film berdasarkan synopsis yang lo bikin Bell.”
“Sorry, gue emang nyaranin om eko buat ngajuin judul berdasarkan synopsis lo dan lo sendiri yang nulis script-nya. Karena gue pikir, cuma lo yang bisa. Lo inget kan berapa synopsis lo yang akhirnya berantakan karena di terusin orang lain? Sayang Bell, padahal ceritanya bagus-bagus.” Sebuah bujukan akhirnya Inka lakukan.
Di genggamnya tangan Bella untuk meyakinkan sahabatnya.
“Sorry juga karena gak ngomongin dulu ini sama lo. Tapi pernah gak sih lo mikir, ini tuh rugi banget. Lo yang punya cerita bagus, di kembangin sama orang lain. Kalau bagus, dia yang dapet pujian tapi giliran jelek, lo pun ikut di hakimi sama orang-orang yang tau itu synopsis lo.”
“Lo gak kangen apa nama lo muncul lagi credit title sebagai penulis?” Pertanyaan Inka membuat Bella kembali tercenung.
Inka, selain rekan satu timnya, ia merupakan keponakan dari Eko pemilik PH tempat Bella bekerja saat ini. Keluarga Inka adalah keluarga dari pemilik industry perfilm-an. Ayah Inka memiliki sebuah PH yang saat ini sedang diteruskan oleh kakaknya.
Maka, Inka yang sudah di anggap anak sendiri oleh Eko, akhirnya memutuskan untuk membantu sang paman di PH-nya.
Lalu, mendengar ucapan Inka, Bella jadi memandangi tangannya sendiri. Jemari yang sangat terbiasa menulis cerita, membuat synopsis, plot cerita, hingga sebuah skrip itu, kini mengepal. Jemarinya terlalu mengenal barisan alfabeth di keyboard komputernya yang terhubung dengan imajinasi di kepalanya. Namun, 4 tahun lalu ia memutuskan untuk berhenti menulis skrip.
“Lo masih takut?” Inka bisa membaca air muka Bella yang muram. Ada keinginan dan ketakutan yang beradu jelas terihat di wajahnya.
Anggukan kecil Bella membuat Inka yakin, Bella masih menyimpan ketakutannya.
“Gue gak mau lagi tenggelam di cerita yang gue bikin ka.” Ujarnya parau.
Rasa berdebar saat membayangkan ia kembali menulis, jelas terasa di rongga dadanya. Namun seperti ada sesuatu yang menahannya dan mengharuskan ia menghentikan imajinya saat menulis.
“I know.” Di usapnya bahu Bella yang terlihat tegang.
“Gue memang gak sepenuhnya memahami rasa takut lo Bell. Tapi, gue pun pernah merasakan rasa takut. Dan gue inget, lo yang selalu nyemangatin gue kalau gue lagi down atau merasa takut dan gak percaya diri. Ketakutan itu harus di hadapi bukan?”
“Lagi pula, Sinopsis lo kali ini bukan tentang drama keluarga Bell, tapi tentang romansa orang-orang di zaman kita. Gue rasa, kalau pun ada hal yang membuat lo tenggelam dalam skrip yang lo bikin, kelak lo tetap bisa menepi. Gue yakin.” Kali ini Inka menepuk lembut bahu Bella untuk menyemangatinya.
Terlihat senyum kecil di bibir Bella. Inka benar, ini hanya tentang cerita romansa, bukan script tentang sebuah keluarga. Bukan tentang alur yang bisa membuatnya kembali jatuh ke titik nadir kehidupannya.
“Gue harus pindah departemen lagi kalau gitu.” Lirih Bella.
“Hahahaha…. It’s okey Belsky.” Dipeluknya Bella dengan erat.
“Lo ada di departemen Artistik pun sebenernya jiwa lo sepenuhnya ada di departemen penyutradaraan, iya kan?” ledeknya
“Sialan lo!” dicubitnya lengan Inka yang membuat gadis berambut ikal itu melepaskan pelukannya.
“Hahahaha… Candaaa Bell…"
"Gue tau kok, lo selalu totalitas di bidang apapun. Mau itu temenan sama komputer atau pun sama bang Roni dan bang Romi, lo tetap Bella yang professional dan totalitas dalam pekerjaannya. So, don’t be scare okey?! Keep it up!” Lagi Inka berusaha menyemangati.
“Hem, thanks ka.”
“Sama-sama Bell..”
Keputusan akhirnya di buat Bella. Kedua sahabat itu saling berangkulan,
“Emmm…. Gue bakal kangen makan siang sama bos gue yang jutek ini….” Ungkap Inka sambil bergoyang-goyang seraya memeluk Bella.
“Hahahaha… Paling nggak, gue bisa makan dengan tenang karena bisa makan tanpa di liatin cowok-cowok di kantin.”
“Hahahahha Bell, mereka bukan cuma liatin gue kok. Liatin lo jugaaa…” Inka terbahak.
Ia jadi ingat keluhan Bella yang merasa tidak nyaman karena di tatap banyak mata laki-laki. Mereka adalah para fans Inka yang terkenal paling cantik di PH ini.
“Liatin apanya dari gue? Liatin ukuran tangan yang makin gede?” ia melepaskan pelukan Inka yang begitu erat.
“Hahahaha… Tapi jangan salah, lo tuh walaupun berisi, tapi tetep ada bentuknya. Enak di liat, hahaha….”
“Akh bilang aja lo mau ngeledek tapi gak tega.”
“Hahahahaha…”
Mereka asyik tertawa sampai akhirnya suara langkah kaki dari steleto terdengar mendekat. Melisa dan Rini rupanya. Rini senyum-senyum tidak jelas saat melewati Bella dan Inka.
Tunggu, rasanya Bella mengenal laki-laki yang berjalan di belakang dua wanita itu.
“Elo?!” tunjuk Bella, pada laki-laki gondrong yang tidak lain adalah Devan.
“Sok kenal lo Bell! Emang lo pikir dia siapa?!” sengit Rini langsung menghadang Bella.
“Lo kenal Bell?” Inka ikut penasaran, mendapati Bella begitu terkejut melihat laki-laki berekspresi datar itu.
“Hem, tau.” sahut Bella dengan yakin. Ia hanya tak yakin dengan alasan Devan masuk ke kantornya.
Diperhatikannya Devan yang menatapnya dengan segaris senyum samar.
“Tau dari mana lo Bell?” lagi, Rini seperti tidak terima Bella mengenal laki-laki tampan di belakangnya.
“Iya, lo tau dari mana?” Melisa ikut bersuara. Melihat Bella yang mengenal Devan seperti mengusiknya.
“Ladies, kok ribut di sini?” beruntung Eko datang untuk menengahi, membuat Melisa dan Rini langsung terdiam, terpaksa menahan rasa penasarannya beberapa saat.
“Bro Devan ya? Halo perkenalkan saya eko.” Dengan ramah Eko mengulurkan tangannya.
“Selamat pagi pak eko.” Suara bass milik Devan terdengar jelas, membuat Rini kontras terlihat mengeram gemas.
“Wah selamat datang di PH kami ini. Senang bro Devan mau bergabung. Ayo kenalkan dulu, ini bro Devan, dia sutradara muda yang akan bergabung di PH kita. Dan ini, Bella, dia akan masuk ke departemen penyutradaraan mulai hari ini, sebagai script writer project film kita. Ini inka di departemen Artistik dan mereka berdua, tentu bro Devan sudah berkenalan yaa…” terang Eko.
“Hah, Bella gabung di departemen kita lagi pak?” protes Rini yang terkejut.
“Iya, kenapa, apa ada masalah?” Eko menanggapinya dengan santai saja.
Posisi sutradara yang beberapa hari ini kosong, membuat Eko kesulitan memberitahukan beberapa perubahan personil di PH nya. Ia pun belum bisa memastikan apa Bella bersedia atau tidak pindah ke departemen Penyutradaraan.
Dua wanita itu kompak menggeleng, walau tatapannya kini beralih pada Bella yang masih terlihat terkejut.
Tentu saja, bagaimana bisa tiba-tiba laki-laki yang tadi pagi hanya berniat mengantarnya bekerja, sekarang jadi bosnya. Devan memang mengatakan akan bekerja, tapi tidak disangka kalau ia akan bekerja di tempat yang sama dengan Bella.
“Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kalian sudah saling mengenal?” pertanyaan Eko seketika membuyarkan daftar pertanyaan di kepala Bella.
Otaknya mendadak berhenti berputar.
“Em, kami..” Bella menatap Devan yang terlihat tenang saja. Padahal ia butuh bantuan jawaban.
Mana mungkin ia mengatakan kalau mereka tinggal serumah? Apa menceritakan kalau laki-laki ini teman dari kakaknya akan di percaya oleh Rini dan Melisa yang menatapnya tajam?
Bella kehabisan akal.
“Ya sudahlah… Tidak penting kalian saling kenal dari mana. Yang terpenting, kalian bisa bekerja sama ya… Ayo kita ngobrol di ruangan saya.” di tepuknya bahu Bella oleh Eko.
“I iya pak.”
Fiuh, syukurlah… Akhirnya Eko sendiri yang mengakhiri kecanggungan ini.
****
Sudah waktunya pulang, namun tidak terlihat tanda-tanda Bella keluar dari kantor. Devan sudah lebih dulu duduk di dalam mobil dan menunggu Bella pulang.
Walau sudah satu departemen, tapi seharian ini mereka jarang bertemu. Bella lebih banyak menghindar dengan alasan ingin menyelesaikan dulu pekerjaannya dengan tim yang sebelumnya.
“Maaf pak Devan, saya izin menyelesaikan dulu pekerjaan saya dengan departemen Artistik.” Itu pamitnya tadi pagi dan hingga sore, belum kembali ke mejanya. Ia tahu, itu hanya alasan Bella saja.
“Nunggu siapa mas Devan ?” tanya petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikannya dari pos penjagaan.
Ia melihat sudah lebih dari setengah jam Devan berada di dalam mobil seperti menunggu seseorang.
“Bapak liat Bella?” ia beranikan diri untuk bertanya.
“Oh mba Bella udah keluar dari tadi sama temen-temennya. Katanya mau makan-makan di luar. Saya juga di ajak tapi masih jaga. Katanya ya sudah nanti di bungkusin.” Penjelasan petugas keamanan satu ini memang selalu detail.
“Bapak tau tempatnya?”
Laki-laki itu tampak berpikir. “Hyung cafe. Café korea gitu mas Devan . Ada Kimchi, Bibimbap, Bulgogi, Kimbap, Jjangmyeon pokoknya banyak dan enak-enak deh. Saya pernah ke sana waktu anak saya yang SMP ulang tahun. Katanya itu tempat favorit anak-anak sekarang. Bisa karokean juga mas di sana. Makanan yang menurut saya paling enak,”
“Sorry, tempatnya sebelah mana?” Devan mulai bosan dengan penjelasan petugas keamanan yang selalu panjang lebar.
“Oh, di perempatan lampu merah sana nanti mas Devan ke kanan, nah ada bunderan di situ tapi belok dulu ke kiri, jangan ikut ngelilingin bunderan. Ada lampu merah lagi nanti mas Devan ke kanan lagi. Sebenarnya bisa sih dari sini ngambil jalur ke arah kampus tapi,”
“Baik terima kasih informasinya.” Devan sudah tidak bisa lagi bersabar. Ia segera menginjak pedal gasnya dan mobil pun melaju ke jalanan yang ramai.
“Yaaahhh… mas Devan main pergi aja. Padahal saya mau ngasih tau, kalau pakai jalur yang lurus nanti takut kena macet.” Keluh laki-laki paruh baya itu tanpa rasa bersalah.
Hari sudah mulai malam saat Devan tiba di depan café yang dicarinya. Setelah mengikuti arahan petugas keamanan ternyata hanya perlu berjalan lurus sejauh 4 kilo dan belok kanan ia sudah sampai di tempat tersebut.
Penjelasan ngalor ngidul dan tidak jelas itu membuat Devan harus berkeliling sekitaran kantornya untuk mencari café tersebut.
Dari tempatnya berada ia melihat keberadaan Bella di dalam cafe yang di tata artistic dengan jendela kaca besar-besar di hiasi berbagai ornamen ala Korea. Ia sedang berkumpul dengan rekan-rekan satu timnya. Sepertiya benar kalau mereka sedang mengadakan farewell party untuk perpisahan dengan Bella. Mereka tampak berbincang dengan seru, tertawa bersama dan sesekali terlihat sedih lalu berangkulan.
Devan jadi ikut terbawa suasana hati mereka. Melihat Bella yang tertawa lepas ia jadi ikut tersenyum. Bisa ia bayangkan suara tawanya yang renyah seperti dulu. Hah, kadang ia rindu suasana saat mereka masih kecil. Sayangnya semua hanya bisa di kenang tanpa bisa di ulang.
Jika di perhatikan, dalam tim Bella memang di dominasi oleh kaum adam. Hanya ada 4 orang Wanita dan sisanya laki-laki. Mungkin ini alasan kenapa Eko mengatakan kalau Bella adalah ratunya di departemen Artistik. Dia benar-benar di jaga oleh banyak laki-laki.
“Tring” suara pesan masuk mengalihkan perhatian Devan. Sebuah pesan dengan pengirim Ozi langsung ia buka.
“Van , lo masih nunggu Bella?”
“Katanya dia ada farewell party sama temen-temennya, lo balik aja duluan takut dia lama. Nanti biar gue kirim taksi online buat anter dia pulang.”
Begitu isi pesan yang di kirim Ozi.
Devan hanya tersenyum. Ozi memang sangat menjaga adiknya. Entah apapun alasan hingga seolah ia tidak yakin kalau Bella sendirian. Yang jelas kata-kata Ozi tempo hari akan selalu Devan ingat.
“Selain nyokap, Bella satu-satunya yang gue punya. Dan gue gak mau ada yang nyakitin dia. Maka, gue harus jaga dia dengan taruhan apapun.” Begitu penuturannya dengan penuh kesungguhan.
“Okey, gue balik.” Satu balasan pesan ia kirimkan pada Ozi.
Saat baru akan menyalakan mesin mobil, tiba-tiba saja dua orang wanita memandanginya. Salah satu terlihat sedikit terhuyung. Dari pakaiannya yang glamour, sepertinya mereka bukan orang biasa.
“Mana coba mana, cowok yang sekarang jadi guardian angel lo.” Ucap salah satu wanita, menantang rekannya. Dari suaranya terdengar sedikit mabuk.
“Hahahahha… Tuh di sana.” tunjuk Wanita satunya, menunjuk Devan.
“Waaaww cakep jugaa…” mereka berlari kecil menghampiri Devan.
“Hay,..” ucap wanita berambut panjang yang kini membungkukkan tubuhnya pada Devan.
“Lo Satya kan? Kenalin gue Feby, temennya Jihan.”
Wanita itu langsung mengulurkan tangannya tidak peduli pada ekspresi kaget Devan.
Devan melihat wanita di belakangnya. Seperti memberi kode-kode agar ia mengiyakan ucapan wanita itu.
Bukan Devan namanya kalau main mengiyakan saja
“Sorry, lo salah orang. Tolong permisi.” Jawabnya dengan tegas, seraya menunjuk lengan wanita Bernama Febby itu agar tidak bertumpu pada pintu mobilnya.
Wanita itu menatap Devan dan wanita Bernama Jihan dengan bingung.
“Lo salah orang? Apa ngaku-ngaku? Hahahaha…” Febby tertawa terbahak mendengar ucapan Devan.
“Dih ya nggak lah.” Jihan segera mendekat pada Devan. Menarik Feby sedikit menjauh agar bisa berbicara dengan leluasa.
“Yang, aku pasti keliatan beda karena rambut baru sama pake baju ini kan? Ini aku, jihan.” Jihan bersikukuh seolah mengenal Devan.
Bibirnya komat-kamit meminta tolong, “Please iya in dulu, supaya dia pergi.” Pekiknya penuh harap.
Devan hanya menggeleng.
“Permisi, tangan anda.” Kali ini ia menunjuk tangan Jihan yang memegang tangan Devan.
“Oh sorry, tapi…”
Saat Jihan sedikit menjauh, dengan segera Devan memindahkan tuas persneling dan dalam hitungan detik saja, ia pergi meninggalkan dua wanita itu.
“Satya!!!!” teriakan Jihan yang terdengar namun ia abaikan.
“Gila! Dasar wanita pemabuk!!” dengusnya kesal. Ia mengusap tangannya yang tadi di pegang wanita bernama Jihan tersebut dengan tissue.
Tidak ada yang boleh menyentuhnya sembarangan.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 253 Episodes
Comments
Bunda dinna
Bella malah jadi bawahan Devan..mau menghindar ke mana lagi Bell?
2023-02-08
2
N⃟ʲᵃᵃB⃟cQueenSyaⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
jadi penasaran dulu mereka pisahnya pas umur brpa
2023-02-05
1
dear no one
eh Devan sutradara ternyata
2022-08-27
4