“Kelimanya saat ini sedang bersekolah, yang paling tua sedang berkuliah, tuh ! Neng Ranita yang bantuin biaya kuliahnya.”
“Aah Mamang ! Jangan diungkit-ungkit Doong ! Aku kan jadi malu didepan Niko ?”
“Kenapa harus malu Neng, itukan amal lahiriah Neng Ranita yang harus Mamang syukuri.”
“Iya, tapi jangan dibilangin dong ! kan dengar Niko !”
“Nggak apa-apa, Aku nggak bilang siapa-siapa kok !” jawab Niko pelan.
“Benar ? Kamu tutup mulut ?”
“Iya !” jawab Niko seraya mengangkat dua jari tangannya.
“Agar Neng Ranita ketahui, bahwa uang yang Neng kasih hari itu, masih bersisa.”
“Apa ? masih bersisa ?”
“Iya Neng, Uang itu hanya Mamang pakai untuk tambahan sekolah anak-anak aja.”
“Wow, Mamang hemat juga ternyata. Tapi apa Mamang tau tujuanku datang kesini ?”
“Kagak Neng, emangnya tujuan Neng Ranita datang kesini ngapain ?”
“Ini Mang, Aku bawa sedikit uang untuk Mamang, untuk tambahan biaya kuliah Alhuda. Terima ya Mang, jangan di tolak !” kata Ranita seraya menyodorkan amplop yang ada ditangannya, kehadapan Mang Ojo.
“Waduh, Neng ! Mamang jadi malu ama Neng Ranita, selalu aja nyusahin.”
“Nggak Mang, Aku malah senang dapat membantu orang yang sedang membutuhkan pertolongan dariku.”
“Tapi, kayaknya berat ini Neng !”
“Hanya sepuluh juta, Mang !”
“Apa ! Sepuluh juta ?” jawab Mang Ojo kaget.
“Uang sepuluh juta itu nggak ada artinya bagiku Mang bila dibandingkan dengan ilmu yang ku dapat dari Mamang selama ini. Lagian ini semua uangku kok, Mang ! Mamang nggak usah kuatir.”
“Ya ampun Neng, kenapa Neng Ranita begitu perhatian sekali ama Mamang, padahal Mamang nggak pernah berbuat apa-apa untuk Neng Ranita ?” Kata Mang Ojo seraya tertunduk. Mamang jadi ngerepotin kalian.”
“Mamang tau kagak ? dalam kehidupan keluarga Mamang, Aku menemukan arti hidup yang sesungguhnya, yang tak pernah kudapat dari rumahku sendiri.”
“Terimakasih Neng.” ucap Mang Ojo terharu.
“Sama-sama Mang. Nah kalau gitu, Aku pamit pulang dulu.”
“Iya Neng hati-hati dijalan !”
“Iya Mang !” jawab Ranita seraya meninggalkan rumah Mang Ojo.
Setelah kepergian Ranita suasana tampak hening, semua sedang terharu dan hanyut oleh perasaan masing-masing. Menyusul Niko pun undur diri, meninggalkan tempat kediaman Mang Ojo.
Sementara Mang Ojo masih duduk bersimpuh di lantai rumahnya, seakan tak percaya dengan amplop yang dipegangnya.
Perlahan amplop itu dibukanya, benar saja setelah di hitung uang itu ternyata ada sepuluh juta rupiah.
Kemudian atas persetujuan istri dan kelima orang anaknya , uang itupun dijadikan modal untuk buka usaha dagang.
Kebetulan Fatma istri Mang Ojo sangat pintar memasak. Jadi Mang Ojo dan Fatma tak perlu lagi berjualan kacang rebus dan bekerja sebagai pemulung. Uang dari hasil berdagang bisa ditabung untuk biaya sekolah kelima anaknya.
Keesokan harinya, Fatma sekeluarga mulai bekerja sama, membuka sebuah warung nasi, awal mulanya, Fatma hanya memasak untuk beberapa porsi saja.
Namun untuk hari-hari selanjutnya warung nasi milik Fatma semakin rame pengunjung, sehingga Fatma sekeluarga kewalahan untuk melayani para pelanggan.
Hingga akhirnya Mang Ojo mencari karyawan baru untuk membantu istrinya dalam berjualan.
Sebulan kemudian warung yang baru dibuka itupun laris manis, Fatma ternyata pintar sekali memasak, sehingga dia tak pernah sepi pembeli.
Setiap hari para pembeli datang silih berganti, disamping warung nasi milik Mang Ojo, ada kios sembako yang isinya sangat lengkap sehingga para penduduk Kawasan kumuh tak perlu jauh-jauh berbelanja.
Seperti biasa, pagi itu Mang Ojo pergi berbelanja ke pasar, karena itu sudah menjadi tugas rutin Mang Ojo setiap harinya.
Sedang asik memilih sayur, Mang Ojo melihat seseorang sedang membaca koran, sesekali pria itu melihat kearah Mang Ojo dan kembali membaca korannya.
Tak berapa lama kemudian pria itupun datang menghampiri Mang Ojo.
“Bukankah ini wajah Bapak ?” tanya pria itu seraya memperagakan koran yang dipegangnya.
“Ya, Itu wajah saya, tapi kenapa ada di koran ?” tanya Mang Ojo heran. “Siapa yang menulisnya, ya ?”
“Kalau itu, Bapak bisa baca sendiri !”
“Boleh korannya saya pinjam ?” Tanya Mang Ojo.
“Nggak usah di pinjam, Bapak boleh ambil kok,” kata pria itu.
Kemudian Mang Ojo membaca tulisan yang ada di koran itu.
”Pedagang keliling protes kenaikan BBM” dan kemudian melanjutkannya sampai habis.
“Maaf Nak ? Koran ini masih dibaca ? “Tanya Mang Ojo sambil mengacungkan lembaran koran di tangannya pada pria itu.
“Kalau Bapak mau ambil aja” ujar pria itu.
“Terimakasih ya Nak !”
“Ya sama-sama.” Jawab pria itu kemudian.
Mang Ojo kemudian berlalu dari tempat itu, dan dia pun bergegas pulang. Sesampai dirumah, dibukanya kembali koran itu dan diulanginya membaca sekali lagi.
“Aneh, siapa yang menulis semua ini ya ? Perasaan, aku nggak pernah jumpa wartawan, apa Neng Ranita ya ? Ah nggak mungkin, atau apa mungkin Den Niko ? Wah, ku rasa ini pasti ulah si Niko, tapi nggak apalah sesekali biar suara rakyat kecil didengar pemerintah.” Kata Mang Ojo pada dirinya sendiri.
Sementara itu dikawasan perumahan elit, Ranita sedang asik menonton televisi, kemudian dia melihat demo para buruh didepan istana negara.
Dalam unjuk rasa itu, Ranita melihat Niko Bersama Mang Ojo sedang bicara, sepertinya wartawan itu menggunakan kamera tersembunyi. Dan kata-kata Mang Ojo yang mengkritik tentang kenaikan BBM, sangatlah masuk akal.
Betapa tidak, seandainya memang benar gaji para pejabat negara yang puluhan juta itu dipotong sedikit perorang, maka akan dipotong pula gaji ribuan pejabat negara mulai dari pegawai tingkat menengah sampai pejabat negara tingkat tinggi, termasuk seluruh pemimpin-pemimpinnya.
Pasti BBM tak perlu naik dan pengemis bisa hidup sederhana. Hilang lah kemiskinan yang mengakibatkan korban jiwa karena tak makan atau tak bisa berobat.
“Hebat, hebat ! Mang Ojo hebat, aku salut padanya.” Ujar Ranita pada dirinya sendiri.
Selang beberapa hari setelah pemberitaan di koran, di majalah dan bahkan di televisi disiarkan ke berbagai daerah, mulai dari pelosok desa sampai ke perkotaan, maka secara tidak langsung masuklah berita itu kedalam istana negara.
Berita itu datang, lewat celah sempit tembok-tembok istana yang tinggi dan megah.
Mang Ojo pun menjadi pusat perhatian baik dikalangan rakyat biasa, pejabat negara, bahkan penghuni istana.
Mang Ojo pria penjual kacang rebus dengan istri seorang pemulung dan pengumpul nasi bekas punya tiga orang putra dan dua putri. Secara tak langsung telah mengkritik negara dengan kata-kata yang lembut tapi tajam.
Seorang reporter swasta datang menemui Mang Ojo dikawasan kumuh tempat yang dulunya dijauhi dan dihindari oleh para pejabat tinggi negara yang kini telah menjadi pusat perhatian dan pemberitaan. Yang sangat mengejutkan.
Betapa tidak, diluar dugaan semua orang ternyata dikawasan kumuh itu, ada tumpukan harta yang tak pernah terjamah oleh orang-orang penting.
Ketika mereka memasuki rumah Mang Ojo lebih jauh lagi kedalam, bagai sebuah mimpi, ruangan yang sempit itu sangat unik sekali, sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Begitu banyak penghargaan yang terpendam didalamnya. Yang lebih mengejutkannya lagi para penghuninya adalah lulusan sarjana ekonomi yang bahkan pernah mengabdikan dirinya sebagai direktur sebuah bank di luar negri, yang selama ini mereka sekeluarga mengkonsumsi nasi aking.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dwi sonya
wah Bu Fatma ternyata lulusan sarjana ekonomi
2023-07-31
0
AbyGail
Aku jg kaget mang, baik amat Ranita, brp uang jajannya ya?
2022-11-14
1
Iril Nasri
fatma memasak dengan hati, tu makanya enak,,😁😁😁 ,, walau pun dalam khayalan saja,, he hehe...
2022-10-08
1