Sambil senderan pada sebatang pohon, Fatma mulai merasa ngantuk tapi saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh suara seorang wanita yang menghardiknya.
“Hei! pengemis tua, pergi sana! udah dekil, bau pula, bikin sial dagangan saya!”
“Baik Bu, saya akan pergi,” jawab Fatma menjauhi tempat itu.
Disaat melintas di depan pedagang bakso keliling, tiba-tiba saja wajah Fatma disirami degan segelas air, spontan Fatma pun gelagapan di buatnya.
“Astaghfirullah, ada apa ini? Kok saya disirami, emangnya saya salah apa, sama Ibu?”
“Salah Ibu, iya! Salah Ibu mendekati dagangan saya, bawa sial tau! Pergi sana, jauh! bikin rugi saja!”
“Ya Allah! kejamnya mereka, kalau setiap pedagang bersifat seperti itu, maka rusaklah akidah di bumi ini,” gumam Fatma pelan.
Karena diusir Fatma pun menjauhi pedagang bakso itu, rasanya begitu berat sekali perjuangan yang dia lakukan, hanya demi sesuap nasi.
Hati Fatma terasa sakit sekali, dengan kejadian yang baru saja dia alami, tak ingin berlama-lama, Fatma langsung menuju ketempat penadah barang rongsokan, untuk menjual hasil pencariannya selama setengah hari itu.
Setelah semuanya ditimbang, Fatma hanya mendapatkan upah sebanyak lima ribu, sebenarnya tak sepadan dengan penderitaan yang dialaminya hari itu.
Baik Mang Ojo maupun Bu Fatma serta kelima orang anaknya, mereka sama-sama memiliki problem yang berbeda. Tapi seberat apapun masaalah yang mereka hadapi, namun mereka tak ada yang boleh membawanya pulang. Harus hilang dan berakhir saat melangkah memasuki pintu rumah.
Rumah bagi Mang Ojo dan keluarganya adalah surga dunia. Tempat beristirahat dan tempat berbagi perasaan. Mang Ojo melarang keras keluarganya masuk rumah dengan raut wajah cemberut, semua harus tampak ceria.
Suatu hari, ketika Mang Ojo berkeliling di pertigaan lampu merah, Mang Ojo kemudian dikejutkan oleh suara gaduh dari arah timur kota Jakarta, banyak orang yang berlarian menghindari suara gaduh itu.
Mang Ojo pun memberanikan diri bertanya pada salah seorang pemuda yang kebetulan melintas di depannya.
“Ada apa sih, Den? Kenapa semua orang pada berlarian?” tanya Mang Ojo heran.
“O, itu. Ada tauran Pak!” jawab pemuda itu.
“Ooo, tawuran. Dimana tawurannya Den?”
tanya Mang Ojo penasaran.
“Tuh! mereka sedang menuju kemari,” kata pemuda itu seraya menarik tangan Mang Ojo untuk menjauh dari tempat itu.
“Aduh Den, kenapa narik-narik tangan Mamang! Nanti kalau Mamang jatuh gimana?” teriak Mang Ojo.
Namun pemuda itu tak memperdulikan seruan Mang Ojo, dia terus berlari sejauh-jauhnya. Setelah merasa jauh, baru pemuda itu berhenti dan melepaskan genggaman tangan Mang Ojo.
Melihat pria yang digandengnya merasa keteteran, pemuda itupun menolong mengangkat kacang yang dibawa Mang Ojo.
“O iya, Pak. Sebaiknya kita istirahat dulu disini!” kata pemuda itu sembari mencari tempat duduk.
“Emangnya siapa yang tawuran sih, Den?”
“Itu anak-anak SMA.”
“Anak SMA mana sih Den?” tanya Mang Ojo ingin tau.
“Entahlah Pak, aku juga nggak tau, mereka datang secara tiba-tiba kok! ini jualan Bapak ya?”
“Iya Den, ini jualan Mamang. Aden boleh panggil Mamang aja kalau mau!”
“Gitu ya?”
“Iya Den.”
“Baiklah aku manggilnya Mamang aja, emangnya Mamang jualan kacangnya udah berapa lama?”
“Udah puluhan tahun Den!”
“Waah udah lama ternyata, kalau gitu aku pingin nyobain dong! biasanya orang yang udah berpengalaman dalam berdagang, pasti dagangannya bagus dan terjaga.”
“Boleh, kan Aden tinggal menyicip, nggak bayar kok!” kata Mang Ojo seraya membuka plastik penutup kacangnya.
“O, gitu ya! aku nyobain ya, Mang!”
“Silahkan!” jawab Mang Ojo singkat.
Sambil duduk santai pemuda itupun mengupas kacang rebus itu satu-persatu.
"Kacang nya enak lho Mang, terasa gurihnya, saya pingin bungkus Mang, untuk di bawa pulang.”
“Boleh, untuk oleh-oleh ya, Den?”
“Iya Mang buat Papa sama Mama di rumah.”
“Kalau untuk Papa dan Mama, Aden nggak usah dibayar, anggap aja tanda terimakasih Mamang buat Aden yang telah nolongin Mamang tadi .”
“Ah Mamang jangan gitu dong, aku kan jadi nggak enak!” kata pemuda itu seraya merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu.
“Tadi kan Mamang udah bilang, nggak usah dibayar!”
“Jangan gitulah, Mang. Ini kan jualan Mamang, nanti bisa rugi lho!”
“Nggak Den, kalau Cuma segitu mah, Mamang nggak bakalan rugi, apa lagi semua itu untuk orang yang paling berjasa dalam hidup Aden.”
“Panggil saya Niko, Mang.”
“Den Niko ya, Namanya ?”
“Iya, Mang.”
Lalu Niko langsung menyelipkan uang itu ke kantong baju Mang Ojo, awal mulanya Mang Ojo terus saja menolaknya, tapi karena Niko pandai bicara, akhirnya Mang Ojo terpaksa menerimanya.
“Tapi Mamang belum ada kembaliannya Den, lagian Mamang kan udah bilang nggak usah dibayar, kenapa Aden bayar juga?”
“Nggak apa-apa kok Mang, kita kan baru jumpa, masa sih aku harus bikin Mamang rugi, lagian kasihan ama Mamang, untung kacangnya nggak seberapa! Eee malah saya bikin rugi.”
“Biasa aja kali, Den,” jawab Mang Ojo seraya menyerahkan bungkusan kacang rebus nya ketangan pemuda itu.
“Kalau Mamang nggak punya kembaliannya Mamang ambil aja.”
“Waah nggak usah Den!”
“Nggak apa-apa kok Mang.”
“Benar nggak apa-apa?”
“Iya, Mang.”
“Nanti Den Niko rugi lho!”
“Nggak.”
“Ya udah, terimakasih, Den.”
“Sama-sama Mang.”
“O iya Den Mamang jadi heran, kenapa sih anak-anak itu hobi tawuran sih?”
“Iya Mang aku juga heran, mulai dari SD, SMP, SMA bahkan sampai perguruan tinggi, mereka semua hobi tawuran, berlaku anarkis dan bahkan mencelakakan orang lain.”
“Iya Den, sekarang sekolah tinggi itu kebanyakan hanya untuk mencari popularitas saja. Mereka banyak yang tak sungguh-sungguh menuntut ilmu, apa lagi jika orang tua nya seorang pejabat. Dia pasti berlaku semena-mena.”
“Apa iya, begitu Mang? Mamang jangan asal ngomong deh, nanti bisa dilaporkan balik lho.”
“Kalau Den Niko kagak percaya, coba aja selidiki sendiri.”
“Aku percaya kok Mang.”
“Coba Aden perhatikan sendiri, jika pada diri seorang anak itu tidak ditanamkan nilai-nilai keimanan yang kuat serta pengembangan mental yang bagus, maka anak itu cendrung mencari jati dirinya sendiri. Mereka mudah dihasut dan diprovokasi oleh orang-orang yang nggak bertanggung jawab,” jelas Mang Ojo.
“Iya betul itu Mang! ternyata pemikiran Mamang sangat gemilang juga ya? Ngomong-ngomong Mamang tamatan sekolah apa sih?”
“Mamang hanya tamatan SMA, Den!”
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dwi sonya
wah Niko nolongnya jangan kayak gitu dong sampai-sampai mang ojo keteteran karena ditarik-tarik tangannya.
2023-07-17
0
Iril Nasri
cerita yang menarik Thor
2022-10-02
1
Putri Minwa
Mang Ojo memang pintar ya
2022-09-08
4