“Kok Neng tau, kalau nggak semua orang kaya itu sombong?”
“Buktinya aku, walau aku hidup dengan bergelimang harta, tapi aku nggak merasa sombong, tadi itu aku malah dari Kawasan kumuh.”
“Ngapain Neng ke Kawasan kumuh?”
“Dari rumah Mang Ojo!”
“Dari rumah Mang Ojo? apa Neng nggak jijik pergi kerumah pemulung itu?”
“Kenapa harus jijik, rumahnya bersih, rapi dan kelima anak-anaknya baik, aku malah belajar banyak dari kehidupan mereka.”
“Kehidupan macam apa? apakah kau belajar bagai mana menjadi seorang pemulung,” kata pemilik warung mengejek.
Mendengar ucapan pemilik warung yang bernada mengejek itu, semua yang berada didalam warung itu langsung tertawa.
Ranita yang merasa sedang diperlakukan buruk, dia langsung emosi dan menampar meja, sehingga air yang berada dihadapannya berserakan dan gelasnya terjatuh.
“Sekali lagi ku dengar Ibu mengejek Bu Fatma, maka Ibu akan berurusan dengan ku,” ancam Ranita seraya menaruh selembaran uang dua puluh ribu di atas meja.
Ranita tersulut emosi pada pemilik warung, dengan perasaan kesal Ranita pun kembali pulang kerumahnya.
Malam itu, suasana sangat hening, sesekali Ranita berjalan menuju jendela kamarnya, hatinya terasa begitu sepi, karena kejadian siang itu masih terbayang di pelupuk matanya.
“Kenapa ya, hidup ini sangat tidak seimbang, yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin hidupnya semakin menderita. Ternyata mataku sudah tertutup selama ini, sehingga aku tak melihat ada kehidupan yang lebih memprihatikan diluar sana.”
“Ranita!” panggil seseorang dari luar.
Walau suara itu terdengar jelas ditelinganya, namun Ranita tak mau menjawabnya, dia terus saja melihat ke penghujung jalan yang penuh dengan kelap kelip cahaya lampu kendaraan.
“Tapi aku heran dengan keluarga Mang Ojo, walau hidupnya terbilang miskin, namun dia mampu membuat kemiskinan itu tak terlihat. Wow ! sangat menakjubkan,” lanjutnya kemudian.
Tak berapa lama, Ranita kembali mendengar seseorang memanggilnya dari luar.
“Ranita! Nita sayang! Kamu dikamar nak?” Panggil seorang wanita paruh baya dari luar kamar.
“Iya Ma! aku di dalam kok,” jawab Ranita seraya berlari menghampiri pintu kamarnya.
“Ya sudah, kalau Nita mau tidur jangan lupa gosok giginya !” perintah wanita yang di sebut Ranita, Mamanya itu.
“Baik Ma,” jawab Ranita singkat.
“O iya Ma, boleh nggak aku minta sesuatu?"
“Minta sesuatu?” tanya Mama Ranita agak sedikit heran.
”Maksud Nita apa? nggak biasanya anak Mama minta sesuatu dari Mama, kayaknya serius banget nih?”
“Gini Ma, Aku boleh minta uang nggak?”
“Boleh, biasanya Nita kan ngambil sendiri! Mama jadi sedikit curiga nih?”
“Aaaah Mama!”
“Ya udah, kamu ambil sendiri di brangkas!” perintah wanita itu seraya berlalu meniggalkan putrinya.
“Terimakasih, Ma!” ucap Ranita seraya mencium pipi Mamanya.
“Hm, kalau udah ada maunya, baru Mama disayang,” jawabnya.
Dengan senang hati, Ranita pun tertidur sampai lupa menutup pintu kamar. Rasanya ingin sekali malam itu berlalu dengan cepat.
Benar saja tampa disadari Ranita, malam itupun berlalu tak terasa.
Saat dia membuka matanya, azan subuh pun mulai berkumandang di setiap penjuru kota, yang menandakan hari sudah hampir diambang pagi. Ranita segera bangun, dia berlari menuju kamar mandi.
Diruang tamu Mama dan Papa nya telah terlebih dahulu bangun, mereka juga bersiap-siap untuk pergi kerja.
Bersamaan dengan keluarga Ranita, keluarga Mang Ojo pun juga sudah bangun, mereka melaksanakan sholat subuh berjamaah dan berdoa bersama. Agar diberikan rezki yang halal lagi barokah serta di bukakan pintu ilmu yang selebar-lebarnya oleh Allah Swt, untuk anak-anaknya.
Setelah selesai beribadah mereka melanjutkan sarapan bersama, dan kembali beraktifitas seperti biasanya. Anak-anak Mang Ojo sudah terbiasa hidup disiplin dan tekun.
Semua itu tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya. Mang Ojo dan Bu fatma sengaja melakukan semua itu, agar kelak kelima anaknya terbiasa dengan keadaan tersebut.
Faktor itulah kelak yang dapat menggembleng diri dan kepribadian anak-anaknya untuk tidak cengeng, pengecut dan mudah putus asa, selalu bersifat jujur dan rendah hati.
Sementara Fatma, Ibu dari kelima anak Mang Ojo termasuk wanita tegar dan kuat, dia bekerja tampa mengenal waktu. Baginya sekecil apapun peluang yang datang, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Dengan mengumpulkan barang-barang bekas dan nasi sisa, hal itu telah mengurangi sedikit beban yang bergelayut di pundak suaminya.
Sepertinya pagi itu cuaca sangat menjanjikan, Fatma mencoba melangkah sedikit menjauh dari tempat biasanya, dia terus berjalan seraya mengutipi botol bekas dan kardus yang berserakan di pinggir jalan.
Tanpa di sadari oleh Fatma ternyata dia telah memasuki Kawasan elit kota Jakarta, hatinya berdecak kagum saat melihat rumah-rumah mewah berjejer rapi di sepanjang jalan.
Dalam hati Fatma, dia hanya bisa berharap semoga suatu saat kelak Allah memberinya sebuah rumah yang indah dan cantik sepeti yang dilihatnya saat itu.
Di saat Fatma masih kagum dengan apa yang dilihatnya, tiba-tiba saja Fatma dikagetkan oleh teriakan seorang wanita.
“Hei! pengemis tua! jauh, jauh sana! bikin sial aja!”
Suara itu telah membuyarkan lamunan Fatma, diapun bergegas menjauhi tempat itu, khayalannya pun kandas sejauh kakinya melangkah.
Haruskah aku masih berharap jadi orang kaya dan rumah indah, kalau hati ini dipenuhi olah rasa sombong dan dengki?” tanya Fatma pada dirinya sendiri.
“Orang kaya memang enak, tinggal di rumah mewah, fasilitas cukup dan kalau makan tinggal pilih mana yang mereka suka, wah, enaknya jadi orang kaya, seperti aku waktu itu.” Gumam Fatma sembari meneteskan air mata.
Tidak begitu jauh dari tempat tadi, Fatma menemukan sebuah rumah yang tak kalah indahnya dari rumah sebelumnya, terlihat dari taman bunga yang sangat bersih dan tersusun rapi.
Disudut pagar sebelah luar terdapat tong sampah, Fatma langsung memeriksa tong sampah tersebut siapa tau ada rezki yang diselipkan Allah disana untuk keluarganya. Seraya bergegas Fatma langsung mengorek tong sampah tersebut.
Diambilnya barang yang dianggapnya perlu dan di masukan kedalam karung bawaannya. Tiba-tiba saja seorang pria menghardiknya dari samping rumah itu.
“Hei! perempuan tua! mau menyebar penyakit ya? Pergi jauh, jangan mengemis disini, bau tau!”
“Iya, ya! Saya mau pergi!” jawab Fatma menjauhi rumah itu.
Fatma pun terus melangkah menuju kesebuah pasar tradisional. Di depan sebuah rumah makan, Fatma pun mengais botol bekas dan nasi sisa yang sudah di buang orang. Ketika dia hendak berbalik seorang anak perempuan sudah berada dihadapannya. Seraya tersenyum lebar gadis kecil itu menyodorkan sebungkus nasi kepadanya.
“Maaf ya sayang, Ibu bukan pengemis ! Ibu hanya seorang pemulung,” jawab Fatma dengan suara lembut.
“Tapi ini ku sedekahkan buat Ibu!” ucap gadis kecil itu.
“Siapa yang menyuruhmu memberikan nasi ini pada Ibu?”
“Papa, Papa yang menyuruh,” jawab gadis kecil itu.
“Baiklah, bilang ama Papa, terimakasih.”
“Ya, Bu,” jawab gadis itu sambil berlari meninggalkan Fatma.
“Ajarakallah,” kata Fatma seraya menaruh bungkusan nasi itu di kepalanya.
Lalu Fatma pun melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ia terus berjalan menyusuri trotoar, karena merasa lelah Fatma berhenti sejenak guna merilekskan tubuhnya yang terasa pegal.
Bersambung...
*Selamat membaca "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dwi sonya
kok manusia kebanyakannya tak tahu cara menghargai orang ya
2023-07-17
0
AbyGail
aku dah mampir yaaa
2022-11-10
1
Iril Nasri
manusia itu banyak yang jahat ketimbang Baik ya
2022-10-02
1