“Wah bagus itu, ternyata Mamang orang berpendidikan juga, ya ?”
“Kalau untuk zaman modern sekarang ini, tamatan SMA itu, sudah nggak ada harganya lagi Den ! orang hanya membutuhkan sarjana dan lulusan perguruan tinggi lainnya.
“Iya juga sih Mang, tapi apa gunanya tamatan perguruan tinggi, jika akhlaknya tak mencerminkan kalau dia seorang berpendidikan.”
“Emangnya Aden, ini seorang mahasiswa ?”
“Benar Mang, aku seorang mahasiswa.” Jawab Niko dengan suara lembut.
“Orang tua Aden, apa seorang pejabat juga ?”
“Nggak Mang, orang tuaku seorang pendidik, yang satu guru SMA , dan yang satunya lagi seorang dosen, tempat aku kuliah.”
“Ooo, gitu ya Den ! bagus itu, pesan Mamang, jangan pernah kecewakan mereka berdua. Hormati mereka berdua sepenuh hati dan jiwa raga Aden, siapapun dia, apapun pekerjaannya tapi yang pasti dia yang membuat Aden ada di muka bumi ini.”
“Waah betul itu Mang, aku setuju sekali dengan pendapat Mamang.”
“Ya, begitulah adanya Den, dan hal itu tak dapat kita pungkiri.”
“Iya Mang, Aku akan selalu ingat pesan Mamang ini. Nah kalau begitu Aku pamit dulu ya, Mang ! Masih ada pelajaran yang harus aku selesaikan.”
“Ooo, kalau gitu silahkan !” kata Mang Ojo seraya tersenyum lebar.
Pemuda itupun kemudian pergi, meninggalkan Mang Ojo yang terduduk diam diatas trotoar jalan, hati kecil Mang Ojo selalu bertanya-tanya.
“Kenapa manusia didunia ini o suka berbuat kejahatan.”
Namun pada siapa pertanyaan itu harus dia sampaikan, sementara manusia di dunia ini selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Ah sudahlah tak guna semua itu ku pikirkan.” Kata Mang Ojo seraya bergerak meninggalkan area itu.
Mang Ojo terus berjalan, menyusuri trotoar sambil menyorakan kacang rebus, setelah mendapat sedikit untung dia langsung menuju ketempat para pengemis biasa mangkal.
Kacang itupun di bagikan pada mereka para gelandangan dan pengemis. Begitulah setiap dagangan Mang Ojo bersisa, setelah habis barulah Mang Ojo kembali kerumahnya.
Saat kembali pulang, dari kejauhan samar-samar Mang Ojo melihat Ranita datang menghampirinya.
“Hai Mang !”
“Heh ada Neng Ranita ! ngomong-ngomong, Neng mau kemana ?” Tanya Mang Ojo heran.
“Kerumah Mamang !”
“Ngapain ? Neng Ranita jangan sering-sering datang ke kawasan kumuh ini Neng, Mamang kan jadi nggak enak kalau nanti dilihat orang.”
“Emangnya kenapa kalau di lihat orang, Mang ?”
“Mamang kan jadi nggak enak Neng.”
“Emangnya Mamang nggak enak sama siapa Mang ?” tanya Ranita heran.
“Ya, ama orang lainlah Neng, masa anak pejabat mainnya ke kawasan kumuh, nanti disangka apaan lagi.”
“Ah, masa bodoh Mang, Mamang kan tau sendiri kalau orang-orang itu selalu kepo dengan urusan orang lain.”
“Gitu ya Neng, ya udah kalau gitu ayo, kita main kerumah Mamang.”
“Ok !” jawab Ranita seraya berjalan mengiringi langkah kaki Mang Ojo.
Setelah tiba didepan rumah Mang Ojo, pintupun dibuka, lalu Mang Ojo mempersilahkan Ranita untuk masuk, tapi gadis manis itu menolaknya.
“Kenapa nggak masuk Neng ?” tanya Mang OJo ingin tau.
“Aku disini aja dulu Mang, sampai Ibu kembali.”
“Ooo, gitu ya ! kalau gitu biar Mamang masuk dulu.”
“Ya, silahkan Mang.” Kata Ranita seraya duduk di atas tumpukan karung kotor yang ada di depan rumah Mang Ojo.
Tak berapa lama kemudian, Fatma pun datang menghampiri Ranita yang sedang nyantai, di atas tumpukan karung kotor.
“Eee, ada Neng, Neng, Neng siapa ya ? Ibu jadi lupa.”
“Ranita, Bu !” jawab gadis itu menjelaskannya pada Fatma.
“Ooo, iya. Neng Ranita ! Ibu jadi lupa, maklumlah udah lama nggak ketemu. Gimana kabarnya sekarang Neng ?”
“Alhamdulillah, sehat Bu. Kalau Ibu gimana ?”
“Sama Neng, Allah masih memberikan kesehatan pada Ibu.”
“Ooo, syukurlah kalau begitu.”
“Ayo, kita masuk Neng ?” ajak Fatma sama Ranita.
“Ayo Bu !” jawab Ranita seraya menggandeng tangan Fatma.
Setibanya didalam, Ranita disuguhi semangkok mi instan dan mereka menyantapnya Bersama-sama. Tampak suasana sangat bahagia sekali siang itu.
Baik Ranita maupun keluarga Mang Ojo mereka tampak makan dengan tak mengeluarkan suara sepatah pun. Setelah selesai bersantap barulah Ranita mengutarakan maksud kedatangannya kerumah Mang Ojo sekeluarga.
“Tujuanku kesini untuk menyerahkan amplop ini untuk Mamang sekeluarga.”
“Ini apa Neng ?” tanya Fatma ingin tau.
“Ini ada sedikit uang dari Aku untuk Ibu sekeluarga.”
“Wah ! sepertinya uangnya banyak sekali Neng, Ibu nggak bisa terima uang sebanyak itu.” tolak Bu Fatma.
“Kenapa Bu ? takut dimarahi keluarga ku ? Ini uang pribadiku kok Bu, lagian aku ikhlas kok.”
‘Tapi Neng, Mamang jadi nggak enak, selalu nyusahin Neng Ranita.”
“Tapi Aku nggak merasa di susahin kok Mang !”
“Nanti kalau orang tua Neng Ranita tau gimana ?”
“Kan Aku dah bilang ama Mamang kalau ini uang pribadi aku, Mama dan Papa nggak bakalan marah kok ?”
“Benar gitu ?”
“Benar Mang !” Aku nggak bakalan bohong kok !”
“Baik, kalau gitu uangnya Mamang terima, tapi uang ini atas nama utang, nanti kalau Mamang dah punya rezki lebih, uang Neng Ranita akan Mamang kembalikan.” Jelas Mang Ojo.
“Terserah Mamang aja, yang penting Aku dah ikhlas ngasih uang ini untuk Mamang sekeluarga.”
“Kalau gitu, terimakasih ya Neng, atas bantuannya.”
“Iya, sama-sama Mang, lagian aku juga merasa berterima kasih sama Mamang dan Ibu, karena disinilah Aku banyak mendapat ilmu yang nggak ku dapat dari luar sana.”
“Ya Neng, kita manusia memang harus saling mengisi kekurangan masing-masing. Jika tidak maka kita akan termasuk golongan orang yang merugi.”
“Iya Mang, aku sangat mengerti.” jawab Ranita seraya duduk bersimpuh dihadapan Mang Ojo dan Fatma.
“Tapi Neng Ranita jangan sering-sering, main kesini.”
“Beres Mang !” jawab Ranita seraya tertawa lebar.
Tak disangka kehadiran Ranita di rumah Mang Ojo, di ketahui oleh Wartawan, hal itu langsung mereka jadikan berita utama dalam lembaran surat kabar harian pagi. Berita itu langsung di baca oleh orang tua Ranita.
Seketika itu juga, Jantungnya mendidih, setelah mengetahui putri yang selama ini dibangga-banggakan ternyata telah menghancurkan harga dirinya. Wajah Ranita terpampang jelas di halaman depan surat kabar itu.
“Seorang anak pejabat bergaul dengan penduduk daerah kumuh.”
Lain dengan Ranita, saat membaca dirinya ada dihalaman pertama surat kabar, timbul rasa bangga dalam hatinya.
Diapun tersenyum geli dan berlari kian kemari, hatinya merasa sangat senang karena selama ini Ranita tak pernah di sorot sama sekali, tapi di pagi itu wajahnya sudah terpampang dihalaman depan surat kabar.
“Kapan ya, mereka ngambil fotonya ? kok tau-tau udah ada di surat kabar ?” tanya Ranita pada dirinya sendiri. “Ah terserah merekalah ! Ngapain pula itu yang harus ku pikirkan.”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dwi sonya
jangan sungkan Ranita makan aja nggak perlu merasa kaku seperti itu
2023-07-17
0
Iril Nasri
lanjut
2023-01-03
0
AbyGail
mampir kk... semangat terus
2022-11-14
1