Dikamar yang lain yang ukurannya lebih kecil lagi, Ranita melihat sebuah ranjang yang berukuran mini dengan alas yang bermotifkan bunga anggrek di tengahnya.
Sungguh indah tak dapat di ucapkan dengan kata-kata. Tiba-tiba saja dari arah dapur, Ranita dikagetkan oleh seseorang yang sedari tadi telah berada di belakangnya.
“Eee, ada sikecil rupanya! Siapa Namanya dek?” tanya Ranita dengan suara lembut.
“Nurul!” jawab gadis itu pelan.
“Waah nama yang sangat indah!” puji Ranita dengan senyumannya yang manis.
“Kakak sangat cantik, nama kakak siapa?” tanya nurul pula.
“Waah pintarnya! kecil-kecil udah pintar memuji, kalau nama kakak Ranita!”
“Waah nama yang sangat lucu!” kata nurul dengan suara yang sedikit serak.
“O, ya. Nama yang sangat lucu adik manis! kata Ranita seraya memegang pipi Nurul yang menggemaskan.
“O, iya kak. Tuh kakak di panggil Bapak!”
“O, ya?”
“Iya!”
“Ayo, kalau gitu!” ajak Ranita sambil menggandeng tangan Nurul. Dan berjalan menuju dapur, di dapur ada Bu Fatma yang sedang sibuk menyiapkan makanan.
“Ee, ada tamu rupanya!” sapa wanita itu pada Ranita.
Dan dengan senyum lembut Ranita langsung menyapa Fatma dengan uluran tangannya yang halus.
“Namaku Ranita, Bu!”
“Ooo, Ranita ya? nama yang sangat indah, silahkan duduk dulu. Maaf, ibu tak punya kursi, duduknya hanya di tikar ini saja.
“Nggak apa-apa kok Bu, ” jawab Ranita seraya duduk di atas tikar pandan yang di bentang Bu Fatma.
Sambil duduk Ranita melirik kemana-mana hatinya tak puas melihat kebenaran yang di lihatnya.
“O iya Bu, ngomong-ngomong, sebenarnya Ibu bekerja dimana?”
“Ibu hanya pemulung kok Neng,” jawab Bu Fatma.
“Ini rumah Ibu kan?”
“Iya ini rumah Ibu, kami udah lama menempati rumah ini, udah puluhan tahun lamanya. Udah seumuran anak-anak.”
“Ooo, udah lama ya Bu? tapi Ibu betah kan tinggal di sini?”
“Ya, sangat betah sekali, walau keadaanya sederhana tapi Ibu menikmatinya. Ini adalah harta Ibu yang sangat berharga, karena disinilah tempat kami membesarkan kelima anak kami, dengan suka dukanya.”
“Hm, begitu ya Bu?”
“Iya neng,” jawab Bu Fatma singkat.
Sambil bercerita, Bu Fatma dengan sigap mengatur rapi hidangan yang akan di santap nya siang itu.
Setelah selesai Bu Fatma melangkah menuju halaman rumahnya, kemudian dia memukul sebuah besi tua yang ada di depan rumahnya sebanyak tiga kali. Tak lama berselang anak-anak Bu Fatma sudah berdiri dihadapannya.
Seperti biasa mereka langsung bergegas menuju kamar mandi dan mencuci tangan serta duduk rapi jika sudah selesai. Kemudian Mang Ojo berdiri sambil berkata.
“Ini Neng Ranita, beri hormat padanya.”
Dengan serentak, kelima anak Mang Ojo menyalami dan mencium tangan Ranita. Tak satupun yang bicara, semua diam.
Apalagi saat mereka makan, tak sekalipun Ranita mendengar suara dentingan piring dan sendok. Sungguh suatu pelajaran berharga yang di dapat hari itu di rumah Mang Ojo.
“Ayo dimakan Neng!” ujar Bu Fatma mempersilahkan Ranita makan nasi yang ada di hadapannya.
Tampa berfikir Panjang Ranita pun menyantap hidangan yang ada di hadapannya, agak terasa aneh nasi yang di makannya, tapi Ranita tak berani komentar.
Dipandanginya kelima orang anak-anak Mang Ojo, mereka makan begitu lahapnya, tak satupun nasi yang berceceran di bawah piring mereka.
Setelah selesai makan merekapun langsung mencuci piringnya masing-masing dan berwudhu untuk sholat.
Tampa di perintah, ternyata mereka sudah hafal dengan tugas kesehariannya.
Jika Mang Ojo dan Bu Fatma pergi keluar, anak-anaknya siap bekerja sama membersihkan rumah.
Begitulah yang di ajarkan oleh Mang Ojo dan Fatma. Agar kelak mereka semua terbiasa dengan keadaanya tampa harus bergantung pada orang tua.
Ranita melihat ada sisi yang lain dari keluarga Mang Ojo, selain mereka hidup dibawah garis kemiskinan, namun Ranita yakin kalau keluarga Mang Ojo, bukan orang sembarangan.
“Mang, boleh nggak aku bertanya sesuatu pada Mamang.”
“Mau nanya apa Neng?”
“Sebelum Mamang menjadi seorang pedagang kacang keliling, sebelumnya Mamang bekerja sebagai apa sih?”
“Sebelumnya Mamang bekerja sebagai pemulung Neng.”
“Tapi, aku kok sepertinya kagak percaya ya.”
“Maksud Neng?”
“Kalau memang Mamang bekerja sebagai pemulung, lalu Mamang dapat piala sebanyak itu dari mana?”
“Ooo, sebenarnya piala itu milik kami sekeluarga.”
“Maksud Mamang?”
“Disana ada piala Mamang, ada piala Ibu juga dan ada piala anak-anak di dalamnya.”
“Maksud Mamang, di dalamnya ada piala Ibu juga?”
“Iya, piala Ibu.”
“Jadi Ibu?”
Di saat mereka sedang bercerita, tiba-tiba saja Fatma datang seraya menyajikan dua gelas teh hangat dan sepiring kacang rebus.
“Silahkan Neng, di cicipi kacang rebus nya.”
“Baik, terimakasih Bu,” jawab Ranita seraya mencicipi kacang rebus yang telah disediakan didalam sebuah piring.
“Kenapa Neng belum pulang? nanti Mama Neng Ranita kecarian lho.”
“Iya Bu, sebentar lagi aku juga mau pulang kok.”
“Lain kali, kalau Neng Ranita mau main kesini, gimana kalau sebaiknya Neng minta izin dulu pada Mama atau Papa, agar mereka berdua tidak kecarian.”
“Baik Bu, nanti kalau aku mau kesini, aku akan minta izin dulu pada mereka.”
“Ya itu lebih baik, dari pada pergi secara diam-diam.”
“Baik Mang,” jawab Ranita seraya menganggukkan kepalanya.
Dengan patuh, setelah selesai memakan kacang rebus, Ranita langsung mohon pamit pada Mang Ojo dan Bu Fatma, untuk kembali pulang kerumahnya.
Sambil berjalan dengan santai, Ranita tersenyum-senyum sendiri. Banyak pelajaran berharga yang baru dia dapat di Kawasan kumuh itu, suatu pelajaran yang belum pernah dia temukan selama ini.
Walau hidup senang dan bergelimang harta, namun Ranita tak pernah mendapatkan pelajaran seindah itu di kehidupannya. Baik itu dari keluarga mau pun dari orang yang dekat dengan dirinya.
Papa dan Mamanya selalu sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, sehingga Ranita tumbuh tanpa ada yang mengendalikan.
Sebelum tiba dirumah, Ranita menyempatkan diri mampir disebuah warung makan yang berada dipinggir jalan.
Disana Dia makan begitu lahapnya. Tanpa melihat kekanan dan kekiri.
“Tambah Bu, satu lagi!” seru Ranita yang duduk di pojok sebelah kanan.
“Baik Neng.” Jawab pemilik warung seraya mengantar nasi pesanan Ranita.
“Masakan Ibu sangat enak sekali,” Puji Ranita pada pemilik warung.
“Ah si Neng,” jawab pemilik warung tersanjung.
“Benar Bu, aku nggak bohong kok.”
“Barang kali Neng lagi lapar tuh!”
“Apa iya? tapi rasanya memang enak, beda dengan yang dirumah, kagak enak!”
“Emangnya kalau yang dirumah, siapa yang masak Neng?”
“Bi Inah!”
“Pembantu maksudnya?”
“Iya.”
“Emangnya Papa dan Mama Neng kemana?”
“Mereka kerja Bu.”
“Apakah kerjanya seharian?”
“Iya, bahkan sampai malam baru mereka pulang kerumah.”
“Emangnya orang tua Neng kerja apaan sih?”
“Papa bekerja sebagai pejabat, sedangkan Mama anggota dewan.”
“Apa! serius?”
“Ya serius, emangnya kenapa?”
“Kalau Papa dan Mama Neng orang terpandang, lalu kenapa Neng mau makan di lesehan seperti ini?”
“Emangnya nggak boleh orang kaya makan di tempat seperti ini?”
“Bukan begitu Neng, tapi kebanyakan orang kaya itu kan sombong.”
“Nggak semua orang kaya itu sombong Bu.”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Sulfia Nuriawati
ortu sibuk ngumpulin dwt sampai lupa pny anak cm 1 tp luntang lantung, kurang oerhatian ortu, ntar harta yg d cari bs d bawa k kubur gitu????
2023-09-21
0
Dwi sonya
ingat tuh ada pelajaran berharga untuk kalian
2023-07-17
0
AbyGail
Mantap Thor... lanjut
2022-11-10
1