Sambil tersenyum-senyum simpul Ranita pun bergegas menuju kampusnya, didalam kampus para teman dan yang lainnya asik menatap Ranita dengan sorotan penuh ejekan. Namun Ranita, tampak tenang dan biasa-biasa aja.
“Ada apa ? kenapa tatapan mata kalian seperti itu ?” tanya Ranita heran.
“Kau Ini aneh Ya Nit, apa kau nggak malu di sorot orang banyak”
“Kenapa harus malu, dia manusia aku juga manusia.”
“Tapi kasta kita berbeda Nita ?”
“Kasta ? kasta apa Fera ?”
“Apa kau nggak tau, antara orang miskin dan kaya itu, ada kasta yang telah memisahkan.”
“Kau bisa bicara seperti itu Fera, tapi aku nggak, diantara yang kaya dan yang miskin, bagi ku nggak ada pemisahnya, karena disisi Allah, bukan harta yang jadi perbandingannya.”
“Alah, kau begitu naif, Nit.”
“Hm, kau bicara seolah-olah, kau lebih kaya dari aku Fer.”
“Kenyataan bukan ? bahwa diantara orang miskin dan kaya, pasti selalu berjarak, dan itu nggak dapat kau pungkiri Nit.”
“Sombong kau Fer.” Jawab Ranita sembari berlalu meninggalkan Fera sendirian.
“Dasar rendahan !” teriak Fera dengan suara lantang.
Ranita yang mendengar Fera meneriakinya, dia pun langsung berbalik, dan menarik rambut Fera.
“Sekali kau mengatakan aku rendahan, akan ku buat mulutmu terkunci untuk selamanya.”
Mendengar ancaman dari Ranita, Fera diam saja, karena Fera memang takut dengan Ranita, sebab Ranita selalu bicara apa adanya.
Disekolah Ranita mendapat hujatan dari teman-temannya, sementara dirumah, keluarganya menanti dengan perasaan yang tak menentu.
Di saat kedua orang tua Ranita mengetahui kalau putrinya telah di posting di halaman depan surat kabar, hatinya terasa begitu panas sekali. Rasa sakit yang tak ada obatnya selain amarah yang harus di luapkan kepada putrinya.
Saat Ranita pulang kerumahnya, Papa dan Mamanya langsung menyambut Ranita dengan cercaan dan amarah yang meluap-luap.
“Ada apa ini Nit ? jelaskan ke Mama sekarang juga !” ucap Mama Ranita seraya melemparkan surat kabar itu kehadapan Ranita.
Ranita tak bergeming, dia hanya diam. Suara amarah yang keluar dari mulut orang tuanya tak di gubris sama sekali.
“Kenapa diam ? apa kau udah bisu sekarang !”
bentak Mamanya.
“Kemana kau semalam sayang ? jawab pertanyaan Mama mu itu, jangan diam saja !”
“ Emangnya nggak boleh orang kaya bergaul dengan orang miskin ? bukankah mereka itu juga sama dengan kita hanya posisi mereka saja yang tempatnya berbeda. Atau mungkin karena mereka miskin makanya tak boleh orang kaya bergaul dengan mereka ?” tanya Ranita pada dirinya sendiri.
Tapi kata-kata itu tak sanggup untuk di lontarkan Ranita kehadapan orang tuanya. Saat Papa dan Mamanya berhenti ngomel Ranita langsung masuk kedalam kamarnya, di kuncinya pintu kamar itu dari dalam dan diapun tertidur.
Tak berselang lama Bi Inah pembantu Ranita datang mengetuk pintu sambil membawakan makanan, Ranita bangun dan membuka pintu, makanan pun diambil dari tangan Bi Inah dan pintu kamar kembali dikunci dari dalam.
Tak lama kemudian, Mama Ranita datang menghampiri kamar putri tunggalnya itu.
“ingat ya Ranita, untuk satu minggu ini Mama nggak izinkan kamu keluar rumah, Mama akan hukum kamu !” Seru Mama Ranita dari luar kamar.
Mendengar ancaman dari Mamanya, Ranita diam saja, dia hanya bersenandung- senandung kecil sendirian.
“Ingat ! jangan ambil uang sepeserpun ! jika ketahuan nanti Mama bakalan tambah hukuman nya menjadi dua Minggu !”
Ranita tak bicara sepatah katapun, dia hanya mendengarkannya saja dari dalam kamarnya. Satu hari sudah hukuman itu dijalaninya, batinnya terasa terpukul, dari rumah mewah yang megah itu Ranita hanya bisa memandangi dari atas.
Berkali-kali Ranita mencoba untuk melihat dari atas, begitu banyak wartawan yang hilir mudik di depan rumahnya. Semuanya menginginkan berita penting itu keluar dari mulut Ranita.
Ranita jadi geli, ingin sekali rasanya menyapa para wartawan itu, dan membeberkan kepada mereka siapa sebenarnya orang yang selama ini sering ditemuinya. Namun dia tak berdaya, karena terkurung di rumah mewahnya sendiri.
Kini sudah dua hari berlalu, dari luar kamar Ranita mendengar suara Mamanya, bicara dengan Bi Inah.
“Gimana Bi ? Apa dia udah keluar dari pagi ?”
“Belum nyah !” jawab Bi Inah seraya membungkukkan badan.
“Ya udah Bi, yang terpenting dia mau makan kan ?”
“Masih nyah.”
Mama Ranita pun berlalu meninggalkan kamar putrinya, kembali suasana terasa sepi, rasa rindu pun mulai menyelubungi jiwa Ranita, gadis manja yang selama ini bebas berkeliaran sesuka hatinya, kini harus di cekal hanya karena dia bergaul dengan orang miskin.
Seminggu setelah pencekalannya selesai, Ranita bukannya mengurangi kegiatannya untuk datang ke Kawasan kumuh, akan tetapi dia melakukannya lebih sering dari yang biasanya.
Melihat hal itu, Mang Ojo semakin tak enak hati dengan keluarga Ranita, dengan lembut Mang Ojo menyarankan kepada Ranita untuk sementara waktu tidak datang dulu ke Kawasan kumuh.
Perintah Mang Ojo langsung di dengar oleh Ranita, dia mencoba menahan diri untuk tidak menghampiri Kawasan kumuh lagi.
Beberapa tahun kemudian Mang Ojo dan fatma, saat itu sangat menikmati kebahagiannya, sebab putra sulung beliau yang bernama Alhuda telah diterima di perguruan tinggi.
Rasa sukur yang sebesar-besarnya di ungkapkan Mang Ojo dengan menyedekahkan sebahagia hasil tabungannya kepada fakir miskin dan anak-anak gelandangan.
Pagi itu seperti biasa Mang Ojo, berjualan kacang rebus di bundaran kota Jakarta, setibanya dia di lokasi tempat dia biasa mangkal, Mang Ojo melihat begitu banyak orang yang hadir di bundaran itu.
Langkah mujur bagi Mang Ojo, kacang rebus nya habis terjual saat itu. Tapi dia tak segera pulang, karena masih ada yang ingin didengar dan dilihat dari kejadian yang bakal berlangsung.
Tak berapa lama berdiri dan berjalan sambil mengelilingi orang yang hadir, Mang Ojo pun berjumpa dengan pemuda yang hari itu pernah menyelamatkannya dari tawuran para pelajar.
“Hai Den !” sapa Mang Ojo pelan, takut kalau-kalau dia salah orang.
“Hai !” jawab pemuda itu.
“Masih ingat saya Den ?” tanya Mang Ojo pada pemuda itu.
“Ya Aku ingat, Bapak yang hari itu pernah lari Bersama saya kan ?”
“Benar Den !”
“Kalau nggak salah, waktu itu aku disuruh manggil Mamang, benarkan ?”
“Ya, tepat sekali Den !”
“Waaah, ternyata Mamang masih jualan kacang juga ya ?”
“Yeah ! Beginilah Den, Namanya aja nyari hidup, asalkan halal Den !”
“Bagus itu Mang, hidup itu jangan dibikin susah !”
“Iya Den, sedangkan nggak dibikin susah aja Mamang juga dah hidup susah kok !”
“Hahaha !”mereka berduapun tertawa serentak.
“Kayaknya dah lama Mamang nggak lihat Aden, kemana aja ?”
“Lagi kuliah Mang !”
“O bagus itu, ngomong-ngomong ada apa ya Den ? kok pada rame ?”
“Itu Mang ada demo, orang menuntut kenaikan BBM.”
“Emangnya ada apa dengan BBM kita ?”
“Seminggu yang lalu, BBM kita naik lagi Mang.”
“Kok Aden tau, kalau BBM kita naik ?”
“Kan disiarkan di televisi Mang.”
“Ooo, gitu yaaa ! Maklum Mamang nggak punya TV jadi nggak tau informasi !”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Dwi sonya
👍👍👍
2023-07-17
0
AbyGail
Demikian adanya di segala zaman soal strata selalu jd isue penting
2022-11-14
1
Iril Nasri
imajinasimu luar biasa putri, aku suka cerita mu , tetap semangat dalam berkarya ok?
2022-10-07
1