Selagi menunggu, Edric mengerjakan berbagai pekerjaan. Entah pekerjaan apa itu. Namun, ia tampak tidak fokus. Keberadaan Alice membuatnya selalu melirik ke arah gadis itu. Entah kenapa Edric merasa ada magnet yang seolah menariknya ke arah sana.
'Ternyata tunangan Al imut juga,' pikirnya sembari menatap Alice yang masih terlelap di sofa.
...
Merasa terusik oleh keberadaan gadis kecil ini, Edric pun memutuskan untuk membangunkan Alice.
"Alice, bangun!" Ucapnya datar dengan berdiri di samping kaki Alice. Tentu saja Alice tidak terganggu, ia bahkan tidak bergerak sedikitpun.
"Alice Lawrance, kau kira ruangan saya ini hotel?" Teriaknya kemudian hingga membuat Alice terperanjat dan tanpa sengaja kaki gadis itu bergerak dan menendang lutut Edric hingga pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas tubuhnya.
Sontak kedua kelopak mata Alice terbuka lebar, walau sebenarnya Ayla merasa biasa saja. Sebagai seorang aktris ia sudah terbiasa berinteraksi dengan lawan jenis sedekat ini meski tidak lewat batas. Tapi tubuh kecil Alice memberikan reaksi lain. Ayla bisa merasakan bahwa tubuhnya seketika menegang, kaku dan tidak bisa ia gerakkan sedikitpun.
Ingin berucap pun rasanya kedua bibirnya tidak sanggup untuk terbuka. Sementara Edric malah terlihat santai, kedua matanya menatap Alice intens.
Samar-samar kedua sudut bibirnya sedikit tertarik. Namun belum juga senyum itu terbit, wajahnya sudah kembali netral. Tanpa sepatah kata pun ia segera bangkit dari posisi itu dan berjalan kembali ke tempat duduknya.
"Ada apa kemari?" tanyanya setelah duduk di kursi kekuasaannya.
"Eh, i-ini pak. Laporan tentang kegiatan yang akan organisasi kita laksanakan dua Minggu lagi ... ."
Setelah itu Alice menjelaskan rencana yang telah ia dan rekan-rekannya buat. Begitu saja, tidak ada niat lebih. Setelah selesai, Alice pun keluar ruangan dengan patuh.
Kini hubungannya dengan Edric tidak lebih dari sekedar mahasiswa dan dosen lagi, usaha yang ia lakukan juga telah gadis itu lupakan. Dan hal ini membuat Edric merasa sedikit kosong, jika boleh jujur kehadiran Alice meski hanya beberapa hari sanggup membuat hidupnya yang monoton menjadi lebih berwarna.
"Apa sih yang aku pikirin? Dia itu tunangan adikmu, Ed," gumam Edric seorang diri, berusaha mengingatkan diri.
Di sisi lain, Aldric melihat Alice yang baru keluar dari ruangan sang kakak merasa sedikit kesal. Namun ia memilih untuk tidak acuh, terlebih ia masih yakin suatu saat nanti Alice pasti akan kembali berlutut dan mengemis cintanya.
.
.
.
Hari berlalu, minggu hingga bulan berganti. Tidak terasa Alice telah melewati masa kuliah selama tiga bulan. Tiga bulan yang sangat sibuk baginya, tidak kalah dari jadwalnya sebagai aktris ternama.
Bagaimana tidak? Selain menjadi ketua UKM, ia juga mendirikan sebuah butik kecil tanpa sepengetahuan siapapun kecuali Lucy. Ia menuangkan semua karyanya bersama beberapa desainer pemula lainnya. Hal ini tidak begitu sulit baginya, sebagai gadis yang hidup di beberapa tahun mendatang ia tentu tahu bagaimana trend di masa depan.
Dalam waktu sebulan lebih butiknya telah mulai berkembang. Alice akan membuktikan bahwa ia bisa berdiri di bawah kakinya sendiri, tanpa iming-iming nama keluarga.
"Alice, Lucy," pekik Kiara Bell dengan penuh semangat sembari menghampiri Alice dan Lucy yang sedang duduk di bangkunya.
"Ada apa?" tanya Lucy heran.
"Kalian sudah dengar? Pihak kampus akan mengadakan camping tiga hari lagi," jelasnya antusias.
"Aku tidak ikut," sahut Alice malas.
"Semua mahasiswa semester satu wajib ikut. Ini sudah ketentuan kampus." Bibir Alice seketika mengerucut cemberut.
'Hah, aku lupa camping ini wajib,' batin Alice pasrah, mau tidak mau ia harus ikut.
"Hahaha, Alice wajahmu lucu sekali ..." Kiara terkekeh ketika melihat sang sahabat yang ternyata bisa bertingkah lucu.
Dalam sekejap wajah Alice telah kembali normal, wajahnya yang datar kini terpampang lagi. Kiara pun terdiam, mengira bahwa Alice sedang marah.
Padahal tidak sama sekali, Ayla memang tidak terbiasa diperhatikan orang lain terutama karena tingkah konyolnya. Oleh karena itu, ia bersikap seperti ini.
"Hmm, kalau begitu nanti kita harus belanja kebutuhan camping dong?" tanya Lucy memecah keheningan yang tercipta selama beberapa saat.
"Nanti kita belanja bersama saja," lanjutnya sembari menatap Alice penuh harap.
"Baiklah, ayo! Tapi ke supermarket biasa saja ya," sahut Alice membuat Kiara tersenyum kembali.
"Iya, aku tahu salah satu supermarket yang barang-barangnya murah dan lengkap." Kiara tersenyum lebar. Satu hal yang Alice sadari, Kiara adalah gadis periang terlepas dari bagaimana penampilannya.
.
.
.
Sore harinya, mereka bertiga berangkat ke salah satu supermarket di kota itu. Lucy dan Kiara terlihat antusias memilih berbagai kebutuhan mereka untuk camping, sedangkan Alice terlihat ogah-ogahan. Bahkan barang-barangnya pun dipilihkan oleh Lucy.
Ia lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Hingga tanpa sadar Lucy dan Kiara sudah pergi entah kemana. Alice pun memandang ke kanan dan ke kiri, memindai seisi supermarket yang mampu ia jangkau.
Tapi keberadaan dua sahabatnya sama sekali tidak terlihat. Yang ada malah ...
'Perasaan aku udah milih supermarket biasa gini deh, buat hindarin dia. Kok dia malah ke sini juga,' pikir Alice seraya berpura-pura tidak melihat keberadaan Aldric.
Ia pun membalikkan badannya, memilih untuk pergi sebelum Aldric menyadari keberadaannya. Namun terlambat, Aldric sudah berjalan menuju ke arahnya.
"Alice, kau ngikutin aku ya?" tanyanya frontal, terlalu percaya diri.
"Justru sepertinya kau yang ikutin aku. Aku di sini bersama teman-temanku."
"Lalu dimana mereka?"
"Mereka ada ..."
"Tuh kan, kau pasti ninggalin mereka untuk ngikutin aku kan?"
"Heh, ge-er sekali Anda. Mereka tiba-tiba menghilang. Aku yakin pasti kau yang meminta Malvin untuk membawa mereka pergi kan?"
"Mana ada, Malvin saja ada di belakangku tadi."
"Itu di ... eh, kemana dia?"
"Mana aku tahu," balas Alice ketus.
Ia yakin sekarang, teman-temannya pasti sengaja meninggalkan ia berduaan dengan Aldric. Dan sialnya, Alice tidak tahu jalan pulang. Hanya handphone yang ada di genggamannya, semua uang, kartu debit maupun kredit ada di dalam tas yang dibawakan Lucy.
"Argh, bodoh!" makinya pada diri sendiri.
"Apa? Kau bilang aku bodoh?"
"Ck, ya, kau memang bodoh!"
"Kau..."
Alice berjalan pergi tanpa mempedulikan Aldric yang masih ingin bertengkar dengannya. "Hey, Alice. Jangan pergi kau!" pekik Aldric menyusul langkah Alice di depannya.
Walau bagaimanapun, ia merasa bertanggungjawab terhadap gadis itu. Apalagi Alice saat ini hanya seorang diri.
"Mau kemana?" tanya Aldric setelah mereka sampai di parkiran supermarket, namun Alice tidak menjawab. Matanya sibuk melirik kesana kemari.
"Alice!"
"Ck, tentu saja mau pulang!"
"Biar aku antar!"
"Tidak perlu."
"Kalau begitu baiklah." Aldric pun melangkah menjauh, saat keluar tadi ia melihat dengan jelas kalau mobil Alice telah keluar dari area supermarket. Dan ia sengaja tidak acuh pada gadis itu, agar Alice merendahkan sedikit saja rasa angkuhnya dan mau meminta bantuannya darinya.
Sementara Alice yang ditinggal sendiri tidak merasa takut, hanya saja ia tidak tahu arah jalan pulang. Dari tadi menghubungi Lucy juga tidak membuahkan hasil. Aldric yang masih berada dalam mobil pun mendecak kesal, Alice memang sangat berubah. Cueknya tidak ketulungan.
Beep ... Beep ...
Suara klakson mobil membuat Alice menoleh, Aldric yang sudah tidak sabar lagi memilih untuk mengalah.
"Hanya sekali ini saja, Al. Lain kali pasti dia yang akan mendatangi mu," gumamnya di dalam mobil, masih tetap mempertahankan tinggi harga dirinya.
Sedangkan Alice, setelah menoleh sebentar ia lalu kembali fokus pada ponselnya. Masih tetap menghubungi Lucy, namun masih tidak mendapat jawaban.
"Ish, awas saja kamu Cy!" gumamnya kesal.
"Eh, aku hubungi telepon rumah saja. Minta Bibi untuk mengirim seorang sopir," lanjutnya setelah mendapat pencerahan. Sementara Aldric sudah membuka pintu mobilnya, emosinya yang sedari tadi ia tahan kini mulai ingin meledak.
Tidak jauh dari sana terlihat Sylvia yang sedang berlari ke arah Alice, ia terlihat sangat senang. Saat Alice ingin menghubungi telepon rumah, tiba-tiba Sylvia yang sedang berlari terpeleset dan jatuh menimpa Alice.
"Aauww," pekik keduanya, Sylvia bahkan langsung mengaduh kesakitan. Sepertinya kakinya terkilir, Aldric yang melihat itu segera menghampiri keduanya.
"Alice, kau tidak papa?" tanya Aldric sembari membantu Alice untuk bangkit berdiri.
"Aduh, duh... sakit sekali," teriak Sylvia dramatis.
"Kau bantu saja dia!" pinta Alice datar, sama sekali tidak peduli pada kekhawatiran Aldric.
"Tapi kau?"
"Aku tidak papa, bantu saja dia! Sepertinya ia akan mati jika dibiarkan lebih lama lagi." Ucapan Alice berhasil membuat Sylvia membulatkan kedua matanya, jika tidak sedang bersandiwara ia sudah pasti akan menabok mulut tidak tahu diri itu.
"Baiklah," jawab Aldric akhirnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tbc.
🌼🌼🌼🌼🌼
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
레이디핏
Mati nggak tuhh😂😂
2024-04-09
1
Miyura Rajati
salam kenal othor ...lanjut..
2022-09-25
1
rm_zzreinhart666ry
lanjut thor semangat
2022-09-25
1