Beberapa hari telah berlalu. Luka-luka di tangan dan kaki Nasya sudah mulai mengering. Luka yang ada mulai tertutup oleh jaringan yang baru. Warna kemerahan pada luka-luka mulai memudar.
Hari ini setelah tiga hari dirawat, Nasya di perbolehkan untuk pulang. Pagi-pagi sekali Gadhing sudah mengurus administrasi Nasya dan membantu membereskan barang-barang yang hendak mereka bawa pulang.
Infus yang menancap di punggung tangan Nasya juga sudah dilepas semenjak kemarin sore.
Semenjak Nasya dirawat, Gadhing selalu menginap di Rumah Sakit dan hanya sore hari pulang ke rumah melihat keadaan bunda Fadia dan Noni.
"Sarapan dulu, setelah itu baru kita pulang!" kata Gadhing membawa sepiring berisi nasi yang diberikan pihak Rumah Sakit buat para pasien.
"Aku sudah sembuh, mas. Dibeliin sarapan yang enak gitu," kata Nasya mulai bosan memakan makanan yang hambar.
Gadhing menghela nafas. Tanpa berkata apapun, Gadhing memakan makanan hambar itu hingga tandas.
Nasya melihat itu hanya tersenyum manis. Dalam hati selalu terpanjat doa semoga hati Gadhing sedikit luluh padanya.
Dalam hati, ingin sekali mendengar Gadhing mengatakan bila sudah memiliki rasa sayang dan cinta padanya walau hanya sedikit.
"Sudah. Ayo," kata Gadhing setelah meminum air mineral.
Gadhing membawa dua tas pakaian mereka dan membiarkan Nasya merangkul lengan dan berjalan begitu perlahan.
"Bisa jalan sedikit cepat? jam 9 mas akan masuk kerja. Bukankah kamu ingin makan di luar?" tanya Gadhing mulai tak sabar.
"Lutut kiri aku masih sedikit sakit, mas." Cicit Nasya membuat Gadhing menghentikan langkahnya.
Salah satu membuat Gadhing sering geram pada Nasya inilah salah satunya. Istri mudanya itu selalu ingin terlihat baik-baik saja.
"Tetap berdiri disini," titah Gadhing kemudian pergi untuk sesaat memanggil salah satu petugas laki-laki Rumah Sakit.
Petugas laki-laki itu membawa kursi roda. Tetapi Gadhing meminta petugas itu untuk membawa kedua tas mereka dan mempersilahkan Nasya agar duduk di kursi roda yang akan ia dorong.
Senyuman Nasya terus terukir di wajah cantiknya atas perlakuan manis Gadhing. Ia tidak perduli atas apa yang ada dalam pikiran Gadhing.
Rasa benci yang selalu di agungkan Gadhing pasti akan terkikis oleh cinta Nasya yang tulus.
Ketika sudah sampai di mobil Gadhing yang terletak di parkiran Rumah Sakit, Gadhing membuka bagasi dan menaruh dua tas mereka ke dalam sana. Kemudian ia membuka pintu penumpang sebelah kursi kemudi.
Tanpa berkata apapun, Gadhing langsung menggendong Nasya. Sejenak mata keduanya bertemu dan terputus setelah Gadhing mendudukkan Nasya dan memasang seat belt.
"Terimakasih," ucap Nasya tetapi tak ada jawaban dari Gadhing.
Gadhing menutup pintu mobil kemudian mengucapkan terimakasih pada petugas yang membantunya tadi.
"Sama-sama, Dok."
Gadhing mengitari mobil lalu membuka pintu pada sisi kemudi. Ia pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Kamu mau sarapan apa?" tanya Gadhing tanpa melihat ke arah Nasya.
"Nasi uduk, mas."
Gadhing mengangguk kemudian mencari penjual nasi uduk sebelum sampai ke rumah mereka.
Mobil Gadhing sudah berhenti tepat di depan minimarket karena penjual nasi uduk tepat bersebelahan dengan minimarket tersebut dan tidak memiliki tempat parkir mobil.
Gadhing keluar mobil lebih dahulu dan melakukan hal sama seperti tadi. Membukakan pintu mobil untuk Nasya, membuka seat belt, dan menggendong Nasya kemudian menurunkan agar melatih kaki nya agar berjalan dengan normal kembali.
Dengan telaten Gadhing menuntun Nasya walau tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kamu mau nasi uduk Lamongan atau nasi uduk biasa pakai sambal tempe dan mie?" tanya Gadhing.
"Nasi uduk biasa tapi pakai ikan lele, mas."
Gadhing menatap sekilas kemudian menghela nafas. Rasanya tak ingin berdebat lagi pada Nasya karena sudah tahu bila ia akan kalah jika sudah berdebat dengan istri mudanya itu.
Ia pun segera memesan kan makanan buat Nasya dan dua gelas teh untuk mereka.
"Jangan banyak gerak dulu. Luka mu belum kering betul," kata Gadhing.
Nasya menatap Gadhing dan mengangguk. "Mas. Besok aku harus masuk kerja, ya. Kafe ayah ada yang booking acara ulang tahun," kata Nasya.
Gadhing berdecak. "Baru dikasih tahu kalau luka kamu belum kering betul sudah izin kerja."
Nasya menelan saliva. "Mas itu sebenarnya sayang atau benci sih sama aku?"
"Benci."
"Sayang."
"Benci, Nasyama."
"Sayang, mas Gadhing."
"Benci."
"Sayang."
"Benci," untuk sekian kali Gadhing mengatakan itu.
"Benci," jebak Nasya.
"Sayang," kata Gadhing kemudian terkejut karena sadar bila salah bicara.
Nasya tahu kalau ucapan spontan Gadhing karena jebakan darinya. Tetapi, sudah membuatnya begitu bahagia. Senyuman terukir dengan mata berkaca-kaca menatap Gadhing. "Aku juga sayang sama mas. Bahkan aku gak pernah bisa bayangin gimana hidupku tanpa mas Gadhing sekarang."
Nasya menjeda ucapan dan memberanikan diri untuk menggenggam tangan Gadhing yang kebetulan berada di atas meja.
"Tolong jangan pernah mengatakan kita akan berpisah sampai aku benar-benar menyerah ya, mas."
"Kalau kamu menyerah berarti itu bukan cinta, melainkan sebuah ambisi."
Gadhing menatap mata Nasya dalam-dalam. Tidak ada yang keluar sepatah kata pun buat Nasya hingga pesanan mereka telah tiba.
"Makanlah," kata Gadhing kemudian menyesap teh hangat yang di pesan nya.
Andai Nasya dan para reader tahu bahwa Gadhing tidak akan berpisah pada Nasya. Bukan karena persoalan hati tetapi ia tak ingin membuat bunda Fadia kecewa dan ingin menepati janji pada kedua orang tua Nasya.
*
*
Pagi-pagi sekali bunda Fadia sudah sangat sibuk di dapur mempersiapkan kepulangan Nasya. Selepas sholat subuh, bunda Fadia sudah mengajak Noni pergi ke pasar buat belanja bahan-bahan dapur.
Dengan terpaksa Noni menurut demi terlihat baik oleh ibu mertua nya. Padahal biasanya, ia selalu bangun paling cepat pukul tujuh pagi.
Tetapi, empat hari bunda Fadia menginap selalu membangunkan nya agar sholat subuh bersama.
Bunda Fadia sendiri tak ingin membeda-bedakan kedua menantu walau Nasya lebih spesial daripada Noni karena dari tangan nya langsung Nasya dibesarkan dan di didik attitude nya dengan baik.
Apalagi selama tiga tahun belakangan, bunda Fadia tidak melihat ada cinta dari Gadhing maupun Noni. Yang ia lihat selama ini hanya ada tanggung jawab yang dijalani.
Bunda Fadia memasak menu makanan kesukaan Gadhing dan Nasya, tidak lupa makanan kesukaan Noni juga.
Ada tumis udang buncis, sayur asem, ikan asin goreng, lalapan timun, sambal terasi, dan ayam bakar.
"Noni. Apa sekarang kamu sudah bisa masak?" tanya Bunda Fadia.
"Belum, Bun. Mas Gadhing juga gak masalah kok."
Bunda Fadia mengangguk paham. "Iya. Jangan berpikir aneh-aneh, ya. Bunda hanya bertanya," kata bunda Fadia lembut.
Tak berselang lama, dari pintu depan rumah terdengar suara deru mesin mobil Gadhing.
Bunda Fadia dan Noni segera keluar menyambut kepulangan mereka.
*
*
Gadhing turun dari mobil dan segera mengitarinya. Di buka pintu kemudian membuka seat belt lalu menggendong Nasya kembali.
Terlihat jelas Noni tidak menyukai pemandangan itu. "Mas," protes Noni.
Gadhing tersadar langsung menurunkan Nasya dengan kasar dan itu membuat Nasya terjatuh karena tak siap menyeimbangkan diri.
"Mas," cicit Nasya.
"Gadhing. Astaghfirullah, apa-apaan kamu, nak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Neulis Saja
dasar si oon ko dijatuhin tahu rasa kalau nanti kamu akan bucin sama Nasya
2023-10-12
0
Erlinda
sorry aq stop sampai disini aq pikir cerita nya bagus ternyata....
2023-04-15
0
ria
semangat nasya..
2022-10-20
0