Nasya keluar dari rumah itu dengan derai air mata hingga masuk ke dalam taksi. Tidak menyangka sahabat yang sudah dianggap saudara mampu menyakitinya begitu dalam.
"Kamu menjijikkan Noni," umpat Nasya sembari mengucap istighfar, tak habis pikir dengan Noni merasa iri padanya hingga menghancurkan hatinya begini.
Taksi melaju menuju salah satu Rumah Makan Cintarasa miliknya. Beberapa saat kemudian taksi telah sampai tujuan.
Diseka air matanya sebelum keluar dari taksi tersebut dan memberi ongkos. Dilihat Rumah Makan Cintarasa miliknya sudah ramai oleh orang-orang hendak mengacaukan keadaan.
"Ada apa ini, Il?" tanya Nasya setelah mengucapkan salam pada pria bernama Ilham berprofesi sebagai koki disana.
"Begini, Bu. Kami disuruh pergi dari Rumah Makan karena bukan Ibu lagi pemiliknya kata beliau," ungkap Ilham.
Nasya terkejut. Pandangan nya beralih pada pria berpakaian batik dan beberapa orang memakai seragam yang sama.
Pria itu menyerahkan sebuah map berisi dokumen yang menyatakan bahwa Rumah Makan Cintarasa ini telah berpindah tangan menjadi milik Dimas Anggara.
"Astaghfirullah," gumam Nasya tak habis pikir dengan perlakuan jahat Dimas padanya.
"Kalian bisa bekerja sementara di Warung Makan Cintarasa pusat menunggu hingga bangunan Warung lain selesai," tutur Nasya. Ia membiarkan apa yang diperbuat Dimas untuk sementara karena tubuh dan hati begitu lelah karena kejadian ini.
Setelah urusan nya selesai, Nasya kembali ke Rumah kontrakan dimana tinggal selama ini. Sesampainya di Rumah, memilih membersihkan diri lebih dahulu kemudian makan malam dengan telur dadar dan kecap manis, barulah tidur setelah beberapa saat usai makan malam.
...****...
Keesokan hari, Nasya telah rapi dengan gamis putih dan pasmina berwarna maroon berangkat menuju salah satu Rumah Sakit elit di Surabaya, dimana Gadhing bekerja disana.
"Sus. Apa Dokter Gadhing ada di ruangannya?" tanya Nasya harap-harap cemas.
"Dokter Gadhing ada di Ruang praktik. Satu jam lagi selesai, ada yang bisa dibantu?" tanya suster bernama Mita tak lain adalah asisten Gadhing di Rumah Sakit.
Nasya menggeleng. "Masalah Pribadi. Boleh aku menunggu di Ruangan nya?" tanya Nasya karena sudah banyak di Rumah Sakit ini mengenalnya sebagai sepupu Gadhing.
Suster Mita tersenyum dan mengangguk. "Nanti saya sampaikan ke Dokter Gadhing. Saya permisi."
Nasya masuk ke dalam Ruangan Gadhing. Ruangan khas nuansa Rumah Sakit. Kakinya melangkah mendekati meja kerja pria yang masih dicintai dalam diam, suami sahabatnya sendiri.
Tangannya terulur mengambil bingkai figuran yang menampakkan senyum manis Gadhing sedang merangkul pundak Noni.
Ah, hati Nasya kembali teriris merasakan cemburu dan sakit hati secara bersamaan. "Kenapa kamu begitu membenciku, Mas?" diseka air mata yang menetes tanpa permisi dipipinya seraya menaruh kembali bingkai itu.
Tanpa terasa satu jam berlalu, pintu terbuka memperlihat pria tampan memakai jas putih. Nasya sendiri mematung melihat Gadhing masuk. Degub gantung yang terus bertalu bila berdekatan dengan kakak sepupu tirinya itu.
"Ada apa?" tanya Gadhing dingin.
Nasya berdehem. "Salam dulu, Mas!" tegurnya.
"Assalamualaikum."
Nasya tersenyum dan menjawab salam dari Gadhing. "Waalaikumsalam."
"Ada apa? jangan banyak basa-basi kalau bukan hal penting," ucap Gadhing, duduk di hadapan Nasya.
"Ini masalah mas Dimas. Kami batal nikah," ucap Nasya takut-takut.
Gadhing tampak mengerutkan dahi. "Lalu urusan nya denganku, apa? bukan nya Pernikahan kalian urus sendiri di Malang?" tanya Gadhing sinis.
"Mas Dimas selingkuh dengan Noni, Mas!" gumam Nasya semakin takut bila Gadhing akan semakin membencinya.
Hening.
Beberapa saat kemudian terdengar tawa sumbang dari Gadhing. "Kalau calon suamimu yang selingkuh jangan menuduh sahabatmu sendiri apalagi dia istriku, Nasyama Khadijah Putri!" sentak Gadhing membuat Nasya terperanjat.
Hati Gadhing menjadi panas, wajahnya tampak merah dengan rahang mengeras, dan tangan terkepal erat diatas lututnya.
"A-aku melihatnya secara langsung, Mas. Di Rumah kami," sahut Nasya menunduk dengan mata berkaca-kaca.
Gadhing berdecak ketika menyadari suara Nasya terdengar bergetar. Diambil sapu tangan disaku lalu diserahkan pada Nasya.
"Jangan ngadi-ngadi, kamu. Pulanglah, istirahat yang cukup sebelum kamu menikah. Aku gak mau Bunda memarahiku lagi karena kamu menangis," ucap Gadhing menahan amarahnya.
Nasya menerima sapu tangan itu untuk menghapus air matanya. Sedari dulu dirinya akan menangis bila dimarahi oleh Gadhing.
"Tapi aku gak bohong, Mas."
"Pulang, Nasyama. Aku sedang tak ingin bertengkar denganmu," suara Gadhing mulai meninggi kembali membuat Nasya menyerah.
Tentu saja Gadhing tak akan percaya karena Nasya tak memiliki bukti atas perselingkuhan Dimas dan Noni.
Akhirnya Nasya kembali ke Rumah kontrakan. Memikirkan bagaimana meyakinkan Gadhing agar percaya padanya.
Memikirkan dia orang itu semakin membuat hatinya menggebu untuk membalas sakit hatinya.
Senyum miris terukir ketika baru sadar, Dimas tak ada memberi kabar hanya untuk sekedar meminta maaf padanya.
...****...
Beberapa hari kemudian lebih tepat tiga hari sebelum hari pernikahan Nasya dan Dimas.
Nasya sudah bersiap untuk berangkat ke Malang, menjalani misi membalas sakit hati terhadap Noni.
Mengingat bagaimana perlakuan Gadhing padanya saat kemarin setelah memergoki Dimas dan Noni, membuat Nasya nekad untuk mengambil langkah ekstrim ini.
"Assalamualaikum," ucap Nasya setiba di rumah Bunda Fadia.
Rumah penuh kenangan indah dan hancur bersamaan. Indah ketika semua anggota keluarga berkumpul, hancur ketika semua anggota keluarga berkumpul tetapi tidak dengan kedua orang tuanya dan juga Paman kandungnya, Harry Setiawan.
"Waalaikumsalam," suara pintu terbuka memperlihatkan wanita paruh baya dengan hijab lebarnya.
Nasya memeluk Bunda Fadia dan masuk ke dalam rumah.
"Katanya besok baru datang?" tanya Bunda Fadia.
Nasya menatap Bunda Fadia intens, memegang kedua tangan wanita paruh baya itu. "Bunda, Nasya ingin menagih janji Bunda dan Mas Gadhing."
Bunda Fadia tampak terkejut atas permintaan Nasya. "Tapi sayang, bagaimana dengan pernikahan kamu dan Dimas?"
"Pernikahan kami harus di batalkan, Bun. Mas Dimas berkhianat."
Sekali lagi Bunda Fadia tampak terkejut. "Tapi kamu tahukan, hubunganmu dengan Gadhing gak pernah akur dan juga sudah punya istri. Bagaimana kamu menjalani itu? Bunda gak mau kamu enggak bahagia, sayang."
Nasya tersenyum. Ia tahu jika Bunda Fadia tak akan menolak jika menyangkut janji. Dan ia pun tidak menceritakan pada siapa Dimas berkhianat.
Nasya tahu Gadhing tak bisa menolak permintaan Ibu Fadia, karena hal itulah membuat rencananya menjadi istri kedua Gadhing sangat mudah.
Setelah meyakinkan Bunda Fadia bila rela menjadi kedua dan sanggup menjalani hari di cap sebagai pelakor, barulah permintaan nya disetujui.
...****...
Di Surabaya.
Di tengah memeriksa pasien, Gadhing meminta izin untuk mengangkat telepon dari Bunda Fadia.
"Assalamualaikum, Bunda."
"Waalaikumsalam. Kamu dimana, Nak?"
"Di Rumah Sakit, periksa pasien. Ada apa, Bun? Apa Bunda baik-baik saja? Apa kolesterol Bunda, kambuh?"
"Astaghfirullah, Bunda sehat Gadhing. Bunda hanya minta kamu pulang ke Malang dua hari lagi bisa?"
Gadhing mengerutkan dahi. "Ada apa, Bun? apa gak bisa besoknya saja saat hari pernikahan anak perempuan ibu itu?"
"Ada hal penting. Bunda tunggu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Neulis Saja
yg tdk mengerti dinas sdh berhianat merebut usahanya Nasya ko bisa gitu apakah tidanya usahanya patungan antara dimas dgn Nasya?
2023-10-11
0
Erlinda
aq pikir si Nasya itu pintar ternyata dia super goblok udah tau calon nya berkhianat bukan nya direkam utk bukti aq paling benci banget sama cewek super goblok hanya gara gara lelaki.
2023-04-15
1
Rita Rosid
kenapa ngk direkam saat tahu calon suaminya selingkuh itu buat barang bukti
2022-10-20
0