Berdarah

Sore itu, Rania berencana untuk jalan-jalan keliling perkebunan. Ia sudah berdandan rapih, menggunakan celana jeans serta kemeja ungu, ia hanya menggunakan jilbab biasa.

"Bu, aku jalan-jalan sore dulu ya." Izin Rania.

"Hmmm, hati-hati, jangan sampai pulang-pulang jilbab mu hilang entah kemana." Dokter Husna mengingatkan.

"Iya Bu."

Rania sendiri heran kenapa dulu itu jilbab bisa jatuh dari kepalanya, yang lebih mengherankan lagi itu jilbab bisa ada pada Fadlan. Rania sudah menggunakan sepatu kesayangannya yang berwarna putih, sepatu pemberian dari ayahnya sewaktu masih hidup.

Baru saja hendak keluar dari rumah, terlihat ada Syifa dan Fadil yang sedang membawa Bilkis ke klinik, dilihatnya keningnya Bilkis nampak benjol.

"Assalamualaikum."

Fadil dan Syifa sudah tergesa-gesa membawa Bilkis yang sedari tadi menangis kesakitan.

Karena menyadari kalau klinik belum buka, akhirnya Syifa dan Fadil ke rumahnya Dokter Husna.

"Assalamualaikum Dokter."

"Waalaikumussalam."

Dokter Husna sudah membukakan pintu.

"Dokter Husna, tolongin si Gemoy kepalanya benjol kejedot tihang listrik." Teriak Fadil.

Dokter Husna pun segera membawa Bilkis pergi ke klinik, kebetulan rumahnya berdampingan dengan klinik. Rania sempat melihat, tidak lama ia pergi untuk jalan-jalan. Baru saja melewati beberapa rumah, Rania merasakan ada yang aneh dengan sepatunya.

"Ini sepatu di dalamnya kaya ada kerikil kecilnya sih."

Rania berhenti di tengah jalan, ia berjongkok membuka sepatunya dan bergegas memeriksanya, rupanya memang ada kerikil kecil di sepatu itu.

"Pantas saja sakit, rupanya ada batu kerikilnya. Padahal kalau boleh riques sih jangan batu kerikil, paling nggak berlian gitu yang ada didalam sepatu, kan kalau isinya berlian, aku bisa jual terus bisa bayar hutang." Batin Rania.

Tiba-tiba Rania mendengar suara orang berlari dibelakangnya, saat ia membalikan badannya, ia terkejut melihat ada ibu-ibu gemuk berlari mendekat yang tidak lain adalah Dewi.

"Aaaaaaaaaa." (Rania).

"AWAAAAAAAS." (Dewi).

Rania segera menghindar hingga ia selamat dari aksi tabrakan itu, namun sayang sepatu Rania tidak sengaja tertendang oleh Dewi hingga melayang jauh sekali.

"Sepatuku."

"Maaf, aku sedang buru-buru, cucuku kejedot tihang listrik, keningnya benjol." Ujar Dewi yang kembali berlari ke klinik untuk melihat keadaan ya Bilkis.

Tak disangka sepatunya Rania melayang hingga mendarat di wajahnya Fadlan.

BHUKKK.

"AWWWWW".

Fadlan merasa kesakitan, hidungnya pun mengeluarkan darah segar akibat hantaman sepatu.

"Astaghfirullah alazim."

Fadlan terus memegangi hidungnya. Ia juga melihat ada sepatu disana.

"Sepatu siapa ini?"

Fadlan menghentikan langkahnya dan berjongkok sejenak, kepalanya terasa berkunang-kunang, belum lagi rasa sakit di hidungnya. Sementara dengan Rania yang kini sedang mencari-cari sepatunya yang sebelah kanan.

"Duh itu ibu-ibu, sepatuku main tendang saja. Awas saja kalau itu sepatu gak ketemu." Gerutu Rania yang masih mencari sepatu itu, ia tidak tau kalau sepatunya mendarat di wajahnya Fadlan. Posisi mereka lumayan jauh.

"Duh dimana jatuhnya itu sepatu, padahal itu sepatu kesayanganku, pemberian dari ayah. Pokonya harus ketemu, gak boleh hilang." Batin Rania

Setelah lama mencari-cari tapi tidak ketemu-ketemu, akhirnya Rania mengucapkan sesuatu.

"Pokoknya siapapun yang menemukan sepatu itu, akan kuberi hadiah. Kalau perempuan, akan aku jadikan tetangga, kalau yang menemukannya anak-anak, akan kuberi permen, nah kalau laki-laki akan kujadikan suami, itu pun kalau laki-lakinya masih muda dan ganteng. Kalau laki-lakinya tua dan jelek mah mending dijadikan tetangga saja." Tutur Rania.

Rania sedikit kecewa, karena sepatu kesayangannya hilang entah kemana, berharap ada yang menemukannya dan mengantarkannya ke klinik. Rania pun pulang sambil menenteng sepatu sebelah kiri. Ia batal untuk jalan-jalan sore.

Sesampainya di klinik, rupanya klinik nampak sepi, mungkin si gemoy yang benjol sudah pulang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Dokter Husna sudah mengernyit melihat Rania pulang sambil menenteng sepatu yang hanya sebelah.

"Rania, kenapa kau datang-datang menenteng sepatu sebelah begitu, mana sepatumu yang sebelah lagi?" Tanya Dokter Husna.

Rania sudah cemberut.

"Ketendang ibu-ibu gemuk, gak tau melayang kemana." Jawab Rania sambil menggerutu. Dokter Husna sudah mengernyit heran.

"Ko bisa?"

"Entahlah Bu, dia datang seperti angin tornado yang menghantam sepatuku hingga hilang, asal ibu tau saja ya, itu sepatu kesayangan ku, ayah yang memberikannya untuku." Tutur Rania.

"Sabar ya, mudah-mudahan sepatunya ketemu."

Rania menaruh sepatu sebelahnya itu kesamping mejanya Dokter Husna.

Sementara dengan Fadlan yang kini pulang ke rumahnya sambil menenteng sepatu Rania yang hilang. Darah masih mengalir di hidungnya. Tidak sengaja Sarah melihatnya.

"Astaghfirullah alazim, Fadlan kau kenapa?" Tanya Sarah khawatir melihat hidung putranya berdarah. Fadlan diam-diam melempar sepatu itu ke halaman rumahnya, berharap bisa menemukan pemilik sepatu itu untuk dimintai pertanggungjawaban.

"Katakan Fadlan, kau kenapa sampai mimisan begini. Apa ada yang memukulmu?. Ayo umi antar kau ke klinik." Ujar Sarah.

"Iya Mi, sekarang aku ke klinik, tapi umi jangan nganter ya, malu nanti dikira aku anak kecil." Pinta Fadlan. Akhirnya Sarah pun mengangguk dan membiarkan putranya pergi sendiri ke klinik.

Diperjalanan menuju klinik, Fadlan sudah komat kamit membacakan do'a, ia berharap Rania tidak ada di klinik.

"Mudah-mudahan putrinya Dokter Husna tidak ada di klinik. Aamiin aamiin ya rabbal alamin."

Sesampainya di klinik. Fadlan sudah mengetuk dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Rania terkejut melihat hidungnya Fadlan berdarah.

"Mas Duda kenapa?" Tanya Rania mendekati.

Rupanya doanya Fadlan belum terkabulkan, Rania ternyata ada di klinik.

Dokter Husna sigap menangani Fadlan.

"Bu, buruan si mas Dudanya di obati, kasihan Bu." Rania ikut panik.

Fadlan sudah diobati, hingga hidungnya kini sudah tidak berdarah lagi.

"Aku baru tau kalau menstruasi laki-laki itu di hidung." Ujar Rania. Fadlan langsung mengernyit, sementara Dokter Husna sudah menepuk pundak putrinya.

"Bicara apa kau ini." Gerutu Dokter Husna.

"Bercanda doang Bu. Mungkin mas Duda panas dalam, ususnya di kompres saja Bu biar adem."

Setelah diobati dan merasa lebih baik, administrasi pun sudah dibayar, Fadlan pun pamit pulang.

"Dokter Husna, saya permisi dulu, terimakasih. Assalamualaikum."

Tiba-tiba Rania melarangnya.

"Ikh mas Duda jangan pulang dulu, mas itu belum baik-baik saja, sepertinya mas Duda harus di impus deh, bahaya loh mas kalau hidung sudah mengeluarkan darah banyak begitu. Di impus saja ya, takutnya nanti mas Duda anemia." Rania sudah mengeluarkan mode maksa. Fadlan sudah mengernyit, begitu juga dengan Dokter Husna.

"Tidak usah Rania, aku sudah sembuh." Fadlan mencoba kabur, namun Rania sigap melarangnya, ia sudah menarik ujung bajunya Fadlan.

"Rania kau ini apa-apaan." Gerutu Dokter Husna.

"Bu, mas Duda itu harus segera di impus, kalau perlu dioperasi sekalian, takutnya dia kenapa-kenapa."

"Tapi mas Fadlan ini baik-baik saja, dia tidak perlu diimpus."

Sebenarnya Fadlan ingin segera kabur, namun tangannya Rania begitu kuat mencengkram ujung bajunya. Fadlan sudah bingung sendiri, mendadak ia takut. Sementara Dokter Husna sudah kesal pada putrinya itu.

"Ayo Bu, segera impus mas Dudanya."

Tiba-tiba Sarah dan Pipit serta Zidan datang ke klinik. Mereka khawatir karena Fadlan tidak pulang-pulang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Pipit langsung berlari mendekati Abinya.

"Abi kenapa?"

"Abi baik-baik saja sayang."

Sarah pun ikut mendekati bersama Zidan.

Sarah dapat melihat jika hidungnya Fadlan terlihat memerah akibat hantaman sepatu.

"Dokter Husna, Fadlan baik-baik saja kan?" Tanya Sarah. Baru saja Dokter Husna mau menjawab, namun Rania langsung nyerobot.

"Abinya Pipit tidak baik-baik saja Tante, darahnya keluar banyak dari hidung, dan itu sangat bahaya. Aku sarankan biar mas Duda di impus saja, takutnya nanti dia terkena anemia." Tutur Rania.

"NGGAK,,, aku baik-baik saja, dan aku sekarang mau pulang." Fadlan menolak, ia berpikir kalau Rania terlalu berlebihan. Fadlan mencoba mengeluarkan mode kabur.

KABUR.

KABUR.

KABUR.

"Tidak Fadlan, yang dikatakan Rania benar, umi takut kau kenapa-kenapa. Sebaiknya kau harus di impus." Tutur Sarah yang kini sudah menyuruh Dokter Husna untuk mengimpus Fadlan. Fadlan terpaksa mengeluarkan mode pasrah, ia begitu kesal pada putrinya Dokter Husna itu. Rania sempat berbisik.

"Aku temani Mas Duda malam ini di klinik."

Fadlan langsung melotot ketakutan hingga Rania yang melihatnya pun langsung tersenyum gemas.

"GEMEEEZZZ."

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

there is girl like that

2022-12-29

1

yanti

yanti

koq aku gemes ama ke 2 2nya ya
ama Fadlan gemez ama malunya kalo
ama Rania gemez ama usilnya..

duh kebayang pemalu vs agresif😝

2022-08-14

2

Maulana ya_Rohman

Maulana ya_Rohman

🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣👍
ngebacanya sambil ketawA......🤣🤣🤣🤣🤣 dikira setres🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦

2022-08-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!