Diperiksa

Malam itu, Rania sudah membaringkan tubuhnya ditempat tidur, malam ini pertama kalinya ia menginap di rumah ibunya yang rumahnya tidak jauh dari klinik, lebih tepatnya disebelah klinik. Rania sudah memejamkan matanya, mungkin ia terlalu banyak pikiran. Memikirkan hutang, memikirkan tentang hidupnya, bagaimana jika dia dalam tiga bulan ini tidak mendapatkan uang untuk membayar hutangnya, apakah dia harus mengorbankan dirinya untuk menjadi istri ketiganya pak Beno. Atau kah Rania harus mencari lelaki kaya untuk bisa membantunya melunasi hutangnya. Rania mulai bingung sendiri.

Rania tidak pernah mau bermain-main dengan yang namanya pernikahan. Bagaimana pun pernikahan adalah sesuatu yang istimewa baginya, jadi ia harus menikah dengan lelaki yang ia cintai, juga lelaki yang mencintainya, tidak perduli ia tampan atau jelek, tidak perduli juga miskin atau pun kaya, yang penting saling mencintai dan saling menyayangi.

"Ayah, seandainya ayah masih ada, pasti ayah tidak akan membiarkan ku kebingungan dan ketakutan seperti ini." Batin Rania yang kini sudah mulai berkaca-kaca.

Selama ini Rania begitu dekat dengan ayahnya meskipun hidup di kota yang berbeda, ayahnya Rania sering berkunjung ke Jakarta untuk menengok putri semata wayangnya itu.

Ketika asik melamun sambil memejamkan matanya, tiba-tiba Rania teringat sorban Fadlan menggantung di kamarnya, ia kemarin lupa mengembalikannya pada Fadlan. Rania pun tersenyum, mengingat Fadlan ia merasa lucu sendiri dengan sikap pemalu si Duda itu, apalagi sekarang Rania tau kalau Fadlan sedang mencari calon istri. Ngomong-ngomong soal calon istri, tiba-tiba Rania teringat dengan formulir yang dipintanya dari si kembar Yudi dan Yuda.

Rania langsung bangun lalu mengambil kertas formulir itu. Kembali Rania tersenyum.

"Si Duda pemalu itu lagi nyari janda."

Tiba-tiba Rania tertawa, lalu ia mengambil bolpoin dari dalam laci kamarnya. Iseng-iseng ia mengisi formulir itu. Entah apa yang ia tulis di kertas itu hingga ketika selesai mengisinya, Rania malah tertawa-tawa.

"Sampai ketemu mas Duda pemalu."

Rania menaruh kertas itu ke atas meja untuk diserahkan pada si kembar besok.

...***...

Pagi-pagi sekali Dokter Husna sudah membangunkan Rania untuk shalat subuh. Dokter Husna sudah mengetuk pintu kamar putrinya itu, namun sepertinya Rania masih bergulat dengan mimpinya.

"Rania bangun."

Karena tak kunjung ada jawaban, akhirat Dokter Husna membuka pintu kamar itu, ia langsung mengernyit melihat putrinya masih tidur dengan nyenyak nya seolah ikut terbawa terbang di alam mimpi.

"Astaghfirullah alazim. Rania bangun, sebentar lagi azan."

Doker Husna sudah menggoyang goyangkan pundak Rania. Rania hanya menggeliat.

"Jangan ganggu." Ujar Rania yang matanya masih terpejam.

"Bangun, ayo bangun." Kembali Dokter Husna menggoyangkan pundaknya Rania hingga Rania langsung membuka matanya.

"Ada apa Bu."

"Bangun sudah pagi. Kata orang kalau anak perawan bangunnya kesiangan, nanti jodohnya bisa dipatok tetangga." Ujar Dokter Husna sengaja menakuti.

"Aku masih ngantuk Bu, bangunnya nanti kalau matahari sudah terbit." Jawab Rania yang kini kembali tidur. Dokter Husna sudah mengernyit lalu mengelus dada, ia yakin jika putrinya itu tidak pernah bangun pagi untuk shalat subuh.

Selama ini Dokter Husna memang tidak setuju jika Rania tinggal di ibu kota. Pergaulan disana sangat berbeda sekali dengan kehidupan di pesantren. Selain belum hijrah penampilan, Rania pun masih jauh dari agamanya.

"Sayang bangun." Kembali Dokter Husna membangunkan. Kali ini terpaksa Rania bangun.

"Masih ngantuk Bu." Protes Rania.

"Dengarkan ibu. Kita ini umat muslim, jadi punya kewajiban untuk shalat. Ibu minta mulai sekarang kau berubah ya. Kau harus lebih mengenal Allah, nanti ibu akan membimbingmu. Jangan membantah, sekarang kau adalah tanggung jawab ibu. Jika kau ingin tinggal disini maka kau harus nurut pada ibu." Tegas Dokter Husna.

Rania pun pasrah mengalah, selama ini ia hanya Islam KTP. Rania pergi ke kamar mandi, setelah beres, ia pun mendekati ibunya yang sudah memakai mukena. Dokter Husna tersenyum, lalu memberikan mukena pada putrinya itu.

"Pakailah, nanti setelah salat subuh, ibu ingin bicara padamu." Ujar Dokter Husna. Rania pun mengangguk.

Setelah mereka mengerjakan shalat subuh, Dokter Husna pun mengajak bicara, mereka sudah duduk diruang keluarga.

"Dengerin ibu ya Ran, kau kan sekarang sudah dewasa, usiamu sudah 25 tahun. Belajarlah agama biar kau lebih dekat sama Allah. Mulailah berhijrah. Hijrah penampilan, hijrah pekerjaan, hijrah kepribadian, hijrah dari ibu kota ke pesantren atau kalau perlu kau hijrah setatus dari jomblo ke jadi istri (menikah)." Tutur Dokter Husna. Rania hanya diam, ia belum mengerti dengan apa yang dibicarakan ibunya itu.

"Maksud ibu?"

"Pokoknya mulai sekarang selama kau tinggal disini, kau nurut ya apa kata ibu. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Ibu merasa selama ini ibu gagal mendidik mu."

"Ibu marah ya padaku gara-gara aku tidak mau jadi Dokter dan malah mau jadi pembisnis hingga ujung-ujungnya aku terlilit hutang?" Ucap Rania menebak-nebak.

"Bukan itu sayang. Selama ini karena kau jauh dari ibu sama ayah, kau jadi jauh dengan agamamu. Mungkin ibu yang salah karena tidak mengajarkan mu ilmu agama sedari kecil. Jadi biarkan sekarang ibu kenalkan kau dengan agama mu, tidak ada kata terlambat. Ibu akan kasih kau les agama pada Ustadzah Ulfi. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Ok."

"Ok."

Rania pasrah.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

Tok tok tok.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Rania dan Dokter Husna sudah saling lirik, ia merasa heran pagi-pagi buta begini siapa yang datang bertamu.

"Waalaikumussalam."

"Coba kau bukakan pintu dulu Ran, ibu mau ke kamar mandi dulu sebentar." Ujar Dokter Husna. Rania mengangguk dan pergi membuka pintu.

"Ini siapa yang pagi-pagi buta begini datang bertamu sih, awas saja kalau yang datang itu tetangga yang mau bergosip, aku sudah siapkan obat nyamuk."

Saat Rania membuka pintu.

Cekleeek.

Rania langsung tersenyum-senyum melihat Fadlan berdiri didepan rumahnya sambil menggendong Pipit.

"Ikh mas Duda, pagi-pagi buta begini udah datang ngapelin aku. Rindu padaku ya?" Ujar Rania sambil tersenyum senyum.

Fadlan langsung mengernyit. Rania melihatnya pun langsung tertawa tawa, ia merasa gemas pada si Duda pemalu itu hingga ia senang sekali menggodanya.

"Aku kesini mau ketemu Dokter Husna." Ujar Fadlan. Kini giliran Rania yang mengernyit bahkan sampai menyipitkan matanya pada Fadlan.

"Ini si Duda pemalu beneran lagi nyari janda, dia pagi-pagi begini mau ngapelin ibu." Batin Rania.

"Ibuku sudah tidak berminat untuk menikah lagi, jadi sebaiknya mas Duda pergi dari sini, hus hus hus." Rania malah mengusir Fadlan sambil menutup pintu.

Fadlan sudah dibuat bengong hingga ia saling lirik dengan Pipit. Bahkan Pipit sempat tertawa melihat ayahnya diusir. Fadlan kembali mengetuk pintu.

Tok tok tok.

"Rania tolong dengarkan aku dulu." Ujar Fadlan.

Rania kembali membuka pintu.

"Dengarkan aku ya mas Duda, aku tau sekarang mas Duda lagi nyari janda, tapi harus mas Duda tau ya, ibuku sudah tidak berminat untuk menikah lagi, jadi jangan dekati ibuku." Tegas Rania.

"Maaf Rania, aku kurang mengerti dengan ucapanmu, aku kesini mau ketemu Dokter Husna, Pipit putriku sedang sakit gigi, aku mau minta tolong Dokter Husna untuk memeriksanya." Tutur Fadlan. Mendengar itu Rania baru nyengir.

"Oh mas Duda kesini mau minta diperiksa, kirain mau ngapelin ibu." Rania sudah tertawa sendiri.

"Tadi kita sudah ke klinik, tapi kliniknya belum buka, makanya aku bawa Pipit kesini."

"Ibu lagi ada urusan di kamar mandi. Kalau soal sakit gigi mah aku ngerti, sakit hati saja aku mah sudah khatam. Ayo kita ke klinik." Ajak Rania yang pura-pura mengerti soal pengobatan padahal ia sama sekali tidak mengerti.

Akhirnya mereka bertiga pergi ke klinik yang kebetulan posisi klinik dekat dengan rumah Dokter Husna.

Sesampainya di klinik, Fadlan sudah mendudukkan Pipit di ranjang pemeriksaan. Rania sudah menggunakan beberapa jenis alat pemeriksaan meskipun dirinya sendiri tidak mengerti. Fadlan sudah berdiri sedikit menjauh.

"Mas Duda jangan jauh-jauh, sini duduk sama Pipit, nanti sekalian aku periksa giginya, kalau perlu aku periksa juga hatinya." Ujar Rania sambil tertawa kecil. Fadlan sudah menunduk malu.

"Ikh si mas Duda kebiasaan deh nunduk mulu kebawah, AADL jadinya, Ada Apa Dengan Lantai." Batin Rania yang sudah merasa gemas.

"Mas Duda sini duduk." Pinta Rania sambil menepuk kesebelahnya Pipit. Fadlan langsung menggeleng.

"Abi, sini duduk." Pinta Pipit.

Fadlan memang bisa menolak permintaan Rania, tapi dia tidak bisa menolak permintaan Pipit. Akhirnya Fadlan pun ikut duduk disebelah putrinya itu.

"Duduk yang rapih ya mas Duda, nanti kalau sudah selesai diperiksa aku Poto." Ujar Rania. Fadlan hanya diam menunduk, merasa malu dekat dengan perempuan.

Terpopuler

Comments

Neulis Saja

Neulis Saja

next

2022-12-29

1

Muhtar Ndori

Muhtar Ndori

M O D U S.....

2022-10-20

1

🇵🇸🇮🇩 гเรภคչเ๔คภєคгŦค🌽

🇵🇸🇮🇩 гเรภคչเ๔คภєคгŦค🌽

Rania mau foto keluarga sepertinya 🤣

2022-08-25

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!