"Mmm.... ti-tidak. Aku hanya pernah mendengar saja, tentang perusahaan itu dari orang-orang" Kilah Rahul dengan gugup.
"Oh...." Zahra manggut-manggut.
"Makanya saya ingatkan, Agar kau jangan pernah membuat masalah disini" Pak Mahdi kembali memperingatkan.
"Iy-iya Pak, anda tentang saja. Saya janji. Saya akan bekerja sebaik mungkin, agar tidak merugikan pabrik ini" Lirih Rahul sembari manggut-manggut. Dia tidak menyangka, jika pabrik tempatnya bekerja saat ini adalah milik keluarganya sendiri.
Memang keluarganya memiliki beberapa anak perusahaan, yang bergerak dalam beberapa sektor yang berbeda. Dengan beberapa gedung kantor, dan pabrik yang beradadi beberapa kota dan negara yang berbeda. Hingga dibeberapa pelosok, yang dia sendiri kurang tau.
Dia sedikit lupa akan hal itu. lantaran dirinya yang sudah bertahun-tahun tidak terlibat langsung, dalam masalah bisnis keluarganya karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk hal itu.
Huh..... Padahal tadinya dia berpikir. Bahwa desa ini sudah cukup aman baginya, untuk bersembunyi dari keluarganya sendiri. Tidak disangka, sekarang dia malah terjebak disini.
Dia hanya berharap, semoga tidak akan pernah ada yang mengenali dan menyadari statusnya, sebagai anak dari pemilik perusahaan pabrik ini.
"Oh ya Pak. Lalu bagaimana dengan kesepakatan kita tempo hari?" Timpal Zahra.
"Kesepakatan? Maksudnya?" Pak Mahdi mengernyitkan dahi. Entah memang tidak paham maksud Zahra, atau belagak lupa.
"Udah lah Pak. Gak usah belagak lupa. Kan Bapak sendiri yang memulai kesepakatan itu. Jika Rahul tidak bisa bekerja sesuai dengan ekspektasi, dan bahkan merugikan pabrik ini. Maka kami akan mengganti rugi dua kali lipat. Tapi sebaliknya, jika dia bisa memiliki kemampuan bekerja yang sejajar dengan karyawan lainnya, maka....." Jawab Zahra dengan santainya.
"Iya ya, ya, ya. Kamu tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka ingkar janji...." Tukas Pak Mahdi terpaksa.
"Yeaay!!" Rahul dan Zahra bersorak serempak, sembari meloncat kegirangan dan saling berpelukan. Membuat Pak Mahdi menatap mereka dengan nyalang dan menghela nafas berat.
"Eheum.... Tolong jangan jadikan saya sebagai obat nyamuk ya" Tegur Pak Mahdi ketus.
"Mmm, maaf Pak. Eu....oh ya, ini ada kue dari Ibu saya untuk Pak Mahdi. Semoga suka" Zahra menyodorkan kantong plastik berisi beberapa jenis kue basah, dalam dua kotak mika pada Pak Mahdi.
"Ini buat saya? Terima kasih ya. Kue Ibumu kan, terkenal paling enak didesa ini. Euu....aromanya saja udah enak, apalagi rasanya. Kalau perlu, sering-sering aja begini. Secara cuma-cuma"
Pak Mahdi menerima kantong plastik berwarna putih itu dengan mata membulat. Seiring senyum sumringah yang merekah diwajahnya yang berkulit sawo matang.
"Itu bisa diatur Pak. Asalkan ada uang, pasti ada barang. Inikan bisnis. Saya dan Ibu saya jualan. Kan kami juga tidak ingin rugi, kalau terus-terusan memberikan secara cuma-cuma" Zahra tersenyum meledek, membuat Pak Mahdi mengatupkan mulutnya dengan geram.
"Saya permisi dulu" Dia pun berlalu dengan raut wajah masam.
"Iya Pak" Zahra tersenyum jahil melihat Pak Mahdi mati kutu karena ulahnya. Lalu dia melirik Rahul.
"Ayo pulang" Dan dia langsung melangkahkan kakinya. Namun tidak dengan Rahul yang tetap berdiri mematung ditempat.
"Lho, kenapa kau masih berdiri saja? Tidak mau pulang?" Tanya Zahra yang berbalik kembali lantaran melihat pria itu masih berdiri seperti semula.
"Kau tidak membawakan apapun untukku?"
"Memangnya aku harus membawakan apa untukmu? Kan kamu tidak ada menyuruhku, membawakan apapun kesini" Zahra mengernyitkan dahi dengan mulut yang sedikit dimonyongkan.
"Tapi kamu membawakan kue buatan Ibumu untuk Pak Mahdi"
"Ya....kan dia pelanggan tetap, yang sering membeli atau memesan kue dan katering ditempat kami. Jadi sudah dijamin, kalau dia akan menyukai dan menghabiskan kue itu. Sedangkan kamu...."
"Aku juga sangat menyukai kue Ibumu. Kan rasanya enak"
"Hah? Memangnya kapan kamu pernah mencoba kue Ibuku? Perasaan, semenjak kamu tinggal bersama kami, aku ataupun Ibu tidak pernah membawakan kue itu sebagai menu makanmu?"
"Aku pernah memakannya waktu dirumah sakit. Bukan dirumahmu"
"Rumah sakit? Seingatku, saat aku memberikan kue untukmu dirumah sakit itu, kamu menjatuhkannya hingga berserakan dilantai. Kapan kamu memakannya?"
"Ya.... setelah kau pergi. Aku jadi penasaran dengan rasa kue itu Akhirnya aku memungutnya kembali dan memakannya" Jelas Rahul malu-malu.
"Apa! Astaga, kau memakan kue yang sudah kotor dilantai?" seru Zahra ternganga mendengar pengakuan Rahul.
"Kenapa? Apakah terdengar jorok?" Tanya Rahul dengan raut wajah malu.
"He eh. Baru kali ini, aku bertemu dengan orang yang lebih memilih makanan yang sudah tercecer dilantai, ketimbang makanan bersih yang masih dikotak" Jawab Zahra geli.
"Ya.... Namanya juga orang sedang emosi dan kalut. Jadi ya, mana bisa berpikir jernih" lirih Rahul dengan wajah menunduk saking malunya.
"Apa ini?" Rahul merasakan sepasang tangan memegang tangannya, dan menggenggamkan sesuatu yang terasa seperti kantong plastik berisi. Rahul meraba-raba isi kantong itu, yang ternyata adalah dua kotak mika berisi kue basah. "Hah?"
"Makanya, lain kali gak usah gengsi. Kena batunya kan? Ayo pulang" Zahra tersenyum sinis dan kembali berjalan. Meninggalkan Rahul yang mati kutu dibuatnya.
"Astaga, wanita itu menjahiliku lagi. Huh" Gumamnya kesal.
***********
Suara adzan sebagai pertanda bahwa waktu shalat maghrib telah tiba, terdengar berkumandang saat mereka sedang dalam perjalanan pulang.
"Sudah adzan. Hul, kita sholat maghrib dulu yuk" Ajak Zahra.
"Sholat maghrib?" Tanya Rahul kikuk.
"Iya. Kita sholat di mushola saja. Kalau dirumah tidak akan keburu, karena lokasinya masih agak jauh. Takutnya nanti waktu maghribnya keburu habis. Yuk" Zahra menarik tangan Rahul dan kembali berjalan, tanpa membaca ekspresi wajah Rahul.
"I-ya" Rahul hanya bisa pasrah mengikuti ajakan gadis itu.
***********
Rahul memasuki tempat wudhu khusus pria dengan linglung. Dia begitu bingung harus mulai darimana. Dia tidak begitu paham akan wudhu ataupun shalat.
Selama 29 tahun dia hidup, baru kali ini dirinya dituntut untuk melakukan ibadah seperti itu. Jika bukan lantaran malu dengan Zahra, ingin rasanya dia melarikan diri saja dari tempat itu. Gadis itu tampaknya begitu religius dan taat ibadah. Tidak seperti dirinya yang.....
Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya Rahul memutar handle kran dan mencuci wajahnya.
Saat dia sedang kebingungan masalah wudhu, dari arah luar, lewat Amar dan genknya. Amar sedikit terkejut melihat keberadaan Rahul ditempat itu. Dia langsung menarik kedua sahabat karibnya untuk bersembunyi dibalik dinding.
"Eh Bro. Bukankah itu lelaki buta, yang kemarin bersama Zahra?" Kata Zacky dengan mata yang terus mengawasi gerak-gerik Rahul didalam sana.
"Iya benar. Itu si pria buta yang tidak tau diri. yang dengan sombongnya berani melawan dan menantang kita" Amar menatap Rahul dengan sorot mata penuh dendam.
"Sedang apa sibuta itu disini ya?" Timpal Thoriq.
"Ya kalau dia ada ditempat wudhu, itu artinya dia mau sholatlah. Masa mau berenang" Amar menjawab serampangan.
"Iya juga sih. Lalu, untuk apa kita bersembunyi disini? Jan dia juga tidak bisa melihat kita. Kan buta" Kata Thoriq lagi.
"Kemarin dia sudah berani melawan, bahkan hampir membuat kita digebukin oleh warga sekampung. Apa kita akan diam saja?" Zacky mulai memprovokasi.
"Iya Bro. Aku juga masih tidak terima, dengan apa yang dia lakukan pada kita waktu itu. masak, kita yang bisa melihat, kalah dari lelaki buta?" Timpal Thoriq.
"Iya, kalian benar. Sibuta itu memang harus diberi pelajaran. Hem..... Enaknya kita apain ya?" Amar tampak berpikir.
"Aku ada ide" Sahut Zacky yang lantas membisikkan idenya pada mereka. Ketiganya tersenyum licik, sebelum melangkah menghampiri Rahul kedalam tempat wudhu.
"Hello Bro. Bisa gak sih wudhu yang benar? Memangnya tidak pernah wudhu apa?" Komentar Amar melihat Rahul berwudhu tidak sesuai dengan ketentuan.
"Maaf, siapa kalian?" Tanya Rahul.
"Aku Amar. Dan ini.... Zacky dan Thoriq. Masih ingat? Yang kemarin bertemu dijalan" Jawab Amar lalu menunjuk kedua temannya.
"Oh..... Jadi kalian tiga lelaki berandalan itu? Yang sudah bersikap kurang ajar pada Zahra? Sedang apa kalian disini?" Kata Rahul dengan kesalnya. Mengingat bagaimana lelaki itu melecehkan dan hampir menampar Zahra kemarin. Rasanya dia tidak terima, ada orang yang berbuat tidak baik terhadap gadis itu.
"Santai Bro. Gak usah emosi. Inikan tempat umum. Lagipula inikan mushola. Jadi ya, kami disini mau sholatlah. Masak mau main catur" Jawab Amar sinis dan santai. Tidak terpengaruh dengan emosi Rahul.
Sementara Thoriq diam-diam mengambil botol berisi cairan pembersih lantai, dan menuangkannya sedikit demi sedikit secara perlahan-lahan tepat didepan kaki Rahul. Jadi selangkah saja pria itu berjalan, maka pasti......
"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk meladeni orang-orang seperti kalian. Jadi tolong jangan menggangguku" Rahul mengkretakkan giginya, berusaha sabar menghadapi ketiga manusia biang kerok itu. Karena enggan berurusan terlalu jauh dengan mereka, Rahul pun lebih memilih pergi saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Alya Yuni
, Zahra trllu bar bar
2022-09-17
1