"Sangat.... sangat menyukainya! Terima kasih ya Re, kalian memang sahabatku yang terbaik" Chika menjawab dengan antusiasnya. Keduanya pun kembali berpelukan.
Zahra tersenyum terharu melihat persahabatan dua gadis belia itu.
"Selamat ulang tahun ya Chik"
"Makasih Re"
"Oh ya Re, siapa laki-laki tampan yang sedang bernyanyi itu? Kalian mengenalnya? Atau.... kalian membayarnya juga agar bernyanyi untukku?" Chika melirik pria yang sedang bersenandung ria diarea dekorasi balon ditengah- tengah taman itu. Rere ikut meliriknya
"Namanya Kak Rahul. Dia tidak bisa melihat. tapi lihat, suaranya sangat bagus kan?"
"Iya, suaranya merdu sekali Re"
"Tadi aku dan teman-teman bertemu dengannya diteras depan rumah sakit. Kamu kan tau sendiri diantara aku, Rony, Doddy dan Razak tidak ada yang bisa bernyanyi ataupun bermain gitar. Nah, waktu ketemu Kak Rahul, kami cerita begitu. Dia bilang dia bisa nyanyi. Jadi kami minta tolong saja padanya, agar dia mau bernyanyi di acara ulang tahunmu. Dan dia bersedia, asalkan kami juga bersedia membantunya minta maaf pada seseorang"
"Zahra, maksudnya dia ingin minta maaf pada Suster Zahra?" Chika melihat dan membaca tulisan-tulisan pada karton yang tertera dengan tinta spidol itu.
"Sepertinya begitu. Lihat, Suster Zahra sudah ada disini. Yuk" Rere menarik tangan Chika menghampiri Zahra dan kedua temannya.
"Suster Yanti, Suster Wirda. Terima kasih ya, sudah membantu kami membawa Kakak Suster Zahra kemari" kata Rere pada Wirda dan Yanti.
"Sama-sama sayang" Wirda tersenyum lembut.
Zahra mengernyitkan kening dan melirik kedua sahabatnya.
"Jadi kalian juga terlibat dalam rencana ini?"
"Mau bagaimana lagi? Kami didesak" Yanti menaikkan alisnya, menjawab apa adanya.
"Lagipula kamu juga tidak marahkan? Malah sebaliknya, kamu akan berterima kasih pada kami berdua. Aku bahkan sudah bisa menebak alur selanjutnya. Kamu akan menghampirinya, lalu kalian jadian deh. Oh.... so sweetnya" Wirda berbisik dan tersenyum usil.
"Sudah-sudah Wir, jangan menggodanya terus. Ayo kita pergi" Yanti menarik tangan Wirda, senyum usil juga merekah diwajahnya.
"Baiklah, kami berdua mau lanjut kerja lagi. Khusus untuk hari ini, kamu bebas tugas. Have fun ya bersama gebetanmu" goda Wirda lagi.
Zahra semakin geram dengan kelakuannya, hingga dia mencubit perut Wirda dengan keras.
"Auuww....! sakit" reflek Wirda mengaduh kesakitan.
"Makanya kalau punya mulut dijaga. Dasar kompor" kata Zahra ketus. Yanti dan Wirda pun berlalu dengan senyum jahil yang masih terpancar.
Namun sebelum itu, mereka terlebih dahulu membubarkan gerombolan itu. Dengan alasan para pasien harus kembali beristirahat dikamar masing-masing. Gerombolan yang terdiri dari kaum hawa itu, awalnya enggan meninggalkan taman karena mereka sedang asik cuci mata.
namun Wirda dan Yanti berhasil membujuk rayu.
Begitu tawon-tawon itu meninggalkan taman, Zahra kembali memanjakan mata dan telinganya. Menatap wajah tampan dan mendengar suara merdunya dalam bersenandung, dengan wajah yang berseri-seri. Dia merasa seperti sedang menyaksikan film atau lagu India .
Prokk... prokk..... prokk.... (tepuk tangan Chika dan Rere begitu Rahul usai dengan aksinya. Kedua gadis itu berdiri dikanan kiri Zahra, tempat Wirda dan Yanti sebelumnya.
Zahra melangkahkan kaki menghampiri Rahul dengan anggunnya. Ekspresi wajahnya sukar terbaca.
Zahra mengambil tangan Rahul dan meletakkan uang receh ditelapak tangannya. Lalu dia mengulurkan tangannya pada lelaki itu. tentu saja Rahul tidak bisa melihat itu. Namun dia bisa merasakan, jika sebuah tangan lembut memegang tangannya. Juga sebuah benda dingin dan bundar yang terasa seperti logam menyentuh permukaan telapak tangannya.
Tadi saat Zahra sampai, Rony, Doddy dan Razak sudah memberi kode akan kedatangannya. Apakah gadis itu berada dihadapannya saat ini?
"Maaf, hanya itu uang receh yang aku miliki. Dan aku senang, karena akhirnya kamu menunjukkan juga kelebihanmu. Dan kamu berhasil membuat semua orang terpesona, akan penampilan dan suaramu. Azzahra Alfathunnisa, mau berteman denganku?"
Rahul terkesiap mendengar suara itu. Senyum ceria langsung menghiasi wajahnya.
"Rahul Aryan. Senang berteman denganmu" Dia sengaja tidak menyebutkan Dirgantara sebagai nama lengkapnya. Karena merasa enggan, jika ada yang mengenalinya sebagai bagian dari keluarga agung itu.
Zahra menjabat tangan Rahul "Hehehe....mari kita lupakan kemarin, dan fokus pada hari ini dan besok"
*********
Rahul dan Zahra tampak sedang asik berbincang dibangku taman.
"Terima kasih"
"Untuk?"
"Karena sudah memaafkanku"
"Kapan aku mengatakan, kalau aku memaafkanmu?"
"Tapi, tadi kamu bilang ingin berteman denganku" Rahul menautkan alisnya.
"Iya, tapi kan aku tidak bilang kalau aku memaafkanmu" jawab Zahra sesantai mungkin.
"Jadi... kamu masih belum bisa melupakan insiden hari itu? Lalu apalagi yang harus aku lakukan sekarang agar kamu mau memaafkanku?" tanya Rahul lirih.
"Euuum..... apa ya?" keusilan Zahra semakin menjadi jadi kala melihat raut kecemberutan diwajah Rahul "Hehehehe...."
"Kenapa tertawa? Aku sedang serius" nada suara Rahul sedikit naik. Perasaan kesal disertai bingung bercampur aduk akibat tingkah laku Zahra.
"Bisa aku mengatakan satu hal" Zahra berusaha meredam tawanya.
"Apa?"
"Saat sedang cemberut, kau terlihat sangat lucu dan menggemaskan hihihi. Aku hanya bercanda. Lagipula hatiku tidak terbuat dari batu. Hingga bisa menyimpan dendam begitu dalam, meskipun orang itu sudah minta maaf berulangkali. Aku kan sudah bilang, lupakan kemarin, dan fokus pada hari ini dan besok"
"Jadi kamu menjahiliku?"
"Pikirkan saja sendiri"
Rahul tersenyum mendengar jawaban Zahra. Meski ada sedikit rasa keki lantaran gadis itu menjahilinya, namun perasaan senang lebih mendominasi.
"Terima kasih"
"Karena sudah memaafkanmu?"
"Bukan hanya itu saja. Tapi karena sudah mau menjadi temanku. Teman pertama sejak aku jadi orang buta" Rahul berkata dengan lirih dan menundukkan wajahnya yang terlihat sedih.
"Apa karena itu kamu jadi introver, pemarah, dan sensitif seperti sekarang? Karena kamu kecewa akan sikap orang-orang disekitarmu?" tanya Zahra pelan-pelan.
"Aku kecewa dengan semuanya. Orang-orang disekitarku, kondisiku yang buta ini. Bahkan dengan hidupku sendiri. Aku membenci semua yang ada, termasuk diriku sendiri" Rahul tampak sangat emosional mengeluarkan uneg-unegnya.
"Maaf, kalau aku boleh tau.... Sudah berapa lama kamu seperti ini?"
"hampir tiga tahun. Dua setengah tahun yang sangat menyiksa dalam hidupku. Aku dihina, direndahkan, dikucilkan, dan dianggap sampah yang tidak ada artinya. Hingga rasanya aku ingin menyerah saja, dengan mengakhiri hidupku. Namun sayang, berkali kali usahaku gagal"
"Itu artinya Tuhan masih menyayangimu. Karena itulah Dia selalu memberimu kesempatan untuk membuktikan dirimu. Justru yang aku lihat, bukan kondisimu yang menyiksa dan menghancurkan hidupmu. Tapi katidak percayaan terhadap dirimu sendirilah penyebabnya. Tidak ada keinginan dalam dirimu untuk bangkit, dan menampar orang-orang yang memandangmu rendah. Karena itulah mereka semakin yakin, kalau asumsinya terhadapmu memang adanya. Seandainya kamu memiliki sedikit saja kepercayaan terhadap dirimu sendiri, dan kamu berani mencoba untuk berdiri. Mungkin hidupmu tidak akan sesulit itu. Mungkin memang tidak mudah, aku tau itu. Karena kamu pasti akan terjatuh berulang kali. Tapi itu jauh lebih baik daripada hanya duduk diam, menunggu hinaan dan cemoohan datang"
Zahra berceramah panjang lebar. Dia berbicara selembut mungkin agar Rahul bisa mencerna nasehatnya.
"Karena itulah kenapa aku sangat ingin mengenalmu lebih jauh. Karena hanya kamulah satu-satunya orang, yang bisa membuatku merasa nyaman. Merasa dihargai sebagai manusia. Bukan sebagai hewan yang harus diasingkan" kata Rahul jujur dari hatinya.
"Bagiku kita semua sama. Lebih baik memiliki fisik yang cacat, tapi memiliki hati yang sempurna. Daripada memiliki fisik yang sempurna, tapi hatinya cacat"
Rahul sangat kagum dengan arah pikiran Zahra yang begitu bijak. Seandainya Amora bisa memiliki pikiran seperti Zahra, mungkin hidupnya tidak akan seterpuruk ini. Karena ada wanita tercinta yang setia merangkul dan memegang tangannya.
Namun sayang, Amora tidak bisa seperti itu. Buktinya dia tega meninggalkannya, dan berlari kepelukan kakaknya sendiri.
"Oh ya, aku juga mau mengucapkan terima kasih atas nama Chika. Kamu tau? apa yang kamu lakukan ini sangat berarti baginya"
"Itu semua teman-temannya yang merencanakan, dan menyiapkan segalanya. aku hanya membantu meniup balon saja. Kamu tau sendirikan? aku tidak mungkin bisa menata balon-balon itu. Aku bahkan tidak tau seperti apa bentuk dekorasinya" jawab Rahul malu-malu.
"Kamu sudah memberikan suaramu sebagai hadiah ultahnya. Chika sangat menyukai musik dan lagu Dia terlihat sangat ceria bahkan tertawa lepas hari ini. Selain teman-temannya, kamu juga turut andil dalam melukiskan senyuman diwajah manisnya. Kamu tau? bahkan dia mengatakan seperti sedang nonton konser, saat mendengarmu bernyanyi tadi"
"Benarkah? Apa suaranya semerdu itu? Apakah penyanyi-penyanyi papan atas bisa kalah dariku?" Rahul mulai menggunakan sikap humor yang selama ini sangat bertolak belakang dengan karakternya, yang dingin dan temperamen. Namun sikap Zahra membuatnya terpancing.
"Ingin jawaban jujur atau yang bohong?"
"Kalau yang bohong?"
"Suaramu sangat jelek, dan tidak enak didengar"
Rahul tersenyum "Oh ya, benarkah?"
"He em"
Rahul menggeleng kepala disertai senyuman yang mengembang diwajahnya. Obrolan ini benar-benar membuatnya terhibur. Entah mengapa dia bisa sesumringah ini. Padahal baru beberapa hari yang lalu, dia masih menjadi laki-laki menyedihkan yang meratapi nasib malangnya. Yang terbuang dari keluarganya sendiri.
Tapi sekarang, entah kemana sosok menyedihkan itu. Mungkin dia butuh Zahra untuk menghibur dan merangkulnya.
"Oh ya, ngomong soal Chika, kamu kenal baik dengannya? Kok sepertinya kamu cukup dekat dengan gadis itu?"
"Dia salah satu pasien disini. Jadi ya.... bisa dibilang dia sudah seperti adikku sendiri. Karena dia sudah lumayan lama menjadi pasienku"
"Memangnya dia sakit apa?"
"Kanker darah stadium 3"
"Kamu serius? Astaga, padahal usianya masih sangat dini lho" Rahul terlonjak mendengar pernyataan itu.
"Iya, usianya baru tiga belas tahun. Tapi ujian hidupnya sudah sangat berat dan bertubi tubi" Zahra menghela nafas panjang "Rasanya aku tidak tega melihatnya"
"Memang apalagi masalahnya?" Rahul semakin tertarik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments