"Dan sesuai janjinya, Belle pun harus menggantikan ayahnya untuk tinggal di istana itu"
"Lalu bagaimana lagi Kak?!"
"Ya Tuhan, lihat tanganmu" seru Zahra dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Lyra melihat dan mengangkat tangan kanannya yang sudah terpasang selang infus.
"Mereka sudah menyuntikkan jarum infus, ketangan peri kecilku ini. Jahat sekali mereka. pasti sekarang kamu kesakitan sekali ya sayang. Kasian sekali" Zahra pura-pura menggerutu pada Dokter Ema dan Wirda.
Padahal tanpa sepengetahuan Lyra, dia mengedipkan matanya pada atasan dan rekan sejawat, yang juga sahabat baiknya itu.
"Tidak Kak, aku malah tidak sadar kalau tanganku sudah diinfus" sanggah Lyra dengan polosnya.
"Benarkah? Kalau begitu aku sudah salah sangka terhadap mereka. Aku pikir Dokter dan suster itu telah menyakitimu. Ternyata aku salah, justru mereka memberimu obat dan vitamin melalui infusan itu. Jadi dengan obat dan vitamin itu, Lyra bisa lekas sembuh. sepertinya aku harus berterima kasih dan meminta maaf, pada Tante Dokter dan kakak Suster itu"
Zahra memasang tampang sedih dan berbicara dengan lirih. Berusaha memprovokasi Lyra bahwa dia merasa bersalah, telah memarahi Dokter Ema dan Wirda.
"Benarkah?"
"He em"
"Tante Dokter dan kakak Suster, aku minta maaf. Terima kasih ya sudah mengobatiku" ujar Lyra malu-malu.
"Sama-sama sayang" jawab Dokter Ema sembari tersenyum lembut. Dan Wirda hanya tersenyum lembut melihatnya. Dalam hati keduanya sama-sama mengagumi kecerdikan Zahra, yang dengan mudahnya dapat berbaur dan menaklukkan hati anak-anak.
Begitu pula dengan Rahul yang sedari tadi berdiri diluar dan mendengar setiap dialog mereka. Bibir sensualnya menyunggingkan senyum duchenne.
Untuk pertama kalinya sejak buta, baru kali ini dia merasakan adanya ketenangan dalam hatinya. Entah mengapa mendengar suara gadis itu membuat perasaannya merasa tentram. Apalagi menyaksikan kepribadian perempuan itu, yang dengan mudahnya bisa meluluhkan dan menenangkan anak kecil yang sedang rewel.
Seandainya wanita itu menjadi seorang ibu, betapa beruntungnya anak yang dia lahirkan nanti, karena memiliki wanita sehebat itu sebagai ibunya.
"Ayo kak, teruskan lagi ceritanya" Lyra kembali merengek pada Zahra.
"Eum.... aku tidak bisa melanjutkan ceritanya hari ini, karena aku sibuk sekali. Kalau aku tidak bekerja, nanti aku bisa dimarahi. Bagaimana kalau begini saja? Kakak akan lanjutkan ceritanya saat Lyra sudah sembuh, dan bisa pulang dari sini. Setuju?" Zahra mengacungkan jari kelingkingnya, dan menatap Lyra dengan tatapan puppy eyes.
Lyra tampak berpikir. Zahra berharap masih bisa mempengaruhi anak itu. Dan harapannya pun terwujud ketika si kecil Lyra tersenyum dengan manisnya, sembari menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Zahra.
"Baiklah, kalau begitu Lyra harus menuruti apa kata dokter dan suster. Harus makan yang banyak, minum obat yang teratur. Ingat, semakin cepat Lyra sembuh, semakin cepat pula cerita beauty and the beastnya dilanjutkan. Oke?" ujar Zahra lembut dan dengan nada riang.
"Oke bos" dengan riangnya Lyra memberikan isyarat hormat.
"Toss dulu" Zahra mengacungkan telapak tangannya. Lyra langsung menepukkan telapak tangannya yang mungil ketelapak tangan Zahra dengan riangnya.
"Ya sudah, sekarang kakak Zahra keluar dulu. Selamat istirahat peri kecilku. See you" Zahra memeluk Lyra dengan gemas dan penuh sayang. Bocah cantik itu pun terlihat sangat senang dengan pelukan itu.
"See you kakak Suster" seru Lyra dengan riangnya. Ketiganya pun keluar dari kamar itu, meninggalkan Lyra beristirahat.
"Aduh Ra, untung saja ada kamu. Kalau tidak, entah bagaimana kami akan menghadapi drama anak itu. Sudah hampir dua jam dia menangis tidak mau diinfus. Tapi begitu kamu datang, dia langsung jinak" Dokter Ema menghela nafas lega.
"Dokter ada-ada saja. Memangnya anak itu hewan, sampai jinak segala?" seloroh Zahra.
"Aku yakin deh Ra. Nanti kalau kamu sudah menikah dan punya anak, pasti kamu tidak akan pernah merasa kesulitan menghadapi anakmu. Sekalipun dia sedang rewel-rewelnya. Karena sekarang saja, kamu sudah sangat ahli dalam bidang itu" puji Dokter Ema lagi.
"Tentu saja Dok, Zahra kan memang ahlinya dalam urusan menjinakkan pasien, khususnya anak-anak. Bahkan, jangankan anaknya. Calon ayah dari anaknya saja bisa dia jinakkan" Wirda tersenyum menggoda Zahra. Membuat gadis itu merasa jengkel hingga menyikut lengan sahabatnya itu dengan keras. Reflek Wirda mengaduh kesakitan. Namun suaranya tertahan dalam mulutnya, lantaran ditengah-tengah mereka ada Dokter Ema.
Dokter berusia sekitar tiga puluh tahun itu menatap kedua bawahannya dengan bingung. Wirda menunjuk ke sebuah arah melalui kode mata dan kepala kepada Zahra yang merasa bingung, namun tetap mengarahkan pandangannya kearah yang diisyaratkan Wirda barusan.
Zahra sedikit termangu dengan kehadiran sosok didepannya. Pria itu, adalah pasien tunanetra tampannya. Pasien yang tempo hari bertikai dengannya. Dia tidak menyangka akan melihat pria itu lagi. Dia pikir tidak akan pernah bertemu dengan pria itu lagi, setelah dirinya memutuskan untuk mengajukan permohonan kepada kepala perawat, agar tidak ditugaskan untuk melayani pasien itu lagi.
"Em.....Dok, bukankah pasien tifus yang masuk kemarin belum kita kontrol hari ini? Ayo Dok, kita kesana" alasan Wirda sembari menggandeng dan menarik lengan Dokter Ema untuk berlalu dari tempat itu.
Mau tidak mau Dokter Ema mengikuti bawahannya itu dengan tampang linglung.
"Wirda! Dokter Ema! tunggu!" seru Zahra namun tak mampu menghentikan langkah kedua wanita itu, yang sudah menjauh meninggalkannya.
Mau tidak mau Zahra harus menghadapi laki-laki itu. Tidak ada pilihan lain, karena pria itu pasti mendengar suara mereka sedari tadi.
"Euum....maaf, sedang apa anda disini" Zahra berusaha untuk berbicara seformal mungkin.
Meski sebenarnya jantungnya berdegup kencang. Dan lubuk hatinya yang terdalam ingin meloncat kegirangan rasanya karena bisa melihat wajah tampan itu lagi.
Namun dia tidak ingin menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya yang akan membuatnya terkesan ganjen dihadapan laki-laki itu.
"Eu.... a-aku, aku sedang....eum.... aku sedang...." jawab Rahul terbata-bata. Dia tampak salah tingkah.
Zahra menghela nafas, merasa malas untuk meladeni laki-laki tidak jelas itu. Dia tidak ingin insiden kemarin terulang kembali, akibat dirinya yang terlalu mengurusi kehidupan laki-laki itu.
"Hah. Ya sudahlah, terserah anda saja. Bukan urusanku juga kan. Lagipula aku juga masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan daripada membuang-buang waktu hanya untuk berdebat hal-hal yang tidak berguna dengan anda. Permisi" dan dia melangkahkan kakinya.
"Aku minta maaf" seru Rahul seketika. Ucapannya mampu menghentikan langkah kaki Zahra.
"Apa aku tidak salah dengar? Maaf? Untuk apa ya?" tanya Zahra seraya berbalik dan menatap pria itu dengan alis yang bertautan.
Rahul merasa bingung harus mulai darimana. Dia masih tampak salah tingkah.
"Untuk semuanya, semua yang aku katakan dan lakukan padamu. Khususnya terhadap ibumu. Aku tau, aku sudah kelewat batas. Tidak seharusnya aku melampiaskan kemarahan dan kekecewaanku pada beliau. Jujur saja, aku tidak tau kenapa aku bisa seperti ini. Kondisiku ini membuatku begitu tertekan, hingga tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang ada dalam hati dan pikiranku hanya kemarahan saja. Aku sendiri tidak untuk siapa sebenarnya kemarahan itu. Hanya satu hal yang aku tau, aku sangat marah dan benci pada diriku sendiri yang tidak berguna ini. Juga pada Tuhan. Aku merasa Tuhan tidak adil padaku. Dia telah mempermainkan hidupku. Dengan menjadikan aku manusia yang tidak berguna seperti ini"
Dia curhat dengan sendu. Zahra merasa iba mendengar curhatan pria. Dia tidak mengira bahwa laki-laki tampan itu bisa seterpuruk dan seputus asa itu. Pantas saja dia menutup hatinya untuk siapapun. Jiwanya kosong.
"Astaghfirullah hal azzim. Terus terang saja, aku tidak tau bagaimana pikiran-pikiran seperti itu bisa merasuki, dan menggerogoti hati dan pikiranmu. Tapi satu hal yang bisa aku katakan padamu. Allah itu maha adil, yang tidak pernah membeda-bedakan setiap hambanya. Justru hambanya sendirilah, yang membuat Allah membedakannya. Aku tidak tau, peristiwa buruk apa saja yang sudah kamu alami, hingga membuatmu bisa seputus asa ini. Tapi percayalah. Apa yang terjadi padamu saat ini, adalah ujian yang diberikan Allah, sebagai bentuk kasih sayangnya terhadapmu. Bukan hukuman sebagai bentuk rasa bencinya. Mungkin saat ini kamu masih belum bisa mengetahui dan memahami, alasan mengapa Allah mengambil penglihatanmu. Tapi kalau kamu bisa sedikit saja melembutkan hati dan mendinginkan kepalamu, aku yakin perlahan-lahan, kamu akan menemukan jawabannya. Kamu akan memahami, bahwa Allah sudah menyiapkan rencana dan hadiah yang indah dibalik ujian yang saat ini Dia berikan padamu"
Zahra berlalu setelah meninggalkan Rahul yang terkesima dengan nasehatnya yang begitu menyentuh relung hatinya.
*****
Rahul sedang berjalan diteras depan rumah sakit. Sepasang tangannya tampak meraba-raba kedepan agar matanya yang tidak berfungsi itu, tidak membuat tubuh atletisnya menabrak benda-benda yang ada didepannya.
Namun wajah tampannya terlihat tidak fokus dengan arah yang tengah ditempuhnya. Karna Zahra terus saja mengisi pikirannya. Kata-kata wanita itu selalu terngiang-ngiang dibenaknya.
Ditambah lagi, gadis itu juga belum menjawab permintaan maaf darinya. Sikapnya yang kini tampak dingin terhadapnya pun membuat Rahul kecewa.
Entah kapan hal ini bermula, tapi Rahul begitu mengharapkan agar wanita itu bisa bersikap seperti semula lagi terhadapnya. Entah mengapa dia jadi merindukan sosok Zahra yang centil dan ceria, seperti pada saat dia pertama kali terbangun dari komanya.
Namun dia tidak bisa menyalahkan sikap perempuan itu. Karena ini semua memang murni kesalahannya. Entah apa yang sekarang harus dilakukannya, agar wanita itu mau memaafkan dan berdamai dengannya.
"Aww!" Rahul terkesiap tatkala merasakan ada benda keras berupa kayu menyenggol pinggangnya.
"Maaf Kak, kami tidak sengaja. Kakak tidak apa-apa kan?" suara anak laki-laki dengan nada menyesal.
"Iya, aku tidak apa-apa. Aku yang salah karena tidak fokus. Oh ya, apa ini? Bentuknya seperti gitar" kata Rahul memegang dan meraba-raba benda keras yang telah menyenggol tubuhnya itu.
Saat tadi benda itu menyenggol pinggangnya, dengan reflek dia langsung memegangnya. Hingga dia tidak begitu merasa sakit di bagian pinggang yang tersenggol itu.
"Iya Kak, itu memang gitar. Kakak tidak bisa melihat ya?" ujar anak laki-laki lain sembari memperhatikan mata Rahul.
"Iya. Aku mengalami kebutaan akibat sebuah kecelakaan, dua setengah tahun yang lalu" jawab Rahul lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments