"Permisi Pak, anda mau kemana? Biar saya bantu" tegur salah seorang perawat wanita, kala melihat Rahul berjalan sendirian di koridor dengan tangan meraba-raba di udara.
"Siapa kamu?"
"Saya perawat disini Pak"
"Oh... euum..... saya.... saya sedang.... mencari" Rahul tampak gugup dan salah tingkah. Dia bingung harus memberikan jawaban apa.
Sebenarnya dia bisa saja sih menjawab apa adanya. Atau bertanya saja pada wanita perawat itu, tentang perawat wanita bernama Zahra yang ada dirumah sakit itu. Mungkin saja dia mengenalnya, atau lebih mungkin lagi dia temannya.
Namun rasanya dia terlalu malu untuk mengakui, kalau dirinya sedang mencari wanita itu untuk meminta maaf.
"Anda sedang mencari seseorang Pak?"
"Euum... saya sedang mencari....mencari kantin. Iya mencari kantin" ditengah-tengah kegugupan dan kebingungannya dalam mengelak, akhirnya Rahul menemukan jawaban atau alasan yang tepat agar perawat itu tidak mengetahui tujuannya yang sebenarnya.
Meski sebenarnya kantin bukanlah sepenuhnya alasan atau mengada-ada. Karena kalau dipikir-pikir inikan sudah siang, Sudah saatnya makan siang. Jadi mungkin saja kan, wanita centil itu berada di kantin untuk mengisi perutnya. Walau tidak yakin seratus persen. Namun tidak ada salahnya kan untuk mencoba?
"Oh, anda mau kekantin? Mari saya antar Pak"
"Tidak, saya bisa sendiri. Kamu....kasih tau saja arahnya kemana. Biar saya berusaha sendiri"
"Anda yakin bisa sendiri, tanpa perlu saya temani?" tanya perawat itu khawatir.
"Iya saya yakin" jawab Rahul tegas.
Tak ingin berdebat lagi, wanita itu pun mengalah. Akhirnya dia hanya membantu Rahul, dengan memberikan arahan-arahan perihal jalan yang harus dilaluinya untuk sampai kekantin. Rahul pun tiba disana dengan mengikuti aba-aba wanita perawat itu.
"Hello tampan!" tegur seorang gadis dengan centilnya, saat melihat sosok pria tampan berdiri didepan pintu masuk kantin.
"Siapa kamu?"
"Aku? Kamu sendiri ingin aku menjadi siapa? Kalau kamu Ajay Devgan, aku Kajolnya. Kalau kamu Abhishek Bachchan, aku Aishwarya Rainya. Kalau kamu Salman Khan, aku Katrina Kaifnya. Kalau kamu Saif Ali Khan, aku Kareena Kapoornya. Kalau kamu Ranbir Kapoor, aku Alia Bhattnya. Kalau kamu....." celoteh wanita itu sembari bergelayut dilengan Rahul dengan genitnya.
"Aku Rahul.... " tukas Rahul sambil berusaha melepaskan tangan wanita itu yang melingkar di lengannya.
"Waw....! Kalau begitu aku Anjalinya! Semoga tidak akan pernah ada Tinna diantara kita ya. Rahul, Anjali...hehe!" wanita itu menunjuk Rahul dan dirinya sendiri.
"Kya Karu hai yeh, kuch kuch hota hai...." dia bersenandung ria, sementara kedua tangannya semakin menggelayuti lengan Rahul dengan erat. Sesekali dia menyandarkan kepalanya dibahu Rahul. Membuat pria itu semakin risih dan jengah.
Akhirnya Rahul menarik lengannya dari lilitan tangan wanita genit itu dan berbalik. Namun dia malah menubruk banner didepannya.
PRAKK!!
"Astaga, hati-hati!" seru wanita itu seraya membantu Rahul mengambil dan meletakkan banner itu ketempatnya semula.
Namun beberapa menit kemudian, dia termangu memandangi wajah Rahul. Sepertinya gadis centil itu mulai menyadari sesuatu. Untuk memastikannya, dia mengibas-ngibaskan tangannya kedepan wajah Rahul.
"OMG, jadi sedari tadi aku menggoda laki-laki buta? Oh no -no- no...... tampan sih tampan. Tapi kalau buta sih.... ilfil juga jadinya. Masak gadis secantik Ida, dapatnya sibuta dari lembah hantu" gumam wanita bernama Ida itu yang suaranya tembus ke telinga Rahul.
Merasa sakit hati dengan perkataan wanita genit itu, yang isinya merendahkan keterbatasan fisiknya, seperti yang sudah biasa diterimanya selama ini. Namun kali ini Rahul tidak ingin terpancing emosi dan membuat keributan lagi. Apalagi dia sedang berada ditempat umum. Mungkin memang sudah saatnya dia menghadapi ejekan dan cemoohan itu dengan kepala dingin. Bukan dengan emosi lagi.
Apalagi saat ini, prioritas utamanya adalah menemui perawat bernama Zahra itu. Bukan membuang-buang waktu untuk wanita edan ini.
"Apa kamu perawat disini?"
"Bukan, aku salah satu pedagang kantin disini" nada bicara Ida yang sebelumnya terdengar lembut, penuh rayu serta gombalan kini terdengar agak ketus setelah dia tau bahwa laki-laki tampan didepannya itu ternyata buta.
"Jadi tugasmu disini adalah melayani semua orang dengan makanan dan minuman yang kamu jual, atau hanya melayani para lelaki yang datang kemari dengan godaanmu? Jika jawabannya ada disoal yang pertama, bisa tolong buatkan aku minuman segar? Aku haus sekali usai menerima sambutan yang membosankan seperti barusan"
nada bicara Rahul yang santai terdengar sangat pedas ditelinga Ida. Cukup untuk membuat gadis itu merasa malu dan kesal.
"Baiklah, mau minum apa? " jawab Ida dengan wajah masam, merasa tak terima dengan olok-olokan Rahul.
"Milk tea Boba saja kalau ada"
"Baiklah, tunggu sebentar" Ida pun berbalik.
"Terima kasih" Rahul tersenyum sinis.
"Huh dasar. Sudah buta, menyebalkan lagi" gumamnya bersungut sembari berjalan.
"Auw!" tanpa sengaja dia menubruk seorang perawat wanita yang baru saja memasuki kantin.
"Maaf, maaf Ida. Aku tidak sengaja" seru perawat itu dengan ramah.
Rahul tersentak mendengar suara yang sangat familiar ditelinganya.
"Iya Sus, tidak apa-apa" sahut Ida hambar.
"Zahra!!" seru salah satu wanita berseragam perawat sambil melambaikan tangannya. Wanita itu tampak sedang berkumpul bersama beberapa perawat wanita lainnya dimeja bagian tengah kantin.
"Hei!!" Zahra membalas lambaian tangan itu dan menghambur kearah rekan-rekan sejawatnya dengan sumringah.
Rahul semakin yakin bahwa suara itu milik gadis yang tengah dicarinya. Dia membalikkan badannya menghadap tembok. Berharap dengan posisi seperti itu, gadis itu tidak akan melihat dan menyadari keberadaannya.
Niat Rahul yang sebelumnya ingin menemui Zahra, kini dia urungkan. Karna sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Lantaran gadis itu sedang bersama teman-temannya.
"Lama banget sih Ra? Sudah kita tungguin dari tadi" protes salah satu dari mereka.
"Iya maaf, tadi pasienku rewel sekali. Jadi aku harus menunggunya sampai benar-benar tertidur pulas dulu. Baru bisa ditinggal" Zahra menarik kursi lalu dia duduk di kursi itu.
"Iya deh Suster idaman" goda Mimi, salah satu teman sejawat Zahra.
"Apaan sih Mi. Sudah ah, aku haus dan lapar sekali. Bu Mirna!" Zahra mengangkat tangan kanannya memanggil pedagang kantin.
"Bu, jus alpukat dan mie pangsit satu ya" pesannya dengan ramah dan sopan.
"Iya Sus, tunggu sebentar ya" sahut ibu pedagang kantin kemudian berlalu.
"Iya"
"Oh ya Ra. By the way , bagaimana kabar dia?" Rahma tersenyum menggoda.
"Dia? dia siapa?" tanya Zahra dengan tampang polos. Merasa tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh temannya.
"Heuh, kayanya ada yang mau main kura-kura dalam perahu nih. Pura-pura tidak tau. Itu lho.... pasien kesayanganmu yang ketampanannya hampir sejajar dengan aktor-aktor Bollywood itu. Sudah ditembak belum?" timpal Maudy seraya tersenyum jahil.
"Buronan kali ditembak" Zahra melempar tissue yang sudah diremasnya kewajah Maudy yang dengan sigap menjadikan tangannya sebagai tameng, agar tissue itu tidak mengenai wajahnya yang masih menyunggingkan senyum usil.
"Imajinasi kalian tu terlalu jauh. Padahalkan kalian tau sendiri, bagaimana hubunganku dengannya. Hanya sebatas perawat dan pasiennya saja, tidak lebih. Jadi tidak perlu berpikiran yang aneh-aneh" gerutu Zahra menekankan.
"Seandainya dia menembakmu, bagaimana? kamu akan menerima, atau menolaknya?" Wirda ikut-ikutan kepo.
"Itu tidak akan pernah terjadi. Aku akui dia memang setampan aktor-aktor Bollywood itu. Tapi sayangnya....."
"Dia buta, itukan masalahnya? Kalau dipikir-pikir, alasanmu cukup masuk akal juga sih Ra. Hidup itukan harus realistis. Jaman sekarang ketampanan bukanlah modal utama seorang pria, untuk bisa masuk kriteria suami idaman. Seorang pria itu harus macho man. Harus bisa menjadi sayap pelindung bagi pasangan hidupnya. Jadi kalau melihat saja tidak bisa, bagaimana dia akan melindungi wanitanya? benar tidak?"
celoteh Mimi mengeluarkankan pendapatnya. Yang dijawab dengan anggukan kepala dari ketiga temannya, kecuali Zahra.
Rahul yang sedari tadi dengan jelas mendengar percakapan gadis-gadis itu, mengepalkan tangannya dengan mulut yang terkatup rapat menahan amarah. Perasaan kecewa dan marah kembali memenuhi rongga dadanya. Sepertinya niatnya untuk menemui dan meminta maaf pada perempuan itu adalah niat yang salah.
Dia sempat berpikir, kalau gadis itu berbeda dengan orang-orang yang selama ini memandang kondisinya fisiknya dengan sebelah mata. Ternyata tidak, dia sama saja dengan mereka semua.
Akh!!....mengapa dia bisa begitu naif. Hingga berpikir bahwa masih ada orang didunia ini, Yang bisa dijadikannya sebagai tempat untuk berkeluh kesah. Seharusnya dia sadar, bahwa tidak akan pernah ada tempat dari siapapun didunia ini untuk orang sepertinya. Bahkan keluarganya pun tak terkecuali.
Saat keluarganya sendiri saja tidak mau menjadikan pundak mereka sebagai tempatnya untuk bersandar, mungkin dia sudah gila jika berpikir akan mendapatkannya dari orang lain. Ini memang salahnya yang terlalu terbuai dengan kata-kata filosofi wanita itu. Rahul memejamkan mata dan menghela nafas berat.
Dengan gontai dia mengambil langkah untuk meninggalkan kantin itu. Namun seketika langkahnya terhenti oleh pernyataan yang dilontarkan Zahra.
"Sayangnya aku tidak sependapat dengan kalian. Bagiku, seorang pria idaman itu bukan berasal dari ketampanan maupun kesempurnaan fisiknya, tapi dari hatinya. Kata Ibuku, kecantikan dan ketampanan fisik tidak ada yang abadi. Suatu saat bisa saja luntur oleh waktu. Namun tidak dengan hati dan cintanya. Ibuku selalu mengatakan, laki-laki idaman adalah laki-laki yang bisa mencintai dan menghargai wanita dengan hatinya. Bisa menjadi imam yang baik bagi pasangan hidupnya. Serta mampu membimbing keluarga kecilnya untuk selalu berada dijalan yang benar. Dan dia harus bisa mencintai dan menerimaku apa adanya, begitupun sebaliknya"
Zahra berkata dengan tatapan menerawang. Ucapannya terdengar sangat mendalam. Membuat Rahul terkesima mendengarnya.
"Meskipun dia cacat?" tanya Wirda memastikan.
"Kalau dia adalah jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku, lalu aku bisa apa? Aku yakin, Tuhan sudah merancang takdir yang indah untukku. Karna sesuatu yang terlihat buruk Dimata kita, belum tentu buruk dimata Allah. begitu juga sebaliknya" tutur Zahra dengan yakinnya.
Rahul terharu dengan filosofi gadis itu. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa perempuan itu akan memiliki sudut pandang yang begitu bijak dan tidak picik. Betapa beruntungnya laki-laki yang bisa mempersunting wanita seperti itu.
"Heuuum.....so sweeeeet...." celetuk Rahma dengan gemesnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments