Namun pikirannya sangat yakin, bahwa inilah jalan terbaik untuknya dan mereka. Karena dia sudah lelah hidup tertekan, dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Dia ingin hidup nyaman bersama orang-orang yang bisa menghargai dan menerimanya apa adanya.
Toh dia juga tidak yakin kalau keluarganya akan bahagia jika tau dirinya masih hidup. Dia tidak yakin kalau mereka masih mengharapkan kehadirannya ditengah-tengah mereka. Mungkin bagi mereka dia sudah mati dalam kecelakaan itu. Dia juga akan seperti itu. Baginya keluarganya sudah mati dalam peristiwa itu.
Zahra menatap Rahul dengan perasaan iba. Dia bisa melihat kesedihan mendalam diwajah pria itu. Kasihan sekali laki-laki ini. Dia sudah kehilangan orang-orang terdekatnya. Ditambah lagi kondisinya yang harus berteman dengan kegelapan.
Sekarang kemana dia akan mencari tempat untuk berteduh.
**********
"Assalamualaikum Bu!" Zahra dan Rahul baru saja tiba dikediaman Zahra yang sederhana.
"Waalaikum salam" terdengar suara sahutan Ibunya dari dalam. Tak lama kemudian pintu pun terbuka dari dalam, dan tampaklah Bu Sakinah membuka pintu sembari mendorong roda kursi rodanya.
"Eh, anak Ibu sudah pulang" Bu Sakinah tersenyum lembut melihat kehadiran putri semata wayangnya.
"Iya Bu" Zahra menyalami Ibunya dengan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu.
Tatapan Bu Sakinah akhirnya jatuh pada Rahul yang berdiri dibelakang Zahra dengan tatapan penuh tanya. Akan siapakah sosok pria tampan, yang menggunakan tongkat yang datang bersama anaknya itu.
Mengerti akan arti tatapan Ibunya, Zahra langsung memperkenalkan pria itu pada Ibunya.
"Eum....Bu, kenalkan ini Rahul" katanya menunjuk Rahul.
"Bu, saya Rahul" Rahul mendekati Bu Sakinah dan berusaha meraih tangan wanita paruh baya itu. Zahra membantu Rahul untuk menjabat tangan Ibunya. Rahul mencium tangan Bu Sakinah.
"Saya Sakinah, ibunya Zahra" Bu Sakinah tersenyum ramah.
"Iya"jawab Rahul kikuk.
"Oh, jadi ini pasien tampan yang sering kamu ceritakan itu? Yang katanya ketampanannya mengalahkan aktor-aktorBollywood itu. Pantesan berhasil membuat hatimu meleleh. Lha wong wajahnya aja bikin ngiler" Bu Sakinah setengah berbisik pada Zahra. Sesekali dia melirik Rahul, dengan senyum menggoda yang mengembang diwajahnya.
"Ih Ibu, emang dia makanan apa bikin ngiler? Nanti kalau dia dengar bisa kegeeran lagi" gerutu Zahra menatap ibunya dan Rahul dengan perasaan campur aduk. Antara keki dan malu.
Apalagi melihat pria itu cengengesan dipuji oleh ibunya. Dasar laki-laki menyebalkan. Pasti kepedeen tingkat dewa sekarang.
"Ehem" Rahul berdehem. Sedari tadi dia hanya diam berdiri mendengarkan ibu dan anak itu menggunjingkan dirinya.
"Nak Rahul, ayo masuk. Biar nanti Ibu buatkan minuman" ajak Bu Sakinah ramah.
"Iya Bu"
************
"Oh..... Jadi kamu baru keluar dari rumah sakit. Dan sekarang gak ada tempat tinggal?" cecar Bu Sakinah saat ketiganya sudah berada diruang tamu.
"Iya Bu. Dan sekarang saya bingung harus kemana. Saya juga gak ada uang sepeserpun. Jangankan untuk cari tempat tinggal, untuk bayar biaya perawatan saya selama dirumah sakit saja, saya gak punya"ungkap Rahul lirih.
"Memangnya keluarga kamu dimana Nak? kenapa kamu tidak minta bantuan mereka saja?" tanya Bu Sakinah lagi. Namun kali ini Zahra yang menjawabnya.
"Eum.... keluarganya sudah meninggal Bu, dalam kecelakaan itu. Hanya dia saja yang selamat. Hingga ditemukan oleh warga ditepi disungai"
"Astaghfirullah hal azzim. Kamu yang sabar ya Nak. Kamu harus kuat. Ihklaskan orang tuamu. Kamu harus yakin, bisa melewati masa sulit ini" Bu Sakinah memberi semangat dengan penuh rasa empati.
"Terima kasih Bu"
"Jadi bagaimana Bu?" Zahra beradu pandang dengan ibunya.
"Eum... begini saja. Dibelakang rumah ini ada rumah kosong. Milik adik Ibu yang sekarang merantau dikota. Kalau kamu mau, untuk sementara waktu kamu bisa tinggal disana. Memang rumahnya kecil dan agak berantakan. Karena sudah lama tidak berpenghuni. Tapi lumayankan untuk tidur, dan melindungimu dari hujan dan terik matahari. Biar nanti Zahra yang membantumu membersihkannya. Bagaimana?" Tawar Bu Sakinah ramah.
"Memangnya Ibu dan Zahra tidak merasa direpotkan dengan kehadiran saya disini? Saya hanya tidak ingin, menjadi beban untuk kalian" Rahul merasa tak enak. Ada perasaan bersalah yang menerjang hatinya. Dia sudah berdusta pada orang sebaik dan setulus Zahra dan ibunya. Tapi dia benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. Hanya mereka yang bisa dijadikannya tempat untuk bersandar saat ini.
Semoga suatu saat nanti, akan ada kesempatan baginya untuk membalas kebaikan mereka terhadapnya. Dan semoga saja, mereka tidak akan merasa kecewa, jika mengetahui kebohongannya nanti. Semoga saja.
"Kamu tidak perlu merasa seperti itu Nak Rahul. Ibu sama sekali tidak merasa direpotkan kok. Iya kan Ra?" Bu Sakinah melirik Zahra yang membalas lirikannya dengan senyuman.
"Malah Ibu senang bisa membantu. Kamu juga bisa menganggap Ibu seperti Ibumu sendiri. Jadi kamu jangan sungkan ya"
"Sekali lagi terima kasih Bu, Ra" kata Rahul dengan wajah berbinar.
"Biar nanti Zahra yang menemanimu kesana. sekarang minum dulu. Nanti minumannya keburu dingin lagi"
"Iya Bu" Rahul mengambil gelas minuman dimeja, dan meneguknya dengan perasaan lega. Setidaknya untuk saat ini dia sudah memiliki tempat untuk tinggal.
Semoga ini akan menjadi awal yang baik bagi lembaran baru hidupnya.
*****
"Sekali lagi terima kasih ya, sudah mengijinkanku, untuk numpang dirumahmu ini" kata Rahul tulus.
"Sejak kemarin kamu terus saja mengatakan terima kasih. Memangnya tidak bosan? Aku saja bosan mendengarnya setiap saat" kicau Zahra dengan tangan yang sedang asik membersihkan debu yang menempel dilukisan dinding, tanpa menoleh pada Rahul yang sedang serius bicara.
Keduanya sedang membersihkan dan merapikan rumah belakang yang akan dijadikan tempat tinggal Rahul untuk sementara waktu.
"Lalu aku harus bilang apa? Bukankah jika ada orang yang membantu kita dalam kesulitan, kita
harus mengucapkan terima kasih padanya?"
"Maaf ya, rumah ini lebih kecil dari rumah yang aku dan Ibu tempati. Mau bagaimana lagi, hanya ini yang kami punya. Secara tidak mungkinkan, kamu tinggal bersamaku dan Ibu. Apa kata tetangga nantinya. Bisa-bisa malah menimbulkan fitnah, karena kita bukan muhrim"
Ujar Zahra merasa tak enakan. Sedangkan Rahul terhenyak mendengar ucapannya. Hingga aktivitasnya yang sedang mengepel lantai terhenti sejenak.
"Iya-iya, kamu benar. Memang tidak sepantasnya laki-laki dan wanita yang bukan muhrim tinggal seatap. Bisa-bisa nanti kita malah khilaf ya" jawab Rahul gugup.
"Iya benar sekali. Dosa besar jika kita sampai berbuat zinah karena rayuan setan. Ibuku juga sering menasehati. Wanita hebat itu bukan wanita yang pandai mempercantik dan memamerkan keindahan tubuhnya, hingga membuat para pria tergiur untuk memiliki keindahan mahkotanya. Tapi wanita hebat itu, adalah wanita yang pandai menjaga dan mempertahankan harga diri dan mahkota berharganya. Yang hanya akan dia persembahkan untuk pria yang mempersuntingnya. Dan aku selalu berdoa pada Allah, agar senantiasa dijauhkan dari tatapan mata bejat. Karna aku tidak mau membuat Ibu kecewa"
Panjang lebar Zahra berfilosofi. Membuat perasaan Rahul semakin diselimuti oleh rasa malu.
Bagaimana tidak, semua ucapan yang dilontarkan gadis itu bak sebuah tamparan untuknya. Selama ini, saat matanya masih berfungsi dengan baik. Dia menggunakannya untuk melihat kemaksiatan. Melihat keindahan tubuh wanita tanpa sehelai benang, sudah hal biasa baginya. Bahkan tak jarang pula, dia melakukan perbuatan mesum itu diatas ranjang.
Sekarang dia sudah tidak bisa menggunakan mata itu untuk melihat apapun lagi. Apakah semua ini adalah bentuk teguran atau hukuman dari Tuhan?
Huh... dia benar-benar merasa malu dengan dirinya sendiri.
"Ibumu wanita yang hebat ya. Kamu pasti sangat bangga memiliki Ibu seperti beliau" Rahul tersenyum sendu.
"Ya tentu saja. Setiap anak pasti bangga dengan orang tuanya kan?"
"Tidak semua"
Zahra mendekati Rahul begitu menyadari kesedihan yang mulai kembali menyelimuti hati pria itu.
"Apa kamu kembali teringat orang tuamu?" Tanya Zahra pelan.
"Tidak. Untuk apa aku mengingat mereka? Belum tentu juga mereka mengingingatku" Rahul kembali menggerakkan sapu pel mengepel lantai dan memalingkan wajah. Dia tidak ingin Zahra membaca raut kesedihan diwajahnya.
"Bukannya orang tuamu sudah meninggal?" Zahra mengernyitkan kening.
"Mmm.... maksudku, jika mereka masih hidup, belum tentu mereka memikirkanku"poles Rahul gugup.
"Aku tidak tau apa yang terjadi antara kau dan keluargamu. Aku juga tidak ingin ikut campur dalam masalah kalian. Tapi aku hanya ingin mengatakan satu hal. Apapun kesalahan yang dilakukan orang tuamu. Sebesar apapun luka yang mereka torehkan dihatimu. Aku yakin, dilubuk hati mereka yang terdalam, tetap ada cinta untukmu. Karena tidak mungkin ada orang tua didunia ini, yang tidak mencintai anaknya. Jadi hapus amarah dihatimu dan maafkanlah mereka"
Zahra menggenggam tangan Rahul dan berkata dengan lirih.
"Terima kasih sudah menasehatiku. Tapi kalau bisa, aku tidak ingin membahas masalah itu sekarang. Karena aku hanya ingin fokus dengan hidup baruku"
"Iya, aku setuju denganmu. Tutup lembaran lama, lalu buka dan fokus pada lembaran baru" Zahra tersenyum manis.
"Oh ya, ini sudah selesai. Sekarang rumah ini sudah lumayan bersih dan apik. Mulai malam ini, kamu sudah bisa tinggal disini. Dan untuk kasur, sepray, selimut dan bantal nanti aku bawa dari rumah. Untuk makan malam, nanti akan aku bawa selepas magrib. Baiklah, aku balik dulu. Selamat istirahat"
Zahra berjalan menuju pintu. Langkahnya terhenti oleh ucapan Rahul yang terdengar lirih dan mendalam.
"Sekali lagi terima kasih untuk semuanya. Jujur aku tidak tau, apa yang akan terjadi dalam hidupku. Seandainya tidak bertemu denganmu. Kamu adalah peri yang dikirim Tuhan, untuk membantu kesulitanku. Sekali lagi terima kasih banyak"
"Heuum... filosofi yang menarik. Tapi sayangnya, aku lebih menyukai julukan sebagai bidadari ketimbang peri. Dan....aku juga sudah lelah mendengar kata terima kasih terus darimu. Daripada kamu terus-terusan mengucapkan kalimat itu. Sebaiknya kamu pikirkan saja bagaimana cara membuatku happy. Dengan begitu bisa gantian, aku yang bilang terima kasih padamu sekali-kali. Baiklah, aku pulang dulu. Selamat sore"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments