Rahul tidak menyangka jika alat musik jenis aerophone itu benar-benar menjadi hiburan untuknya.
Puas bermain seruling diatas jembatan, keduanya beralih kepadang rumput yang terletak diseberang sungai. Padang yang dihiasi dengan hamparan bunga-bunga liar warna warni yang terasa indah dipandang mata.
Rahul menggerayangi jejeran bunga yang sedang bermekaran itu. Lalu memetik salah satu tangkainya dan menyodorkannya pada Zahra. Membuat gadis itu terpana dengan aksi lelaki itu yang terkesan agak romantis terhadapnya. Dengan kaku Zahra menerima bunga dari tangan Rahul.
"Terima kasih" ujar Zahra ceria.
"Apa bunganya cantik?"
"Tentu saja. Sangat cantik" Zahra mencium kelopak bunga itu.
"Apa warnanya"
"Orange"
"Apa kau menyukainya?"
"Ya tentu saja"
"Mana yang lebih kamu sukai?"
"Maksudnya?" tanya Zahra bingung.
"Kau lebih menyukai bunganya, atau pemberinya?" tanya Rahul dengan raut wajah menggoda. Membuat wajah Zahra memerah oleh rasa malu.
Dengan senyum malu-malu yang menghiasi wajahnya, Zahra menyebat pelan muka Rahul dengan setangkai bunga ditangannya itu. Lalu berlari-lari kecil meninggalkannya. Rahul melepas kepergian gadis itu dengan senyum lebar yang merekah diwajahnya.
Kembali kesungai. Mereka tampak asik bermain dan saling menyemburkan air pada satu sama lain. Keduanya tampak begitu terbuai dengan kebersamaan itu hingga lupa daratan. Rahul sangat menikmati suasana yang ada. Gadis itu benar-benar bisa mengalihkan dunianya. Mampu membuatnya tertawa dengan lepas.
Padahal sudah bertahun-tahun dia lupa bagaimana caranya tertawa. Jangankan untuk tertawa, untuk tersenyum saja rasanya dia tidak bisa. Hidupnya hanya didominasi oleh dua hal. Kegelapan dan kesepian.
Namun kini kegelapan itu sepertinya bukan masalah lagi bagi hidupnya. Setelah kesepian itu membawanya kepada Zahra. Gadis resek dan bar-bar, namun memiliki hati yang lembut dan penyayang. Saat hatinya sedang lelah akan cinta, entah bagaimana gelombang rasa itu muncul?
Rahul tampak begitu sumringahnya saat mengepang rambut Zahra yang panjang hitam, dan bergelombang. Begitu pun dengan Zahra, yang dengan cerianya menikmati apa yang dilakukan lelaki itu pada mahkota kepalanya.
Begitu kepangan itu selesai, gadis itu sangat puas dengan hasilnya.
Zahra mengeluarkan alat cukur dari saku roknya. Lalu menggunakan benda kecil itu untuk mencukur brewok yang mulai tumbuh lebat diarea dagu dan rahang Rahul.
Rahul mengusap wajahnya yang terasa kasar dengan keberadaan brewok tipis yang masih tersisa. Matanya berkaca-kaca. Bayangan hidup kelam yang dialaminya beberapa tahun ini kembali melintas dibenaknya. Selama dua setengah tahun terakhir ini dirinya tidak pernah peduli akan penampilan. Baginya sama saja terlihat tampan atau jelek. Toh Dimata semua orang, dia juga tidak berharga.
Namun kini, gadis ini mematahkan keyakinan itu, dan mendesaknya untuk berubah.
Zahra menyeka air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata Rahul. Dia bisa memahami perasaan pria itu. Rahul pernah secara gamblang mengatakan padanya mengenai kekasihnya yang mencampakkannya. Bahkan mengatakan bahwa hidupnya akan hancur, jika dia bersama lelaki itu.
Baginya, pemikiran semacam itu terlalu picik. Seharusnya jika memang benar-benar mencintai seseorang, maka semestinya Bisa-bisa menerima orang itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan hanya kelebihannya saja.
Zahra hanya berharap agar dirinya bisa menjadi sosok yang akan membuat Rahul melupakan kekasih dan masa lampaunya yang kelam. Menjadi sosok yang akan berbagi rasa sakit dan senang dengannya. Karena dia sungguh peduli pada pria itu.
Tak terasa mereka telah menghabiskan waktu hampir seharian dibawah air terjun itu. Keduanya baru sadar saat hari sudah menjelang petang. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan tempat itu dan kembali ketujuan semula.
Saat mereka sedang berjalan menerobos aliran air dan bebatuan granit besar itu, tiba-tiba saja Zahra merasakan kakinya kram.
"Aauw!"
"Kenapa? Kau baik-baik saja?" Rahul terlonjak panik.
"Kakiku tiba-tiba kram. Sepertinya aku tidak akan kuat berjalan dulu" Zahra membungkuk dan memijat-mijat bagian betisnya yang terasa kram dengan tangan kanan. Sedangkan tangan satu lagi memegang bebatuan disampingnya. Menjadikan batu granit besar itu sebagai tumpuan tangan, untuk menahan tubuhnya agar tidak goyah.
"Terus gimana dong? Inikan sudah sore. Tadi juga kamu bilang, ingin menemaniku mencari pekerjaan"
"Ya mau bagaimana lagi? Kan kakiku sakit. Tidak mungkinkan dipaksakan untuk berjalan?"
"Ya sudah kalau begitu" Rahul meraba-raba batu didepannya. kemudian dia duduk diatas bebatuan yang agak kecil itu.
"Kau mau apa? Ngapain duduk disitu?" tanya Zahra heran.
"Ayo naik kepunggungku"
"Hah?"
"Hah hoh, hah hoh. Kan kakimu sakit. Lalu bagaimana caranya kamu pergi dari sini? Mau ngesot-ngesot diantara air dan bebatuan?"
"Ka-kamu yakin, ingin menggendongku? Jika nanti kamu sampai jatuh bagaimana? Bukan hanya kamu saja yang akan terluka. Tapi badanku juga bisa remuk redam menimpa bebatuan" sanggah Zahra ragu-ragu.
"Kau takut karena aku buta? Itu aja diambil pusing. Kan ada kau yang bisa melihat. Jika kamu bisa menjadi mataku, lalu mengapa aku tidak bisa menjadi kakimu?"
Zahra terpana mendengar ucapan Rahul. Jantungnya terasa berdegup kencang.
"Kenapa malah diam sih? Ayo buruan naik" Desak Rahul yang membuat Zahra terlonjak.
"Mmm....mmm baiklah, jika kau memaksa" Zahra akhirnya menuruti perkataan Rahul untuk naik kepunggungnya.
Rahul bangkit dengan posisi kedua tangannya menyangga dan menahan tubuh Zahra yang berada diatas punggungnya. Dia berjalan dengan perlahan.
"Jalan terus. Awas ada batu. Kekiri sedikit. Iya udah, hati-hati" Zahra yang sedang digendong diatas punggung Rahul, terus memberi aba-aba agar lelaki itu bisa berjalan dengan benar diantara air dan bebatuan granit besar itu.
Selain itu, tongkat yang biasa dia gunakan sebagai penuntun jalannya, kini dipegang oleh Zahra dulu.
***********
"Apa?! Ini saya gak salah dengar? Kamu ingin saya menerima temanmu ini untuk bekerja dipabrik ini?" seru Pak Mahdi, manager dipabrik gitar didesa itu.
"Iya Pak"
"Astaga Zahra, Zahra. Ini pabrik, butuhnya karyawan. Bukan panti sosial yang butuh orang-orang terlantar untuk ditampung. memangnya kau tidak bisa lihat, keadaan temanmu ini seperti apa?" Pak Mahdi melirik Rahul dengan tatapan merendahkan.
"Iya Pak, saya tau, teman saya ini tidak bisa melihat. Tapi saya yakin kok, dia bisa bekerja dengan baik sebagai pengrajin dipabrik ini. Kan yang bermasalah hanya matanya saja. Sedangkan tangan, kaki dan telinganya baik-baik saja" Zahra terus membujuk pelan-pelan.
"Dengar ya Zahra, dimana-mana penglihatan itu adalah nomor satu. Apalagi untuk seorang karyawan. Mereka harus bisa melihat dan memperhatikan pekerjaan yang ditekuninya. kalau temanmu ini melihat saja tidak bisa, apa artinya kaki, tangan dan telinganya yang baik-baik saja itu?"
Pak Mahdi masih dengan tegas meragukan kondisi fisik Rahul.
"Tapi Pak...."
"Udah Ra, semua yang dikatakannya memang benar. Aku tidak bisa bekerja disini. Yang ada aku hanya bisa merepotkan saja. Sebaiknya kita pergi saja....ayo" tukas Rahul sendu. Lalu menarik tangan Zahra, mengajaknya pergi dari pabrik itu. Zahra memegang tangan Rahul dengan lembut.
"Jangan mulai terpengaruh lagi. Ingat, kamu sudah berjanji akan berusaha untuk bangkit. Sedikit lagi kamu sudah sampai diatas. Jangan biarkan dirimu terjatuh lagi kelubang yang lebih dalam. Anggap saja ucapannya hanya angin lalu, yang jangan sampai menggoyahkanmu" Nasehat Zahra lirih, lalu kembali melirik Pak Mahdi.
"Pak, saya mohon. Tolong beri dia kesempatan sekali saja. Bapak bisa memberinya masa percobaan dulu, seperti karyawan pada umumnya. Kalau dia tidak mampu, anda bisa menolaknya. Tapi sebaliknya, kalau dia memiliki kemampuan yang sejajar dengan para pengrajin lain, anda harus menerimanya bekerja disini" Tawar Zahra.
"Oh.... jadi kamu menantang saya?" Pak Mahdi menatap Zahra nyalang.
"Ya.... kalau itu yang Bapak pikirkan, apa boleh buat? Anggap saja seperti itu" jawab Zahra santai. Rasanya mulai kesal berdebat dengan lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang menurutnya sedikit arogan itu.
Pak Mahdi tampak berpikir sebelum menjawab.
"Baiklah, tapi dengan satu syarat"
"Apa syaratnya"
"Saya akan memberikan dia masa percobaan satu hari. Jika dia bisa bekerja dengan baik seperti karyawan lainnya, sekalipun dia buta, saya akan menerimanya disini. Tapi kalau dia tidak bisa, dan justru malah membuat kerugian dipabrik ini, maka kamu harus mengganti rugi tiga kali lipat dari kerugian yang dia buat. Bagaimana? kamu setuju.....?"
Pak Mahdi menantang Zahra dengan nada tegas.
"Gak bisa begitu dong Pak! Itu namanya tidak adil" tolak Rahul kesal. Dia tidak ingin Zahra terkena masalah karena dirinya.
"Kenapa? kamu takut.....?" Tanya Pak Mahdi sinis.
"Gak kok Pak. Kami tidak takut. Justru saya sangat setuju dengan syarat yang anda ajukan" Jawab Zahra cepat.
"Ra...." Tegur Rahul.
"Tapi saya juga punya syarat" Kata Zahra lagi tanpa menghiraukan teguran Rahul.
"Apa?"
"Jika teman saya ini bisa bekerja dengan baik seperti karyawan lainnya, saya ingin dia mendapatkan gaji tiga kali lipat dari karyawan lain. Karena apa? bukankah luar biasa, jika dia bisa memiliki kemampuan yang sejajar dengan yang lain? Padahal dia buta. Ya.... anggap saja itu bonus untuknya" tantang Zahra balik dengan tenangnya.
"Baiklah, saya setuju. Deal?" Pak Mahdi mengulurkan tangannya pada Zahra.
"Deal" Zahra membalas uluran tangan itu.
Keduanya pun berjabat tangan dan saling memberikan tatapan nyalang satu sama lain. Sedangkan Rahul hanya bisa menjadi saksi dari kesepakatan itu, tanpa daya untuk menghentikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments