"Pacarmu pasti meninggalkanmu, dan lebih memilih laki-laki lain kan?" tebak Zahra disertai dengan seulas senyum jahil.
Tebakan Zahra sedikit membuat Rahul terkejut hingga sepasang kelopak matanya terbuka. Tanpa sadar, tangannya kembali terkepal. Mulutnya terkatup rapat, berusaha meredam emosinya yang mulai kembali meradang.
Meskipun tebakan wanita disampingnya ini sedikit banyak memang benar adanya. Namun tetap saja, darahnya selalu naik jika ada orang, khususnya orang asing yang turut campur dalam masalah pribadinya. Apalagi ucapan wanita itu laksana membuka luka lamanya yang belum sedikitpun mengering.
Apa gadis ini memang sedang menghinanya?
sama seperti orang-orang yang selama ini menghina dan mencemoohnya lantaran dia buta?
Zahra kembali menghela nafas berat. pria itu masih saja mengacuhkannya
"Heuuuh..... ya sudahlah, kalau masih tidak mau cerita. Aku tidak akan memaksa. Lagipula aku juga masih banyak kerjaan. Jangan sampai aku terkena teguran dari kepala perawat karena terlalu sibuk denganmu disini, dan mengabaikan pasien yang lain. Istirahatlah agar kondisimu kembali vit. Aku akan mengambil peralatan kebersihan untuk membersihkan pecahan gelas ini. Baiklah tampan,selamat istirahat semoga harimu menyenang....." cerocos Zahra pasrah dan nyaris beranjak
"Jadi kamu perawat disini?" tukas Rahul datar.
"Iya" jawab Zahra antusias. Akhirnya si pasien tampan mengindahkannya juga.
"Jadi aku sedang berada di rumah sakit sekarang?"
"Tidak, kamu sedang berada dihotel sekarang. Hehe......tampan, tampan. Memangnya kamu tidak bisa melihat kalau ini rumah sakit? Apa matamu buta? Hehehe" Zahra bergurau lalu terkekeh.
Dia tidak sadar kalau perkataannya menyinggung perasaan Rahul. Membuat emosinya kembali memuncak lantaran kata-kata hinaan dan cemoohan yang diterimanya dari Amora serta keluarganya kembali terngiang-ngiang dibenaknya.
Tawa Zahra yang sedang berderai tiba-tiba saja terhenti tatkala matanya melirik dan menatap mata Rahul. Tampaknya dia baru menyadari bahwa pasien tampannya itu buta.
"Ya Tuhan, ma-matamu? ti-tidak bi-bisa? me-meli.....?" ujar Zahra lirih dan terbata-bata sembari mengibas-ngibaskan tangannya kedepan wajah Rahul.
"Kenapa?! Masih belum puas menghina dan merendahkan ku?! Masih ingin diteruskan lagi?!" sergah Rahul sembari berdiri. Wajahnya tampak memerah, dan matanya membulat.
"A-aku tidak tau ka...."
Rahul mencekal pundak Zahra "Lalu apa yang ingin kamu ketahui? hah?! Kisah hidupku?! Baiklah, biar kuceritakan. Dengarkan ini baik-baik Nona perawat! semua yang kau katakan, termasuk tebakanmu itu memang benar adanya! Aku memang buta dan tidak bisa apa-apa. Tidak berguna! Bahkan gadis yang aku cintai meninggalkanku demi pria lain! tidak hanya itu, dia bahkan merendahkan dan mengolok-olok kondisiku! Dia bilang masa depannya akan hancur jika dia bersama laki-laki buta sepertiku! tidak berhenti sampai disitu! Cemoohan demi cemoohan selalu aku dapatkan setiap saat dari orang-orang terdekatku! Sudah puas Nona? atau masih ada lagi yang ingin kamu dengar?!"
tutur Rahul dengan intonasi tinggi, meluapkan emosinya.
Zahra bisa merasakan getaran yang berasal dari tubuh pria itu. Terlihat jelas dari raut wajahnya, bahwa hidup pria selalu dirundung pilu. Tertekan oleh kegelapan yang membelenggu kebahagiaannya.
Rasa iba disertai rasa bersalah menjadi satu dan menghantam sanubari Zahra, yang secara tidak sengaja telah menabur garam keatas luka laki-laki itu.
"Aku minta maaf. Aku tau kata-kataku sudah menyinggung perasaanmu. Meskipun aku tidak bermaksud begitu, tapi tetap saja itu salah. Aku benar-benar tidak tau kondisi serta masalahmu. Aku memang tidak berhak ikut campur, karena itu bukan urusanku. Aku benar-benar minta maaf" ujar Zahra lirih dan datar. Nada bicaranya yang sebelumnya terdengar riang, santai dan penuh candaan hingga terkesan cerewet kini terdengar serius dan sedih.
Rahul terpaku mendengar permintaan maaf wanita itu. Entah mengapa dia merasa adanya ketulusan dalam suaranya. Perlahan-lahan Rahul melepaskan cekalan tangannya dari bahu Zahra.
"Keluarlah dari sini, tinggalkan aku sendiri. tolong jangan menguji kesabaranmu lagi" titah Rahul dengan suara rendah dan bergetar. Berusaha meredam emosinya agar tidak kembali meledak.
Kemarahan yang dia sendiri tidak tau tertuju untuk siapa. Untuk wanita yang sedang berada dihadapannya saat ini? Untuk wanita yang sudah mencampakkannya? Keluarganya yang sudah membuangnya? Atau dirinya sendiri yang tidak berguna ini? Hah, entahlah. Yang jelas saat ini dia hanya butuh sendiri.
Tak ingin menambah konfrontasi yang bisa membuat pria itu semakin kalut perasaannya, Zahra hanya bisa menurut. Dengan membawa perasaan iba, gadis itu melangkah menuju pintu keluar. Dia berhenti diambang pintu, lalu membalikkan badannya kembali menghadap Rahul"
"Aku tidak tau ujian hidup apa yang sedang kamu hadapi. Karna aku tidak pernah berada diposisimu. Tapi aku bisa melihat dari matamu..... ada kekecewaan, kesedihan, kekalahan dan kemarahan yang tidak bisa kamu bagi dengan siapapun. Mungkin karena saat ini kamu merasa, tidak ada bahu yang bisa kamu jadikan tempat untuk bersandar. Tapi ingatlah satu hal ini, masih ada sajadah yang bisa kamu jadikan tempat untuk bersujud. Kata ibuku, tidak ada yang kekal didunia ini, kecuali Allah. Manusia mungkin saja akan meninggalkan kita suatu saat. Entah itu karena kehendaknya sendiri, atau kehendak Allah. Tapi Allah tidak akan pernah meninggalkan hambaNya yang mau mendekatkan diri, dan tunduk padaNya"
dan dia pun berlalu seraya tersenyum setelah memberikan ceramahnya. Meninggalkan Rahul yang berdiri mematung dan terkesima dengan kata-kata bijak yang dia lontarkan.
Entah mengapa sejak buta, baru kali ini dia merasa tenang mendengar seseorang bicara padanya. Baru kali ini dia merasa mendapatkan sebuah support. Dukungan yang selama ini dia butuhkan, namun tidak pernah dia dapatkan dari orang-orang terdekatnya.
******
"Bu! Ibu dimana?!" seru Zahra memanggil-manggil ibunya dari ruang tengah.
"Ibu disini Nak!" sahut ibunya dari dapur. Zahra bergegas kedapur begitu mendengar suara sahutan ibunya yang berasal dari sana. Didapur dia menemukan ibunya sedang memasukkan dan menata kue-kue basah kedalam box-box plastik.
"Eh, sudah mau berangkat Nak?" wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu menengadah begitu melihat kehadiran anaknya yang baru saja memasuki dapur. Senyum hangat merekah diwajahnya.
"Iya Bu, kuenya sudah siap Bu? Sini, Zahra bawain sekalian. Buat dititipin diwarung-warung" tawar Zahra melirik ketiga box plastik berisikan kue-kue basah buatan ibunya.
"Iya Nak, semuanya sudah siap. Ini tolong ya kamu bawa" wanita bernama Sakinah itu mengambil box-box berukuran 20x10 cm dimeja dan menyerahkannya pada Zahra.
"Iya Bu, sini"
"Uhuk.....uhuk..." Ibu Sakinah mengepalkan tangannya dengan longgar dan meletakkannya didepan mulutnya yang sedang terbatuk-batuk.
"Bu, Ibu sakit lagi?" Zahra langsung meletakkan box-box kue itu kembali kemeja dan mengusap-usap bahu ibunya. Raut wajahnya tampak panik melihat wanita yang telah melahirkannya itu tiba-tiba saja batuk.
"Tidak Ra, mungkin Ibu hanya kecapekan saja. Istirahat sebentar juga baikan lagi" Ibu Sakinah tersenyum tipis. Berusaha memperlihatkan pada anaknya, kalau dirinya baik-baik saja. Tangan kirinya mengelus-elus tangan Zahra dipundaknya.
"Ibu yakin gak apa-apa?" tanya Zahra ragu.
"Iya sayang, Ibu tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir"
"Bagaimana Zahra tidak khawatir Bu? sudah berulangkali aku meminta Ibu agar berhenti saja membuat kue. Supaya Ibu bisa istirahat saja. Tapi Ibu selalu ngeyel" bantah Zahra dengan wajah cemberut.
"Ibu bukannya ngeyel Nak. Tapi Ibu tidak mau hanya duduk diam saja, tidak melakukan apapun. Yang ada badan Ibu malah sakit dan pegal-pegal semua. Lagupula kalau hanya sekedar membuat kue saja, Ibu masih kuat kok. Memangnya Ibu anak kecil yang yang kerjanya hanya duduk manis dan bermalas-malasan? Ibu kan juga butuh kesibukan, supaya Ibu tidak bosan" Bu Sakinah berkelit.
Zahra menghela nafas berat, rasanya percuma saja berdebat dengan Ibunya.
"Ya sudahlah, terserah Ibu saja. Tapi ingat ya, setelah ini langsung istirahat. Jangan sampai kecapekan lagi" titah Zahra dengan tatapan tajam dan serius. Seolah-olah dia lah ibunya dan sedang mengatur anaknya.
"Siap tuan putri, laksanakan euuh....."canda Bu Sakinah seraya mencubit pipi chubby putrinya dengan gemas.
"Auuww! Ibu! sakit tau" keluh Zahra merengut.
"Habisnya kamu bikin Ibu gemes. Sebenarnya disini itu yang Ibunya siapa, yang anaknya siapa sih? Sikap kamu itu ya, persis ibu-ibu yang sedang mengomeli anaknya" Bu Sakinah cekikikan.
"Ibu, aku serius. Ibu sih seperti anak kecil. disuruh istirahat saja susahnya minta ampun. aku kan khawatir dengan kesehatan Ibu. didunia ini hanya Ibu yang aku miliki, setelah kepergian Ayah" Zahra berkata dengan sedih.
"Makanya, kamu cepat cari pendamping hidup sana. Jadi, kalau seandainya nanti Ibu menyusul Ayahmu, masih ada orang yang akan menemani dan menjagamu"
"Ibu! Ibu bicara apa sih? Kok jadi melantur kemana-mana?" Zahra kembali jengkel dengan ucapan Ibunya.
"Ibu hanya berpikir realistis sayang. Karna yang namanya rejeki, jodoh, maut....kita tidak ada yang tau. Karna itu, sebelum Ibu menutup mata, Ibu ingin melihat putri semata wayang Ibu ini menemukan tambatan hatinya. Dengan begitu Ibu bisa pergi dengan tenang"
"Hah....bicara Ibu itu terlalu dramatis. Aku malas membahasnya. Aku berangkat dulu, nanti telat lagi. Kasiankan para dokter dan pasien yang membutuhkanku" Zahra mengambil kembali box-box kue dimeja. Dia memilih mengakhiri percakapan yang menjenuhkan itu.
"Bilang saja mau mengalihkan pembicaraan" Bu Sakinah masih saja menggoda anaknya.
"Ih...Ibu!" seru Zahra geram.
"Hehehe....ya sudah berangkat sana. Oh ya, ini Ibu juga sudah siapkan kue untuk pasienmu. Jangan lupa nanti diberikan. Sekalian juga sampaikan pada pasien yang kamu berikan kue ini, semoga cepat sembuh" Bu Sakinah mengambil beberapa box mika yang telah diisi dengan kue-kue basah buatannya dan menyerahkannya pada Zahra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments