"Sejak kecil, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Karena dia terlahir sebagai anak perempuan. Ayahnya sangat menginginkan anak laki-laki. Karena itulah dia tidak pernah mau menerima Chika. Padahal Chika sudah melakukan berbagai macam cara, agar ayahnya bisa menyayanginya,namun semuanya nihil.
Apalagi setelah tau dia sakit kanker. Beliau semakin membencinya. Sudah terlahir sebagai anak perempuan, penyakitan lagi. Itulah anggapannya. Sampai akhirnya dia meninggalkan Chika dan ibunya, dan pergi bersama wanita lain. Tidak lama setelah itu ibunya meninggal. Tidak ada pihak keluarga yang mau merawat Chika. Mereka semua memutuskan untuk menitipkannya dipanti asuhan"
"Ya Tuhan, kok bisa ya ada ayah seperti itu didunia ini! memang apa salah Chika jika dia terlahir sebagai perempuan? itukan bukan keinginannya!" Rahul tersulut emosi mendengarnya.
"Ya, itulah yang namanya kehidupan. Tidak semua hal akan terjadi sesuai dengan keinginan kita. Dan itulah yang ingin aku jelaskan padamu tempo hari. Kalau bukan kamu satu-satunya orang didunia ini, dengan problem hidup terberat. Masih ada orang lain yang jauh lebih sengsara darimu. Tapi mereka tidak pernah mengeluh.
Itulah yang aku lihat dari Chika. Ditengah ujian hidupnya yang bertubi tubi, dia masih tetap bisa memperlihatkan senyum cerianya. Dia selalu mengatakan padaku, kalau dia percaya bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Hidup itu seperti roda yang berputar. Ada saatnya kita diatas, ada saatnya juga dibawah. Kuncinya hanya satu, tetap bersyukur dalam situasi apapun. Maka hidup ini pasti akan terasa indah"
"Aku minta maaf sekali lagi soal itu. Aku benar-benar malu dengan sikapku yang kekanak-kanakan..." kata Rahul lirih sembari menundukkan wajah. Merasa malu dengan sikapnya tempo hari.
"Aku sudah bilangkan? aku sudah memaafkanmu..."
Percakapan mereka pun terhenti kala Chika menghampiri.
"Kak Zahra, Kak Rahul. Ayo kita kesana (menunjuk dekorasi balon yang berada ditengah-tengah taman). Temani aku tiup lilin dan potog kue"
"Iya sayang" kata Zahra lalu melirik Rahul
"Ayo Hul"
"Iya-iya" Rahul beranjak dari tempat duduknya pun dengan Zahra. Ketiganya melangkah menuju meja diantara dekorasi balon warna warni itu. Ketiga teman laki-laki dan satu teman wanita Chika serta seorang wanita paruh baya, dengan penampilan sederhana dan berhijab sudah ada disana.
"Eh Suster Zahra" wanita itu tersenyum ramah menyapa Zahra.
"Apa kabar Bu?" Zahra membalas senyum ramah dan menyalami tangan wanita itu. Tampaknya kedua wanita beda generasi itu sudah saling mengenal satu sama lain.
"Alhamdulillah baik" wanita paruh baya itu lalu melirik Rahul yang berdiri disebelah Zahra.
"Oh, jadi ini yang namanya Rahul?"
"Iy-iya" jawab Rahul gugup.
"Saya Restu, pengurus panti asuhan tempat Chika dan teman-temannya tinggal"
"Senang berkanalan denganmu Bu" kata Rahul basa basi.
"Aku juga. Benar kata anak-anak ini, wajahmu sangat tampan. Semoga hatimu sama tampannya dengan wajahmu" Bu Restu juga melempar senyum ramahnya kala memuji Rahul.
"Terima kasih" Rahul tampak salah tingkah dengan pujian yang dilontarkan Bu Restu. Dia begitu bingung harus bersikap seperti apa. Meskipun dia merasakan adanya ketulusan yang mengandung dari ucapan-ucapan yang mereka lontarkan. Namun tetap saja, mereka masih orang asing baginya.
"Bu, Kak, udah dong ngomongnya. Ayo potong kuenya, perutku sudah sangat lapar nih" rengek Doddy, salah satu teman Chika yang bertubuh agak gemuk.
HUUUH....!!" sorak keempat temannya.
"Dasar bulat, tukang makan" cela Ronny.
"Iri bilang boss" sungut Doddy dengan tampang masam.
"HUUU...!!" Doddy kembali mendapat sorakan ledekan dari teman-temannya.
Rahul dan Zahra hanya senyum sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anak-anak itu.
"Sudah-sudah, kalian ini kerjanya ribut terus. Gak malu sama Kak Rahul dan Kak Zahra?" lerai Bu Restu lalu melirik Rahul dan Zahra.
"Rahul, Zahra... maaf ya atas kelakuan mereka"
"Iya Bu, namanya juga anak-anak" jawab Rahul mengerti.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita mulai"ajak Zahra.
"Ya, ayo"
Dengan riang gembira semua orang menyanyikan lagu happy birthday untuk Chika. Yang terlihat sangat ceria dengan
wajah manisnya yang terus memancarkan senyum lebar, saat meniup lilin berbentuk huruf yang sama dengan usianya. Yakni 13 tahun, dan memotong kue.
Chika menyodorkan potongan kue pertama dengan bentuk segitiga yang itu kepada Rahul dan Zahra dengan kedua tangannya.
"Ini potongan pertama buat Kak Rahul dan Kak Zahra"
"Buat aku dan Zahra?" tanya Rahul bingung.
"Iya. Sebagai ucapan terima kasih, karena selama ini Kak Zahra sudah merawatku. Selain itu, dia juga sudah banyak membantuku. Buat Kak Rahul yang sudah bernyanyi di acara ulang tahunku. Suara Kakak sangat merdu. Ditambah lagi wajah Kakak sangat tampan, seperti Salman Khan"
"Salman Khan?" Rahul tampak semakin bingung mendengar nama pria yang disebutkan Chika itu.
"Aktor kesukaan Chika. Diakan suka sekali drama bollywood. Bahkan kami suka nonton bareng di YouTube melalui ponselku. Iya kan cantik?" timpal Zahra bersama seuntai senyuman diwajah cantiknya.
"Iya dong Kak" jawab Chika dengan antusiasnya.
"Toss dulu" Zahra mengacungkan telapak tangannya pada Chika, yang dengan semangatnya menghentakkan telapak tangannya ketelapak tangan Zahra.
"Yeaayy!"
"Chik, potongan pertamakan sudah diberikan untuk Kak Zahra dan Kak Rahul. Yang kedua buat aku ya. Kan kita sahabat" Doddy tersenyum merayu.
"Iya Chik. Buruan potong kuenya lagi. Lalu berikan untuk Doddy, sekalian sama piring dan balon-balonnya. Biar dia tambah bundar" ledek Rere yang disambut dengan gelak tawa semua orang.
"Hahahaha!!"
**********
"Kemarin itu benar-benar sangat menyenangkan ya"
"Apa yang membuatnya menjadi sangat menyenangkan? Anak-anak itu? kebagian potongan kue pertama? Atau, antusiasme kaum hawa yang kepincut dengan ketampananmu saat bernyanyi?" tanya Zahra setengah bercanda.
"Euuu.... kenapa ya? Kok aku seperti mencium aroma kecemburuan ya disini?" goda Rahul.
"Oh.... kamu menyindirku?" gerutu Zahra. Sedangkan tangannya asik bekerja mengelap dan mengoles luka yang hampir kering dikening Rahul dengan kapas yang sudah ditetesi obat antiseptic.
"Jadi kamu mengakuinya? Atau jangan-jangan firasatku benar"
"Firasat apa?"
"Kamu memiliki perasaan lebih terhadapku"
"Oh.... seorang pria dingin dan temperamen, dalam sekejap bisa berubah drastis menjadi pria humoris dan tengil ya. Aku rasa kamu punya kelainan ya" Zahra tersenyum geram. Tangannya sedang menempelkan plester pada kasa untuk menutupi luka dikening sebelah kiri Rahul.
"Kelainan, maksudnya?" Rahul mengernyitkan keningnya.
"Ya, sepertinya kamu memiliki kepribadian ganda"
"Kalau kataku sih. Itu efek bertemu dan berteman dengan seorang gadis yang sengklek dan cerewet. Jadi aku ikut tertular virusnya" Rahul berkata dengan tengilnya.
"Ya, terus saja menyindirku. Kamu pikir aku penyakit yang virusnya akan menular pada orang lain? Aku tidak menyangka, ternyata kamu jauh lebih menyebalkan dari yang kupikirkan" sungut Zahra.
"Tentu saja. Untuk menghadapi wanita bawel dan menyebalkan, aku harus bisa membuat diriku sejajar dengannya" Rahul masih tidak mau kalah dari candaan itu. Dia sangat menikmati menggoda Zahra. Andai dia bisa melihat, pasti mimik wajah gadis itu akan membuatnya gemas saking lucunya.
"Ya sudahlah, terserah apa katamu. Oh ya, ada kabar gembira untukmu" Zahra mulai penat dengan gurauan itu dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan saja.
"Kabar gembira apa? Aku jadi penasaran, apa kamu mau bilang, kalau aku habis menang lotre?"
"Apakah kepalamu itu isinya hanya uang saja? Apakah tidak ada hal lain yang bisa membuatmu gembira?"
"Tentu saja ada"
"Apa?"
"Kamu" ujar Rahul seketika. Entah sengaja atau tidak, Entah itu murni gurauan atau memang isi hatinya. Namun tampaknya Zahra tidak terpengaruh dengan ucapannya. Mungkin dia menanggapi itu hanya bagian dari lelucon saja.
"Waw, sepertinya menggombal merupakan salah satu keahlianmu selain bernyanyi. Katakan padaku, sudah berapa banyak wanita yang jadi korban gombalanmu?" cemooh Zahra.
"Euuu... entahlah, aku juga sudah sudah tidak ingat. Lagipula aku juga masih ingat perkataan seseorang yang mengatakan, lupakan kemarin dan fokus pada hari ini dan esok. Oh ya, ngomong-ngomong, apa kabar baik yang tadi ingin kamu sampaikan?"
"Oh, jadi kamu penasaran?"
"Euum... lumayan"
"Kamu memaksaku untuk memberitahu?"
"Kurang lebih"
"Baiklah kalau kamu memaksa. Aku juga tidak ingin membuatmu mati penasaran. Jadi tadi Dokter yang selama ini merawatmu disini memberitahuku, kalau hari ini kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit ini. Kamu pasti sangat gembira kan? Aku masih ingat, seperti apa keras kepalamu kemarin saat ingin meninggalkan tempat ini. Sekarang kamu bisa keluar dari sini tanpa perlu berdebat dengan perawat disini. Hehehe"
Zahra terkekeh. Masih sangat segar dikepalanya, memory beberapa hari yang lalu. Saat keduanya masih bersitegang. Rahul bersikeras untuk meninggalkan tempat itu, ditengah-tengah kondisinya yang masih belum pulih pasca terjaga dari tidur panjangnya.
Beda dengan Rahul yang tampaknya tidak bergairah, mendengar pernyataan Zahra barusan. Raut wajah yang sebelumnya tampak sumringah, penuh candaan dan terkesan tengil mendadak berubah muram.
"Hey, ada apa? Kenapa tiba-tiba wajahmu berubah cemberut begitu? Bukankah seharusnya kamu senang, bisa keluar dari sini?Kok kamu terlihat kecewa? Apa ada masalah?" cecar Zahra pelan dengan tatapan menyelidik.
"Aku... aku"
"Kenapa?"
"Jika aku keluar dari sini, aku pasti harus membayar semua biaya perawatan selama aku dirawat disini. Aku tidak punya uang sepeserpun" jelas Rahul sendu.
"Kamu bisa menghubungi keluargamu, dan meminta mereka, untuk melunasi biaya rumah sakitmu. Mereka pasti..." saran Zahra berempati.
"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sebatang kara. Semua keluargaku sudah mati" Tukas Rahul dengan wajah memerah.
"Apa keluargamu juga menjadi korban dalam kecelakaan itu?" tanya Zahra lirih.
"Iy-ya, semua keluargaku sudah mati sejak kecelakaan itu. Dan sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Aku juga tidak tau harus kemana, saat meninggalkan tempat ini nantinya. Aku tidak punya apapun dan siapapun"
Jawab Rahul. Hatinya merasa ragu dan bersalah, karena telah mengarang cerita buruk mengenai keluarganya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments