Saat tengah malam, Ai diminta untuk menempati salah satu kamar penginapan milik Adinda yang berada di kampung tersebut. Wejangan dan juga aturan diberikan oleh Givan, dengan timbal balik Givan yang akan mencukupi kebutuhan Ai selama hamil dan kebutuhan anak itu sampai dewasa.
Pidana tidak menjadi pilihan mereka, karena tanggung jawab Givan amat besar untuk semua orang. Ayah enam anak itu, tidak bisa meninggalkan usaha-usahanya karena akan goyah tanpa pimpinan sepertinya.
Ai pun, memiliki rencana lain untuk kedepannya. Meski ia yakin kebutuhannya dan anaknya aman, tapi ia menginginkan lebih dari hanya sekedar dipenuhi saja perekonomiannya. Ia ingin mendapatkan posisi yang aman dan nyaman, dengan berada di sisi Givan selamanya.
Memenuhi kebutuhan hidup Ai dan menaikkan derajat anak Ai menurut Givan cukup setimpal, dari kejahatannya yang membuat Ai melayani lima laki-laki meski dirinya tidak tahu pasti. Ya, kemungkinan buruknya lima laki-laki tersebut menggunakan Ai. Tapi, tidak menutup kemungkinan hanya beberapa orang saja yang ikut menikmati Ai.
Setidaknya, ini cukup memberikan pelajaran berharga untuk Givan. Mungkin setelah ini ia kapok, untuk dendam pada seseorang.
"Mas...." Canda menciumi wajah suaminya subuh pagi ini.
Ia tidak tahu, bahwa suaminya tengah malam tadi masih di luar rumah. Bahkan, mengantarkan Ai ke salah satu kamar penginapan milik ibunya.
"Eummm...." Givan meregangkan tubuhnya.
"Bangun, Subuh." Canda sudah berani membangunkan suaminya. Tidak seperti dulu, di mana ia sungkan membangunkan suaminya karena takut dibentak.
"Kelon lagi aja, Cendol. Mata aku masih ngantuk." Givan memeluk tubuh istrinya, lalu menggulingkan tubuh istrinya di sampingnya.
"Ayolah, Mas. Aku udah laper." Canda memberontak pelukan suaminya.
Cup....
Givan mencium pipi istrinya cukup lama. "Gemoy, gemesin." Ia mengulang-ulangi mencium pipi istrinya.
"Ayo sholat," pinta Canda dengan manja.
"Iya, iya. Aku mandi dulu ya?" Givan melepaskan istrinya. "Tunggu sebentar, nanti kita sholat bareng." Givan beranjak menuju kamar mandi.
"Iya, terus keluar beli sarapan."
Mendengar hal itu, Givan terdiam di tempatnya. Ia khawatir Canda mencurigai keberadaan Ai lingkungan ini.
Namun, ia teringat dengan satu idenya yang belum terealisasikan. Ada sedikit keamanan untuk Canda, meski ia tahu seluruh keluarga besar di sini cepat atau lambat pasti akan mendengar juga. Termasuk, ibu dan adik Canda.
"Canda...." Givan memutar tubuhnya.
"Ya, Mas?" Canda mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang tengah ia genggam.
"Ke Kalimantan yuk? Aku pengen anak terakhir kita lahiran di sana." Senyumnya begitu merekah, membuat Canda heran dengan tingkah suaminya.
Suaminya adalah manusia yang minim senyum.
"Katanya pengen di Aceh lagi? Gimana sih, Mas?" Sore kemarin, Canda pun sempat mendengar kata Kalimantan yang suaminya lontarkan.
Ini cukup mendadak, apalagi mereka belum lama tinggal di Aceh. Belum ada satu minggu, bahkan rasa rindunya pada anak-anaknya belum tercurahkan semua.
"Ada masalah yang tak bisa dihandle pak Sam di sana, Canda. Mau tak mau, keknya aku sendiri yang harus turun tangan." Ia menambahkan kebohongan agar istrinya percaya.
"Aku di sini ajalah, kandungan aku masih rawan buat dibawa perjalanan naik pesawat terus." Canda lebih memilih ditinggal di sini saja, karena ia memikirkan keadaan janinnya yang masih rentan itu.
"Aku tak bisa, kalau kau tak ikut. Kita kan sepaket, Canda," mohon Givan dengan wajah yang disetting penuh harap.
"Nanti lah, hari Minggu aja. Aku pengen istirahat dulu, sambil kangen-kangenan sama anak." Tidak seperti biasa, kali ini Canda malah mengulur waktu.
Sebelumnya, Canda selalu gerak cepat. Jika mendengar usaha suaminya tengah membutuhkan pimpinannya di sina. Tapi insting Canda, seolah membuat Canda agar tetap di sini.
"Tapi janji ya kita balik ke Kalimantan?" Menurutnya, mengungsikan istrinya sementara adalah jalan terbaik. Karena Ai yang tidak mau kembali, meski kesepakatan sudah cukup adil untuk Ai.
"Iya, Mas." Canda kembali fokus pada ponselnya.
Sedangkan Givan, ia langsung menyegerakan diri untuk mensucikan diri. Kemudian, mereka sholat bersama dan mengulas bacaan Al-Qur'an bersama.
Rengekan kelaparan dari Canda, tetap membuat Givan ragu untuk sekedar berjalan bersama dan mencari sarapan di pagi ini. Meski Ai sudah diberi perintah untuk tidak keluar dari kamar yang ia tempati, tapi Givan memiliki kepercayaan yang minim untuk itu. Ia yakin, dengan berani Ai pasti akan berjalan-jalan di sekitar lingkungannya ini.
"Mas...." Canda sudah mengganduli gagang pintu, merengek pada suaminya untuk membukakan grendel atas pintu tersebut.
Dengan rasa khawatir yang berlebih, sampai-sampai Givan mengunci pintu mereka dengan grendel pada bagian atas pintu. Karena ia yakin, Canda tidak akan bisa membukanya sendiri. Dengan seperti ini, ia berpikir Canda pasti terkontrol berada di dalam rumah bersamanya.
"Aku aja yang beli ya? Kau mau apa?" Givan menarik Canda, untuk duduk di pangkuannya yang tengah menikmati empuknya sofa ruang tamu itu.
Dengan begitu patuh, Canda langsung duduk di pangkuan suaminya. "Aku pengen bubur ayam makan di posyandu." Canda sudah membayangkan memakan bubur ayam dengan kerupuknya.
Padahal sebelumnya, Canda paling anti makan bubur. Ia tidak suka dengan bubur, apalagi bubur ayam yang bumbunya dicampurkan di atasnya.
"Aku belikan aja ya? Biar cepat, aku pergi naik motor. Kasian nih anak Yayah, barangkali capek jalan." Givan mengusap-usap perut istrinya.
Canda sudah membayangkan berjalan berdua bergandengan tangan dengan romantis di pagi ini. Dengan mata para orang-orang yang iri melihat kebahagiaan mereka.
"Aku pengen jalan kaki gandengan tangan sama Mas." Meski sebelumnya sudah sering melakukannya, Canda tetap ingin terus dan terus mengulanginya setiap hari.
"Tidur gandengan, ke mana-mana aku dipegang." Givan mendengus bau segar dari parfum yang rutin ia berikan untuk istrinya.
Ia senang, ketika pemberiannya terus digunakan oleh istrinya. Suatu kebanggaan tersendiri, ketika penghormatan terhadap barang yang ia beri itu dikenakan setiap hari.
"Ayolah, Mas." Canda membingkai wajah suaminya.
Namun, ia menemukan warna lain di wajah suaminya.
"Loh, Mas pakai brush on kah?" Canda mengusap-usap tulang pipi suaminya yang terdapat warna merah pias itu.
Givan teringat akan kepalan tangan adiknya yang mendarat di tulang pipinya semalam. "Mana ada?! Keknya digigit nyamuk kebun aja." Givan kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher istrinya yang tertutupi hijab.
Ia masih suka, untuk mengendus bau harum yang memberikan kesegaran itu.
"Masa iya?" Canda mencoba membingkai wajah suaminya. Namun, Givan secara tidak langsung menolak untuk itu.
Jelas kentara, saat warna kulit kuning cerah itu mendapat pukulan yang hanya bersifat ringan saja. Bias merah itu, terkesan samar tetapi cukup terlihat.
"Ayolah, Mas." Canda bangkit dari pangkuan suaminya, ia kembali mengganduli gagang pintu.
Jika Canda sudah merengek dan susah dibujuk seperti ini, jalan satu-satunya adalah memenuhi keinginannya. Givan tidak lagi bisa untuk menolak keinginan sederhana Canda di pagi ini.
"Ya udah, ayo. Habis makan langsung pulang ya?" Givan beranjak untuk membukakan pintu rumah tersebut.
Dengan keragu-raguan, Givan tetap menggunakan sandalnya dan mulai menyusuri jalanan dengan Canda yang menggandengnya erat.
Namun, kesenangan Givan terganggu dengan kehadiran seseorang yang memperlihatkan mereka sejak keluar pagar rumah tadi.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
mamah Dinda....tolongin jauhkan ai dari Yayah dan biyung
2022-07-22
1
khair
biarin Givan kena batunya dulu...
ketemu lawan licik...
biar kedepannya hidup baik baik aja... cari tenang
2022-07-20
2
Nayra Nabila
si ai haus denger usaha givan,padahalkan kebanyakan punya canda.
2022-07-20
2