"Tuh kan?! Telat nyusulin akunya. Pasti habis ngajak ngobrol Ai dulu?!" Wajah teduh Canda sudah basah karena air mata.
Givan menunjukkan tentengan yang ia bawa. "Katanya laper, pesanan tadi aku bungkus," jelas Givan, dengan menurunkan kantong plastik yang ia bawa.
Ia mengeluarkan satu persatu makanan yang ia bawa tersebut.
"Udah nangisnya! Sini makan, Sayang." Givan mencoba membujuk Canda.
"Tak mau! Aku tau Mas tak pernah bisa lupain Ai, aku tau aku tak sebanding sama dia. Aku tetap kalah di mata Mas, meski banyak keturunan yang aku kasih buat Mas." Canda melepaskan perasaan mirisnya, dengan tangis yang begitu hebat.
Ia begitu sensitif, ketika membayangkan akan suaminya yang lebih memilih wanita lain. Apalagi, wanita itu adalah perempuan yang pernah suaminya temui pada awal pernikahan mereka dulu.
Givan yang buka suara sendiri pada Canda, mengenai kebenaran itu. Membuat Canda selalu teringat, bahwa suaminya memang sulit untuk meninggalkan perempuan itu untuk dirinya.
Memang di awal, pernikahan mereka tanpa cinta. Mau tidak mau, mereka harus menikah. Lantaran, Givan mengambil kesucian Canda yang notabene adalah pacar adiknya sendiri. Hal itu ia lakukan, karena ia iri hati pada adiknya.
Saat hubungannya mulai hancur dengan Ai, adiknya malah begitu bahagia dengan Canda. Hingga tindakan asusila itu terjadi, di pagi minggu yang menjadi sejarah.
Givan sempat dipolisikan, karena kasus tersebut. Namun, kasus tersebut akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan syarat, pernikahan sah atas keduanya.
"Nyatanya kau yang aku hidupi, Canda. Benih-benihku tumbuh di rahim kau, Canda. Jangan lupakan juga, semua usahaku yang aku maksudkan untuk kelangsungan hidup kau dan anak-anak kita. Jangan pancing emosi aku, Canda. Tak penting dia untuk aku, aku udah bahagia sama kau." Givan membawa Canda dalam pelukannya.
Canda memberontak. "Tapi, tapi.... Tadi dia liat ke arah kita kan? Dia ada ngajak ngobrol Mas kan?" Canda menangis dengan berbicara, bagaikan anak kecil yang tengah mengekspresikan emosinya.
"Tak, Canda. Kau tenang aja." Givan kembali membelenggu tubuh Canda lebih kuat.
"Kau tetap tempatku pulang, Canda. Kau rumahku. Kau tenang lah. Suamimu yang ganteng ini, tetap milikmu." Givan mencoba menghibur istrinya.
"Mas kan suka bohong." Canda membenamkan wajahnya pada dada suaminya yang terlapisi kemeja abu-abu tersebut.
"Tak, sekarang udah jarang bohong."
Canda mencubit perut suaminya, hingga tawa kecil keluar dari mulut mereka.
Givan membingkai wajah istrinya yang terkenal cengeng itu. Ia mengusap air mata, bukti betapa Canda mencintainya itu.
"Kalau di sini ada Ai, kita pindah kota aja. Kita tak usah buka usaha di sini, Mas." Hembusan nafas Canda menerpa wajah Givan.
"Peluangnya besar, Canda. Aku udah nimbang-nimbang semuanya. Nanti malam pun, mas Fahad mau ajak ngobrol tentang usaha aku. Aku minta doanya ya, Canda? Doain semoga usahanya cepat berjalan, terus stabil. Biar kita bisa kumpul sama anak-anak lagi di Kenawat Redelong," ungkap Givan, dengan tersenyum menenangkan.
Sampai saat ini, menurut Canda, hanya suaminya laki-laki tertampan sejagat raya. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah rasanya cinta. Kadang dibutakan dan seolah tak melihat kejelekan pasangan kita.
"Pasti Ra ngambek lagi sekarang." Canda mundur satu langkah, membuatnya terlepas dari belenggu pelukan suaminya.
"Cani pasti lagi baper lagi, pasti dia berpikir kalau aku lebih sayang kau dari dia." Givan teringat akan anak bungsu mereka.
Anak perempuan yang persis seperti Canda, dari wajah hingga ke sifatnya. Benar-benar seperti ibunya, yang mudah menangis dan drama.
"Memang kan? Makanya aku diajak-ajak terus." Canda berjalan ke arah makanan terhidang.
Givan terkekeh kecil, ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat mood Canda yang mudah berubah.
"Lepas KB aja ya, Canda? Cani pun udah tiga tahunan, pantas kali punya adik lagi sih."
Bertepatan dengan ucapan tersebut, Canda begitu terlihat bodoh dengan sepotong makanan yang baru digigitnya.
"Nanti caesar lagi. Hmmm, aku mau hamil dan punya anak lagi tapi tak mau ngerasain operasi lagi." Canda langsung mengerucutkan bibirnya.
Givan duduk di samping istrinya. "Tak apa kali, kan aku selalu urus kau dengan baik. Abis lahiran nanti, terus aku vasektomi," pungkasnya dengan mengambil sebuah makanan yang sudah memiliki tempat sendiri.
Givan tidak tahu, bagaimana ekspresi wajah istrinya sekarang. Canda bagaikan boneka Susan, yang hanya mampu mengedipkan matanya saja.
"Makan nih, Canda. Tadi kau pesan ini." Givan membawa sendok berisi makanan itu berbelok ke arah istrinya.
Namun, Givan langsung menyatukan alisnya melihat wajah istrinya.
"Kau.... Kenapa?" tanyanya bingung.
"Vasektomi? Yang benar aja? Janganlah, Mas!" Canda menggelengkan kepalanya berulang kali.
Menurutnya, itulah adalah hal yang tak pernah dilakukannya. Karena saat dirinya meminta untuk steril pun, suaminya tak mengizinkan.
"Udah tua juga, udah tiga puluh sembilan tahun. Tahun depan kita udah di rumah aja, menikmati masa-masa indah kita." Givan menerawang jauh, membayangkan bagaimana bahagianya dia berkumpul bersama keluarga kecilnya dengan perekonomian yang sejahtera.
"Kan aku masih tiga empat, Mas." Canda menikmati makanan mereka dengan begitu lahap.
"Ya makanya hamil sekali lagi. Mumpung masih di umur produktif kan? Nanti tiga enam udah tak boleh tuh buat punya anak lagi," lontar Givan, dengan kembali menyantap makanannya.
"Iya deh. Nanti abis masa suntik ini, aku tak suntik lagi."
Givan menoleh pada istrinya. Lalu ia berkata, "Kapan suntik KB terakhir?" tanyanya kemudian.
"Awal bulan tadi."
Givan hanya manggut-manggut. Pikirannya berkelana kembali, pada perempuan yang berpenampilan cukup seksi tadi.
Ai Diah, perempuan matang berusia tiga puluh enam tahun. Ia sempat menyapa Givan di kasir, tetapi hanya dibalas dengan senyum samar saja oleh Givan.
Givan masih terlalu bingung, kenapa Ai bisa ada di daerah ini. Ai berasal dari Jawa Barat, tapi kini ia melihat Ai ada di Jawa Tengah.
Penampilannya tidak ada yang berubah menurut Givan, terlihat pas di usia matang. Namun, rasa kebas di hatinya terasa kembali. Kala teringat bagaimana penolakan dan penghinaan yang ia dapat, dari Ai dan keluarganya.
"Canda.... Kau tidurlah dulu. Aku mungkin pulang malam, sampai resto tutup mungkin. Nih, mas Fahad udah nunggu di restoran dalam." Givan menunjukkan ponselnya pada Canda.
Canda mengambil alih ponsel suaminya, kemudian memeriksa chatting tentang pekerjaan tersebut.
"Mas pegang kartunya aja. Biar tak usah bunyikan bel." Canda mengembalikan ponsel suaminya.
"Tak usah, Canda. Khawatir ada kejadian buruk, kebakaran atau apa. Amit-amit, tapi takutnya. Nanti kau tak bisa keluar kamar lagi, bisa amsyong dong Yayah." Givan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
Panggilan untuk anak-anak mereka adalah ayah dan biyung. Canda yang asli dari Jawa, menginginkan panggilan zaman dulu tersebut. Sedangkan Givan, ia tetap ingin dipanggil ayah. Hingga terciptalah panggilan unik tersebut. Tetapi, anak mereka yang bernama Ra itu tetap memanggil Givan dengan sebutan yayah. Padahal, itu adalah panggilannya saat kecil karena tidak bisa menyebutkan kata ayah.
"Aku punya kartunya juga, tadi pas check in aku minta dua." Givan mengantongi kembali kartu yang barusan ia tunjukkan pada istrinya tersebut.
"Ya, Mas. Jangan malam-malam ya? Cium dulu, Mas." Sudah menjadi kebiasaan, saat mereka berpisah sejenak pasti meninggalkan ciuman kecil.
Cup, cup, cup, cup.
Pipi kanan dan kiri. Dahi dan terakhir bibir, tidak luput dari tanda kasih yang Givan berikan untuk istrinya.
"Doain aku ya, Canda? Ingat mimpi kita. Tahun depan kita udah anteng di kampung, tanpa harus keluar kota dan jauh dari anak lagi." Givan memiliki harapan besar, karena sejujurnya ia sudah tidak ingin berjauhan dengan anak-anaknya lagi.
"Pasti, Mas. Semangat ya? Jaga diri, jaga pandangan." Canda mencium tangan suaminya.
"Siap, Canda. Assalamualaikum...." Givan melangkah meninggalkan istrinya di kamar hotel.
Langkahnya seolah penuh keragu-raguan. Ia hendak memilih untuk menyusuri tangga, tapi nyatanya kakinya membawanya masuk ke dalam lift. Jika ragu seperti ini, ia berpikir akan terjadi hal buruk. Ia memanjat doa, semoga ia sampai dengan selamat di lantai tujuan.
Namun, pintu terbuka kembali dengan masuknya seorang wanita.
Matanya melebar, kemudian Givan beringsut ke sisi paling kanan dari lift tersebut.
...****************...
Awal mula cerita Canda dan Givan ini, ada di novel Belenggu Delapan Saudara. Terus, lanjut di Canda Pagi Dinanti. Lalu novel ini ya, Retak Mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
mmg gak jamin ya rumah tangga akan aman walaupun udah punya banyak anak ekonomi lancar masih aja ada hal yg bikin goyah iman duh Yayah jangan sakiti biyung lg dong inget jg anak2 mu
2022-07-21
1
Bat Riani
godaaa u givan, cobaan u canda...
2022-07-18
1
Een Bunda Al-fatih
ceritanya kek dibikin supaya Yayah kegoda si ai kenapa juga Yayah masih mikirin si ai padahal baru sekali aja ketemu,lah gimana kalo ketemunya semakin sering.awas aja ya Yayah kamu bermain api
2022-07-11
3