Seketika Givan panik, melihat perempuan tersebut bertamu di rumah orang tuanya. Ia geleng-geleng kepala, ia ingin berbalik arah dengan payung yang melindunginya dari hujan deras tersebut.
Ia tidak ingin menemui perempuan tersebut, ia tidak ingin perempuan tersebut bertemu keluarganya. Apalagi, bertemu dengan istrinya.
Givan yakin, kiamat kecil akan terjadi. Jika Canda tahu, bahwa Ai sampai di kampung halamannya ini.
Sayangnya, Ai malah melihat laki-laki berpayung hitam tersebut. Givan telah memundurkan langkahnya, membuat Ai kini berjalan cepat ke arahnya.
Tidak ada pilihan lain selain kabur. Meski ia tahu, Ai akan tetap bertahan di tempat ini.
"Aa...." Panggil Ai di bawah hujan yang begitu deras ini.
Gerakan cepat Givan, ternyata diikuti juga oleh Ai. Kepanikan Givan kali ini, membuat langkah Ai sampai ke rumahnya.
Begitu kaget pandangan mata orang-orang di sekitarnya itu. Terutama dengan anak-anaknya, yang heran karena ada orang dewasa yang hujan-hujanan tersebut.
Tentu saja, ransel yang Ai bawah pun sampai basah kuyup. Pasti beberapa helai pakaian yang ia bawa pun ikut basahnya juga. Gamis dan kerudung berukuran besar yang dibebani dengan air hujan, membuat Ai harus mengangkat pakaiannya agar mudah berjalan.
Canda bingung, karena orang-orang berhamburan keluar. Dari tempatnya pun, ia bisa melihat kepanikan di wajah suaminya.
"Ada apa?" tanya Canda, pada seseorang yang berdiri di pintu. Sehingga menutupi jalannya untuk keluar.
Ghifar paham itu bukanlah hal baik. "Di dalam aja, Kakak Ipar. Ini hujan angin." Adik ipar yang menjadi mantan kekasih tersebut, tidak sampai hati jika Canda melihat temu tersebut.
"Kok pada keluar? Ada apa? Anak-anak juga ada yang di luar." Tingginya yang tidak seberapa, membuatnya kesusahan untuk melihat sesuatu yang terhalang oleh orang-orang yang berpostur tinggi tersebut.
Adinda pun bingung, apa yang harus ia lakukan. Ia paham, ini bukanlah hal yang baik. Menolong perempuan tersebut, jelas samanya menyakiti menantu tertuanya yang sudah dianggap anak sendiri. Tapi, rasa perikemanusiaannya tidak tega melihat Ai menggigil di bawah guyuran air hujan.
"Apa yang bawa kau sampai ke sini?" teriak Adi, dari teras rumah yang lebih tinggi dari halaman tempat Ai berpijak tersebut.
Adi tahu, siapa perempuan tersebut. Karena sebelumnya, Givan sudah pernah memperkenalkan wanitanya itu. Givan akan benar-benar menikahi wanita itu, jika saja Ai tidak kabur dari hubungannya bersama Givan.
"A Givan," jawab Ai, membuat Adi paham bahwa ini bukanlah hal yang baik.
Adi bingung, ia ingin mempersilahkan tamunya tersebut ke mana. Tidak mungkin di rumah yang ia pijak ini, karena ada hati menantu yang harus ia utamakan ketimbang mantan calon menantunya itu.
Adi menoleh ke arah istrinya, dengan istrinya yang langsung mengedikan bahunya. Keputusan ada di tangannya. Dengan berat hati, ia meraih payung hitam tersebut dan berjalan di bawah hujan.
"Sini ikut Saya!" Adi berjalan lebih dulu, ia pun tidak memayungi tubuh Ai. Pikirnya, Ai sudah basah.
Setelah Adi dan mantan calon menantunya itu sudah tidak terlihat, barulah keributan Adinda meminta payung terjadi. Givan pun memberikan payung lain, tanpa dirinya mengikuti ibunya.
Ia ingin tetap mendapatkan tempat yang aman, yaitu di sisi istrinya. Ia tidak tahu pasti, kenapa Ai bisa sampai di sini. Empat bulan ia di Jepara, ia tidak pernah bertemu Ai kembali. Hanya ketika di Bellsha Hotel Jepara, beberapa kali Givan berpapasan dengan Ai. Namun, setelah kejadian itu. Givan memang menghindari tegur sapa dengan Ai.
"Ada apa ya, Mas?" Canda masih kebingungan saja, ia menyentuh tangan suaminya yang baru masuk ke dalam rumah itu.
Givan menggeleng. "Tak ada apa-apa. Istirahat dulu yuk? Kau jangan capek-capek, Canda." Givan membelai pelipis istrinya, kemudian merangkulnya masuk.
Para saudara laki-laki, membenahi karpet yang masih terbentang tersebut. Sedangkan para saudara ipar perempuan, mereka membantu mengumpulkan beberapa gelas kotor. Sedangkan anak-anak mereka, memunguti sampah lalu mengumpulkannya menjadi satu.
Mereka sibuk sendiri-sendiri, dengan Givan yang sibuk memikirkan kemungkinan yang terjadi di rumah ibunya.
"Mau Maghrib, Mas. Masa ngajak aku tidur?" Canda muncul dari area ketiak suaminya.
Givan menyamarkan kebingungannya dengan senyum manis. "Rebahan aja, tunggu Maghrib." Ia mengusap-usap pipi istrinya.
"Mau ke Kalimantan tak?" tawar Givan kemudian.
Givan berpikir, sebaiknya ia pergi dari daerah ini bersama istrinya yang sedang hamil muda itu. Di satu sisi, ia khawatir keadaan Canda tidak baik-baik saja. Di sisi lain, ia khawatir Ai merusak rumah tangganya.
"Ke Singapore aja, di rumah bang Daeng yang di sana. Aku suka loh view-nya, Mas. Perkotaan, gedung tinggi, ikan terbang."
Givan memicingkan matanya. "Ikan terbang?" Ia mengingat ikon di Singapore. Ia merasa, ikan terbang itu logo sebuah televisi. Bukan ikon khas Singapore.
Merlion, ikon Singapore yang ia tahu. Sebuah patung air mancur, yang menggabungkan simbol ikan dan singa.
"Iya, Mas." Senyum Canda begitu merekah. "Patung air mancur itu," lanjutnya yang membuat Givan meraup wajah istrinya.
Ia terlihat gemas. "Uhh, untung istri." Giginya bergemeletuk bagaikan ingin menggigit Canda.
Canda terkekeh geli, kemudian menyembunyikan wajahnya ke dada suaminya. "Aku salah ya, Mas?"
"Tak kok, kau tak pernah salah. Kalau kau salah, nanti ada drama. Biar aku yang disalahkan terus, sabarku luas. Kau tenang aja," ucap Givan berdrama.
Tawa Canda terdengar puas.
Givan tidak yakin, apakah ada tawa setelah esok tiba dan mereka beraktivitas di luar rumah. Canda yang setiap hari mengunjungi ibunya dan ibu mertuanya tiga kali sehari, karena rumah mereka berdekatan. Pasti akan mengetahui, tentang keberadaan tamu yang menggigil tersebut.
Kecuali, Ai diungsikan ke sebuah tempat kerabat. Yang jelas, rasanya itu tidak mungkin saja. Givan tahu, akan orang tuanya yang selalu menampung para kerabat atau tamu dari jauh di rumah mereka. Jadi, pengungsian tamu tersebut, jelas tidak mungkin dilakukan.
"Mas, aku tuh tergila-gila sama Mas. Bau keteknya aja, aku suka betul." Canda beralih menciumi aroma khas suaminya, yang tentunya tidak mengeluarkan bau badan yang menyengat.
"Wah pantas, mau aja dihamili berkali-kali." Givan mencubit hidung istrinya.
Tawa Canda begitu bahagia. Ia pun tak pernah tau, jika setelah tawa kebahagiaan itu mereda. Akan akan kepedihan dan kesedihan yang sebanding dengan tawa bahagianya. Ia lupa, jika harus berbahagia secukupnya saja. Agar kepedihan yang menghampiri pun sekadarnya saja.
"Mas gimana sama aku?" Canda menggesekkan ujung hidungnya pada dagu suaminya yang mulus.
Givan tidak memelihara bulu dagu atau kumis, meski di usianya terlihat pantas jika ia memiliki bulu halus tersebut.
"Biasa aja sih." Givan berakting sombong.
Ia adalah, orang yang tidak suka mengatakan isi hatinya. Ia adalah, orang yang anti untuk mengungkapkan perasaannya. Ia adalah, orang yang memiliki gengsi besar. Namun, ia sedikit ingin memberikan kalimat yang akan membuat Canda selalu teringat. Berharap, esok hari Canda meyakini bahwa suaminya tetap menomorsatukan dirinya.
"Bohong!" Canda mencubit perut suaminya.
Givan terkekeh kecil, kemudian ia menunduk dan menyatukan dahinya dengan istrinya.
"Kau tau, Canda? Dari dulu kau adalah tempat keduaku untuk pulang, selain mamah yang lahirin aku. Kau tak akan paham, tentang aku yang bisa mati, kalau kau kenapa-kenapa." Suaranya bergetar, membayangkan esok pagi istrinya menangis dengan brutal.
Meski ia tidak tahu alasan apa yang membawa Ai datang padanya. Tapi ia bisa memastikan hancurnya hati Canda, melihat Ai berada di lingkungan ternyamannya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Yunia Spm
eng ING eng.... konflik di mulai 😁
2023-10-16
1
Windarti
uang 50 juta nya udah habis baru nyari minta tangung jawabkah.kok ngo ketauan hamil lansung nyari gifan ya apa biar gifan ngk bisa berkelit lagi.tapi bisa jadi udah mau diaborsi tapi ngk bisa.akibat dendammu retaklah impian manis rumah tanggamus fan.
2022-07-16
3
LaCleo
sudahhh aku dugaaa..
yayah Givann terimalh kecerobohanmu
tetep kuat Canda aku padamu💪💪😘
2022-07-16
3