Givan paham. Ternyata, Ai bekerja di sini sebagai pemandu lagu. Ia tersenyum miring, hatinya seperti meledek profesi mantan kekasihnya tersebut.
Sorot mata Givan, tidak lepas untuk mengamati perempuan tersebut. Sampai Ai pun menyadari, bahwa dirinya terus menerus diperhatikan oleh Givan.
"Apa dia belum bisa lupain aku?"
Secuil pertanyaan di benaknya menciptakan rasa percaya, bahwa sang mantan masih mencintainya. Katakanlah, Ai terlalu percaya diri.
Drrrrrtttttt.....
Givan merasa getaran di sakunya. Ia sudah menebak, bahwa itu adalah istrinya. Ia cukup paham, bahwa menunggu seseorang itu pasti membosankan. Ia memaklumi, jika istrinya menghubunginya.
Ia merogoh kantongnya, kemudian langsung menyalakan ponselnya. Cukup mencolok, karena ruangan ini mendapat pencahayaan yang remang-remang.
Givan memilih menolak panggilan telepon dari istrinya. Karena ia tidak ingin, jika Canda berpikiran jelek karena mendengar suara nyanyian perempuan tersebut.
[Bentar lagi, Canda. Kau butuh apa?] Tulisnya dalam pesan chat untuk istrinya.
[Butuh Mas, jangan lama-lama.] Givan mendapat balasan cepat dari istrinya.
Givan tidak membalasnya, ia langsung menyimpan kembali ponselnya dalam saku. Kembali lagi, ia memperhatikan mantan kekasihnya yang didekati para laki-laki matang tersebut.
Satu ide gila muncul di otaknya. Ia ingin membuat Ai lelah, tanpa langsung menggunakan tangannya.
"Mas.... Masih lama kah di sini?" Givan menyenggol lengan rekan kerja yang membawanya ke sini.
"Belum tau juga nih. Memang gimana, Bang?" Farhad mencondongkan kepalanya lebih dekat ke arah telinga Givan, agar Givan mendengar perkataannya dengan jelas.
"Hmmm...." Givan tengah menyusun kalimatnya. "Saya bayarin aja ya? Saya tak enak nih, harus balik ke kamar duluan. Istri Saya nelponin terus." Kembali lagi, nama Canda ditarik menjadi alasannya.
Ia tidak sepenuhnya berbohong, karena memang Canda menghubunginya. Namun, hanya satu kali itu saja.
Farhad menggaruk kepalanya. "Gimana ya, Bang?" tanyanya bingung.
Givan mengeluarkan rencana selanjutnya. "Aku bayarin delapan jam di sini. Gimana?" Ini adalah langkah utama, untuk membuat Ai lelah, pikir Givan.
Pasti menyanyi dalam waktu yang lama, pasti mengurus tenaga dan suara.
"Tapi!" Givan mengacungkan telunjuknya.
"Tapi apa, Bang?" tanya Farhad penasaran.
Karena pikir Farhad, Givan pun akan memenuhi minuman berbusa yang terhidang di sini. Pasti hal itu, tidak bisa ditolak olehnya. Mereka pun, pasti memaklumi alasan Givan dengan senang hati.
"Tapi pemandu lagunya mbak ini aja, jangan panggil teman LC lain, atau ganti sama yang lain." Givan tersenyum lebar penuh siasat.
"Kayanya, satu perempuan menemani itu gak cukup," ujar Farhad dengan melirik ke arah Ai tengah disawer tersebut.
"Cukup. Nanti aku tambahkan minumannya, tapi pemandu lagunya satu aja." Givan mengeluarkan kocek tebalnya.
"Oke. Saya panggil ya mbaknya itu, buat ngurus paket sewa ruangannya." Farhad bangun dan mencolek Ai.
Saat Farhad membisikkan sesuatu di telinga Ai, pandangan Ai tertuju pada sosok Givan yang matang dan dewasa tersebut. Pikirnya, Givan meminta kontaknya lewat temannya. Namun, nyatanya berbeda. Yang didengar Ai adalah, tentang paket sewa kamar bernyanyi dan upah dirinya untuk menemani mereka selama delapan jam.
Kekhawatiran langsung mengerubunginya. "Saya panggil satu teman saya deh, Pak." Suaranya pun terdengar manja.
"Ngomong langsung aja sama bang Givan ya, Mbak." Farhad merangkul pundak kanan Ai, sedangkan dirinya berada di sisi kiri Ai.
Pemandangan seperti ini, cukup lumrah dalam gelapnya lampu remang-remang tersebut. Ai pasti lebih sering mendapatkan perlakuan lebih, dari hanya sekedar dirangkul saja.
Hingga, kini Ai sudah berada di sebelah Givan.
Givan memaki rekan kerjanya dalam hati, karena malah mendekatkan wanita tersebut padanya. Bukan ini yang ia inginkan, ia ingin memberi pelajaran tanpa menggunakan tangannya langsung.
"Gimana, A?" tanya Ai berbisik di telinga Givan.
Givan menggeser posisinya. Sejujurnya, ia merasa jijik pada wanita idamannya dulu itu. Bukan karena profesi, tetapi ternyata ia nampak tidak bisa menjaga marwahnya menurut Givan.
"Temani aku ya? Delapan jam di sini. Aku pengen lebih banyak waktu bareng kau." Givan ingin meludahkan ucapan dustanya sendiri.
Mau tidak mau, ia mengelabui Ai dengan ucapan manisnya. Agar, niat buruknya untuk membuat Ai kehilangan suara tidak terdeteksi.
"Tapi.... Itu terlalu lama. Aku bisa privat kok, kalau cuma buat kita lebih banyak waktu aja."
Givan cukup kaget mendengar penuturan Ai. Wanita yang menolak perjuangan dan permintaan maafnya empat belas tahun silam, kini malah meresponnya tanpa alasan jelas.
"Kita di sini aja dulu. Aku harus ke mana, untuk urus pembayarannya?" Givan bangkit dari duduknya.
"Biar aku yang uruskan. Tunggu di sini ya?" Ai bangkit dengan senyum mengembang.
Givan mengangguk mengiyakan, kemudian ia duduk kembali di tempatnya semula.
Bagaimana perasaan Canda? Bagaimana jika Canda tahu, bahwa ia berdialog secara langsung dengan Ai? Pikiran Givan merumit, ia khawatir istrinya mengetahui secuil rencananya ini. Satu yang ia takutkan, perpisahan kembali dengan istrinya. Dengan anak-anak mereka yang mengemis kasih sayang dari para paman dan bibinya, karena kasih sayang orang tua terpecah belah kembali karena orang ketiga.
Tidak lama kemudian, pembayaran secara debit dilakukan oleh Givan, sebesar lima juta rupiah. Cukup murah menurutnya, Givan mengerti karena ruangan ini hanya kelas biasa.
Ia masih stay di situ, cukup lama untuk mendengarkan suara merdu Ai. Ia pun menyicipi sedikit, minuman berbusa yang memiliki kadar alkohol cukup rendah. Ia tak mau ceroboh kembali, ia tidak mau menghancurkan rumah tangganya sendiri lagi karena hilang sadar di pelukan perempuan yang bukan muhrimnya.
Sampai akhirnya, getaran di sakunya ia rasakan kembali. Rasa senang karena mendapat ide baru, Givan tuangkan dalam layar ponselnya yang menyala dan menampilkan nama kontak 'My Cendol'. Tetapi, foto profil Canda yang menampilkan foto bersama dengan suaminya. Cukup memperjelas siapa dirinya untuk suaminya.
"Bisa-bisa Canda tidur, kalau aku malah mengabaikannya." benak Givan bermonolog.
Canda dijadikan alasan kembali.
"Maaf ya semuanya, nyonya nyariin nih." Givan berseru, dengan menunjukkan layar ponselnya.
Mata buram tersebut, tidak mampu melihat jelas. Hanya langsung mengiyakan, dengan tawa yang tidak jelas.
Lolos, batin Givan gembira.
"Duluan ya, Mas?" Givan menepuk pundak rekan kerjanya yang membawanya ke sini.
"Oh, iya. Ati-ati, Bang," sahut Farhad ramah.
Ai menatap bingung pada sosok laki-laki yang tiba-tiba melarikan diri tersebut. Tapi sudah begini, Ai tidak bisa kabur dari tuntutan profesinya. Apalagi, upahnya sudah jelas dibayar di awal.
Givan bergegas menuju ke kamar hotelnya. Jantungnya bergemuruh, karena ia baru saja membohongi istrinya untuk pertama kalinya secara tidak langsung. Apa yang akan menjadi alasannya kembali, jika ia sudah berada di hadapan istrinya?
Campur aduk rasanya, kala ia berhasil masuk ke kamar hotelnya. Namun, suasana gelap dan ranjang kosong terlihat jelas di depan matanya?
"Ya ampun, ke mana Canda?" Ia bertanya seorang diri, dengan kepanikan yang melanda.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
ttp harus waspada nih kayak nya Yayah , ai udah tau givan jadi boss tajir takut nya mepet2
2022-07-21
1
khair
jangan jangan nelpon nya pas di tempat itu
2022-07-12
2
Yuli Amoorea Mega
Udh lah Van ttp buku ajah tntng Ai lupain rasa sakitmu klo ngbalas mlh ntar kelanjutan....
2022-07-12
2