"A Givan, gimana kabarnya?" Senyum manisnya membuat Givan teringat kembali pertemuan pertama mereka.
Flashback on
"Nuhun, A," ucap perempuan yang kesusahan mengangkat barang bawaanya ke atas kabin pesawat tersebut. Namun, malah ia langsung mendapat bantuan dari Givan.
"Mau ke mana, Dek?" sahut Givan, yang ternyata duduk bersebelahan dengan bangku perempuan tersebut.
"Ke Perawang, A. Aa rek kamana?" balas perempuan tersebut ramah.
"Sama, Perawang juga. Punya saudara kah di sana?" tanya Givan, dengan mulai mempersiapkan dirinya. Karena pesawat akan segera lepas landas.
"Teu, A. Hmm… mau kerja di sana. Lanceuk na emak, nawarin kerjaan di tambang. Jadi asisten kedua katanya, soalnya asisten yang pertama kewalahan ngurus kerjaannya. Bosnya jarang di tempat soalnya, A. Kitu katana mah," jelas perempuan tersebut, yang dimengerti Givan.
"Namanya siapa? Sundanya daerah mana? Ibu sambung Saya orang sunda juga," ujar Givan, dengan mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
Perempuan tersebut mengulurkan tangannya. "Ai Diah, A. Dari Majalengka. Oh, nyaa. Pantes nyambung," tutur Ai dengan terkekeh kecil.
Givan menyunggingkan senyumnya. "Saya Givan. Apa nama PT pertambangannya?" tukas Givan, setelah tautan tangan mereka terlepas.
"Adi Wijaya Abadi, kalau teu salah mah," ucap Ai dengan raut wajah seperti tengah berpikir.
"Ohh, Saya juga kerja di sana," sahut Givan, dengan memperhatikan wajah Ai dengan lesung pipi yang terlihat tatkala ia berbicara.
"Kebetulan pisan atuh. Tolong ya A, arahin aku nanti. Soalnya, baru pertama juga nih nyebaring samudera begini," balas Ai yang membuat Givan langsung mengangguk mantap.
"Pasti-pasti. Nih salin nomor kontak Saya, barangkali nanti di bandara sana kita nyebar," ujar Givan, dengan menyodorkan ponselnya.
Ai mengangguk, dengan langsung menyalin nomor telepon Givan.
"Lanceuk na emak tinggalnya di mana? Adek nanti ke lanceuk na emak, atau punya tempat kost sendiri?" tanya Givan kembali.
"Ai aja atuh, A. Saya mah, gak biasa dipanggil adek," pinta Ai yang langsung diangguki oleh Givan.
"Ini nanti ikut uwa dulu, soalnya baru juga kan saya di sini," lanjut Ai kemudian.
"Siap-siap, Ai. Mau lepas landas," ujar Givan dengan membantu membenarkan sabuk pengaman yang Ai kenakan.
Flashback off
Givan menggelengkan kepalanya berulang, kemudian ia menggosok wajahnya sendiri. Ia menepis kenangan itu jauh-jauh. Ia tidak ingin mengingat sedikitpun, kisah manis mereka. Rasa itu padam, karena penghinaan yang Ai lakukan.
"A.... A Givan kenapa?" Ai menyentuh lengan Givan.
Givan buru-buru menepis tangan yang bukan muhrimnya tersebut. "Tak apa. Memang kenapa?" sinis Givan dengan melirik tajam.
Kentara sekali, bahwa Givan terlihat tidak suka dengan kehadiran Ai. Bukannya Ai menyadari hal itu, tapi ia malah berpikir bahwa urat wajah Givan memang seperti itu.
"Istrinya masih Canda ya, A?"
Sorot mata tak biasa, Givan hadiahkan pada Ai. Cukup lancang pertanyaan Ai, seolah-olah dirinya tak pantas menjalani bahtera rumah tangga dengan bahagia.
"Masih, kenapa? Anak kita bahkan enam." Givan terlihat nyolot ketika menjawab hal tersebut.
Ai terkekeh, kemudian menepuk kembali lengan Givan bagaikan teman akrab.
"Subur ya? Aku satu aja belum." Ai mereda tawanya dan menggantinya dengan senyum manis untuk Givan.
Rasanya Givan ingin meludah ke samping kirinya.
Givan memilih diam, karena ia memang tak ingin memperpanjang dialognya dengan Ai.
Hingga lift terbuka, Givan bergegas untuk keluar lebih dulu. Ia tidak menoleh, untuk melihat tujuan Ai berada di gedung ini. Itu bukan hal penting dan tidak ada gunanya menurutnya.
"Waduh, pasti nunggu lama nih. Maaf ya? Istri lagi rewel soalnya." Basa-basi Givan, saat berjabat tangan dengan seorang laki-laki matang yang seumuran dengannya tersebut.
"Gak apa, Bang. Kita juga ngerti, agak lain memang kalau hawa ibunya anak-anak lagi gak sama anak-anak," balas Farhad, dengan mempersilahkan Givan untuk duduk.
Givan membalasnya dengan tawa ringan. Kemudian ia fokus untuk membahas letak tempat, untuk membuka usaha mebelnya itu.
Bukan jenis usaha kecil, karena Givan sudah melihat pasar dagangnya sendiri dan peluang yang cukup besar di daerah ini. Dengan perhitungan matang, Givan menyepakati esok hari untuk melihat lokasi terlebih dahulu.
"Singgah bentar, Bang. Kita cari hiburan sedikit. Kebetulan, temen-temen Saya ada beberapa yang lagi di tempat hiburan sini," ajak Farhad, setelah mereka membayar kopi yang mereka nikmati.
~
"Yayah, entut...." Givan teringat suara anak hasil rujuknya dengan Canda tersebut.
~
"Kasian istri nunggu, Mas." Canda kembali ditarik sebagai alasan, karena putrinya yang bagaikan bodyguard itu tidak ikut serta.
"Sebentar aja. Biar aku kenalkan juga nih sama beberapa teman Saya, yang kebetulan semuanya pengusaha semua." Farhad terlihat memaksa.
Givan tidak enak hati, karena setelah ini ia pasti akan banyak merepotkan relasi bisnisnya tersebut. Sangat terlihat tidak sopan, jika Givan menolaknya.
"Boleh deh, tapi aku tak bisa lama, Mas. Lagi punya program launching anak ketujuh juga nih, jadi sambil usaha keras juga." Alasan Givan terdengar menggelikan, tapi laki-laki seumurannya pasti memahami alasan yang terdengar masuk akal tersebut.
Tawa Farhad cukup puas. "Iya, iya. Saya ngerti, Bang. Cuma sharing-sharing aja, biar ada teman lain di kota ini."
Pikir Givan, itu ada benarnya juga. Ia tidak boleh angkuh, di kota orang yang ia tidak ketahui seluk beluknya ini. Hitung-hitung, agar dirinya mudah mengenalkan produksinya nanti.
"Ayo, Mas. Paling malam Saya jam sepuluh ya, Mas? Udah janji dia suruh nunggu soalnya, takut ada drama kumenangis." Padahal dalam hatinya sendiri, Givan yakin istrinya sudah mengarungi samudera mimpi.
"Ah, iya. Ayo ikut Saya, Bang." Farhad berjalan mendahului Givan.
Givan paham, ini adalah termasuk tempat hiburan untuk kalangan orang dewasa. Ini adalah sebuah tempat karaoke, untuk kalangan ekonomi menengah ke atas.
Givan bertekad, untuk tidak menyentuh minuman keras. Karena ia cukup trauma, saat kejadian khilafnya dengan Nadya dulu.
Saat masuk ke dalam ruangan, lampu remang-remang malah membuat pandangan Givan terbatas. Ia bersalaman dengan beberapa laki-laki, yang Farhad kenalkan sebagai pembisnis semua itu.
Sampai, sosok yang ia temui menjadi kebingungan pada diri Givan. Pertanyaan dalam benaknya langsung bermunculan.
Apa ia dalam naungan prostitusi?
Apa ia menjadi pasangan salah satu pembisnis di sini?
Ataukah, ia seorang LC di tempat karaoke ini?
Hingga saat dirinya dipersilahkan duduk, ia menyadari tidak seorang pun di sini yang memperkenalkan wanita tersebut padanya. Berarti kemungkinan bahwa wanita tersebut adalah pasangan salah satu pembisnis di sini, adalah bukan.
Givan masih memperhatikan, dengan menolak beberapa minuman yang disodorkan padanya.
Givan tidak mau ceroboh lagi, karena ia ingat anak-anaknya kebanyakan adalah perempuan. Ia khawatir, kelakuan buruknya malah menjadi karma untuk anak perempuannya.
"Sambil nyanyi gitu, Cantik. Goyang tipis-tipis, kan kita enak juga nih ngobrolnya gak ngantuk," ucap salah satu pembisnis, dengan mengusap paha mulus perempuan tersebut.
Givan paham. Ternyata.....
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
givan mending hindari ai dari sekarang kasian biyung
2022-07-21
1
Alea Wahyudi
ya Allah....kuat kan iman Yayah givan jangan sampe biyung merasakan lg sakit
2022-07-21
1
Bat Riani
van... ingat anak2 dikampung, ingat istri... jaga pandangan & jaga hati...
2022-07-18
1