"I love you." Canda mengirimkan ciuman jarak jauh, pada anak perempuannya yang berusia lima tahun itu.
"I love you too," sahut Ghifar dengan menangkap ciuman jarak jauh tersebut.
"Heh!!!" bentak Givan dengan memperhatikan Canda dan Ghifar bergantian.
Sedangkan dua orang dewasa tersebut, malah terkekeh geli.
"Aku kan sama Ra, Mas." Canda menunjuk anaknya yang berada di samping Ghifar.
"Aku kan selaku ayah angkatnya nyahutin dong." Ghifar bersikap seolah dirinya baik-baik saja dengan kakaknya itu.
Padahal, semalam hampir terjadi baku hantam jika Ghifar tidak ditarik ayahnya.
Givan melirik sinis adiknya, kemudian ia berlutut untuk memperhatikan anaknya yang berwajah sendu itu. "Kau kenapa, Ra?" tanya Givan pada anaknya.
"Mau sama mama." Ra terisak dengan menoleh ke kiri dan kanan.
"Istri kau mana?" tanya Canda dengan maju satu langkah.
"Ke warung, entah ke warung siapa. Yang kecil juga di rumah, sama kakak-kakaknya. Ra tak bisa bangun tidur tak lihat mamanya." Mereka berdiri di situ, semata-mata untuk menunggu orang terdekat untuk Ra itu kembali ke rumah.
"Yuk ikut Yayah?" ajak Givan dengan mencoba menggendong tubuh padat anaknya.
Ra menggeleng. "Mau mama." Ra kembali sesenggukan, dengan air mata yang tak terbendung.
"Yuk ke nenek dulu kah?" Ghifar mencoba menenangkan anak Canda, yang ia minta untuk tinggal bersamanya itu.
Ketenangan Ghifar selalu hadir, lewat wajah teduh yang mirip dengan Canda tersebut. Ia sampai rela merepotkan dirinya sendiri, agar anak kakaknya dan mantan kekasihnya itu hidup di dalam rumahnya. Karena ia sadar, membawa Canda ke dalam rumah itu sangatlah tidak mungkin.
"Mau ke mama." Ra menjawab dengan mengusap air matanya.
Givan tidak menyangka, namanya yang selalu dieluh-eluhkan anak nomor limanya tersebut akan kalah dengan perempuan yang Ra panggil mamah tersebut.
"Yuk kita cari, ke sana ya kita?" Ghifar menunjuk ke arah kiri.
"Kita mau ke sana. Aku bilang ke mama kalau ketemu," putus Canda dengan menunjuk arah kanan.
"Oh, iya." Ghifar mengangguk dan menggandeng anak Canda tersebut berjalan pergi.
"Kapan ya Ra mau sama kita lagi? Keknya dia lebih condong sama Ghifar sekarang." Canda melangkah berdampingan dengan suaminya, tetapi pikirannya sendiri berjalan ke arah sebaliknya.
Ia ingin anak-anaknya berkumpul bersama mereka, di 'pondok biyung' yang menjadi sebutan untuk lingkungan rumah mereka.
"Mau kok, sore aja kan sama aku terus. Cuma ya mungkin udah bergantung sama mama-mamanya itu." Givan tidak ingin istrinya sedih.
"Hmmm...." Canda hanya menghela napasnya dan menoleh ke kiri dan kanan.
"Masih sepi tuh, Canda. Ayo, terus kita belanja beberapa sayuran. Terus nanti aku bantuin masaknya."
Namun, Canda menoleh heran pada suaminya. Ia bertanya-tanya, kenapa suaminya menjadi sosok yang agak berbeda. Givan tidak pernah menemaninya membeli sayur, apalagi membantunya untuk masak. Canda merasa, suaminya tengah menutupi sesuatu dengan sikapnya.
Ia tahu karakter Givan, ia tahu watak Givan, ia pun paham dengan sifat Givan. Tindakan yang tidak pernah dilakukan Givan itu, jelas langsung mengundang kecurigaan Canda.
"Ada apa sih, Mas?" tanya Canda penuh selidik.
Canda yang polos, tentu tidak akan mengerti jika ia bertanya langsung seperti ini, Givan tidak akan langsung berterus-terang. Jika itu adalah dirinya, tentu saja Canda langsung buka suara ketika ditanya.
"Ada apa, apanya?" Givan memahami mimik kecurigaan istrinya. Tapi, ia pun mencoba pura-pura tidak tahu akan arah pertanyaan istrinya.
"Mas agak lain, ada apa?" terang Canda, yang masih berharap suaminya menjawab langsung.
"Tak ada apa-apa. Ayo cepat makan bubur dulu." Givan menarik tangan istrinya, membuat Canda kembali mengayunkan langkah kakinya.
Kecurigaan Canda padam kembali, karena canda tawa mereka di pagi ini. Kehadiran orang yang Givan khawatirkan kemunculannya itu, rupanya tidak sampai mengusik hari pertamanya menutupi bangkai di belakang Canda.
Menyembunyikan Ai di lingkungannya, menurutnya itu jelas tidak aman. Membuat Ai pergi, ia merasa tak mampu mengusir dengan kekerasan. Jalan terbaik satu-satunya, yaitu menyelamatkan pikiran istrinya dari kehadiran Ai di sini.
"Canda, pak Sam udah nelponin lagi. Keknya harus kita percepat deh, sekarang baru Rabu, nunggu hari Minggu keknya terlalu lama." Givan sudah ketar-ketir, khawatir Canda melihat Ai.
"Masa?" Canda merespon wajar, karena ia tengah makan siang bersama anak-anaknya di teras rumahnya.
"Kok masa sih, Cendol?" Givan membingkai wajah istrinya dan menarik kedua pipinya berlawanan arah.
"Duh, entah kenapa aku malas pergi-pergian. Kalau insting bilang begini tuh, harusnya dipatuhi aja. Takut terjadi apa-apa di jalannya, Mas. Lebih-lebih, di pesawatnya." Canda membayangkan hal buruk itu langsung bergidikan.
Givan berpikir, apa ini adalah naluri seorang istri? Tapi, jika tidak segera dibawa pergi. Maka, keharmonisan seperti ini pasti tinggal kenangan.
"Mas, Mas. Aku pengen buat madrasah Islam gitu di dekat masjidnya bang Daeng. Aku hibah tanah yang disitu ya? Nanti pembangunan juga pakai uang aku aja."
Givan mengusap tengkuknya, mendengar ungkapan random istrinya. Otaknya sudah mumet dengan kehadiran Ai di sini, ditambah lagi ucapan Canda yang terbilang mendadak itu. Membuat Givan, teringat akan mendiang Lendra yang sempat membangun masjid sebelum dirinya wafat.
Pikiran buruknya meracuninya sendiri. Ia khawatir kehamilan istrinya bermasalah, kemudian istrinya tidak kuat dengan gempuran ombak ini. Lalu, Canda mengalami penurunan kesehatan dan berakhir wafat dengan madrasah tersebut yang menjadi bekal di akhiratnya nanti.
"Jangan ngomong gitu lah, Canda." Givan langsung merengkuh saja leher istrinya. Ia malah bersandar pada pundak mungil istrinya.
"Madrasah jauh, kasian anak-anak. Kita buat madrasah dekat sini, biar anak-anak tak capek jalan kaki." Seringan itu ucapan Canda menurut Givan.
Canda tidak tahu saja, jika mendirikan madrasah itu memerlukan izin dan juga guru pengajar yang seimbang. Belum lagi harus kerjasama dengan suatu yayasan, agar tidak kurang pendanaannya.
"Nanti aku cari tau dulu ya, tentang mendirikan madrasah pendidikan." Givan tidak kuasa menolak permintaan istrinya. Ia akan berusaha mencarikan informasi untuk itu, daripada menerangkan bahwa mendirikan madrasah perlu beberapa syarat tertentu.
"Ya, Mas." Canda menyuapkan sendok makannya pada suaminya.
Namun, hal ini menimbulkan keharuan pada diri Givan. Padahal, sebelumnya kegiatan seperti ini sering dilakukan. Givan takut, Givan khawatir, jika hal manis seperti ini tidak bisa diulangi lagi. Ia pasti akan merindukan keharmonisan seperti ini, jika sampai badai ini menepi ke tepian pantai.
"Mas kenapa sih? Sedih kah? Bad mood kah? Pengen sesuatu kah?" Canda menangkap wajah murung suaminya yang tidak biasa.
Givan meluruskan pandangannya pada Canda. Ia tidak mungkin mampu untuk menguak semuanya, jika hal itu bisa menghancurkan rumah tangganya sendiri.
Namun, Givan yakin Canda pasti sangat membencinya. Jika kebenaran ini didengarnya dari orang lain. Ia dirumitkan dengan beban pikirannya sendiri.
Givan tidak menyangka, ternyata misi balas dendamnya malah menjadi bumerang untuk rumah tangganya sendiri. Jika sudah begini, ia ingin mengulangi waktu dan membenahi tindakannya kemarin. Ia akan memilih untuk tidak memperdulikan egonya akan dendam, jika tahu akhirnya seperti ini.
"Yah, ada yang nanya begini loh." Key datang dengan tergopoh-gopoh. Napasnya terengah-engah, karena larinya cukup cepat tadi.
"Ngomong apa?" tanya Givan dengan menyambut anaknya, untuk duduk dekatnya.
"Assalamualaikum dulu, Kak Key. Biar adik-adiknya ikutan," timpal Canda kemudian.
Tidak diragukan lagi, jika keluarga Adi's Bird pandai mengadu hingga ke anak cucu. Sulung yang datang dari sekolahnya itu, terlihat terburu-buru untuk segera mengadu.
"Iya, assalamualaikum." Key masih berusaha mengatur napasnya.
"Wa'alaikum salam," jawab Canda dan Givan serentak.
"Minum dulu nih, terus cerita." Canda menyodorkan segelas air putih miliknya.
Key mengangguk dan menerima segelas air putih tersebut. Setelahnya, ia menaruh dan memperhatikan wajah kedua orang tuanya.
"Ada kakak-kakak tapi kek mamak-mamak, keknya sebesar tante Novi. Dia nanya aneh, katanya ayah jahatnya ada di rumah tak dek. Aku jawab kan, ayah jahat siapa. Dia jawab katanya ayah kamu. Ngomongnya kamu bukan kau, ngomongnya bahasa Indonesia bukan bahasa Aceh." Clue dari Key membuat Givan tahu siapa pelakunya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 284 Episodes
Comments
Red Velvet
Disini mengajarkan bahwa dendam itu gak baik ya, Mas Givan pasti menyesal sdh begitu. Andai gak balas dendam pasti rumah tangganya tentram saja sampai sekarang. Tapi nasi sdh jd bubur apa boleh buat dia berani berbuat ya harus berani tanggung jawab.
2022-07-21
3
fitrizakiah
aku ga tau hrs comen apa 🤔 yg jelas aku sedih knp keadaannya jd begini 🥺🥺
2022-07-21
2
Windarti
ia matrelialistis bgt kayaknya dikasih hati minta jantung.entar kalau sudah habis kesabaran givan dibuang ngo dikasih apa apa.orang hamil seharusnya berbuat baik biar anaknya baik.ini kehamilannya malah senjata menghancurkan orang lain.untuk memenuhi obsesi dia.
2022-07-21
2